Reformasi Jaminan Pensiun dan Gelombang Protes di Prancis

Wait 5 sec.

Gambar 1. Foto dua orang lansia di Prancis sedang menikmati suasana sore kota La Rochelle (Dok. Penulis, September 2025)Sistem pensiun di Prancis selama puluhan tahun dikenal sebagai salah satu yang paling rumit di dunia. Sebelum reformasi yang diajukan Presiden Emmanuel Macron; negara ini memiliki lebih dari empat puluh skema pensiun berbeda. Setiap profesi pun punya aturan main sendiri. Ada skema umum bagi pekerja swasta, ada skema untuk pegawai negeri sipil, dan ada juga skema khusus (régimes spéciaux) bagi kelompok tertentu, seperti pekerja kereta api, metro Paris, atau pekerja sektor listrik dan gas.Di antara yang paling terkenal adalah skema pensiun untuk penari balet di Opéra de Paris yang bisa berhenti bekerja pada usia 42 tahun, atau pelaut yang berhak pensiun lebih awal karena pekerjaan mereka berisiko tinggi. Pegawai negeri sipil pun punya formula yang berbeda dari karyawan swasta karena pensiun mereka dihitung berdasarkan gaji enam bulan terakhir, bukan pada rata-rata karier. Tak heran bila banyak orang menyebut sistem ini penuh “hak istimewa”. Di satu sisi memang untuk melindungi pekerja, tetapi di sisi lain menimbulkan kerumitan dan kesenjangan antarkelompok.Tak hanya itu, biaya pensiun di Prancis pun kini membengkak hingga sekitar 14% dari Produk Domestik Bruto (PDB), salah satu yang tertinggi di dunia menurut Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD). Angka ini jauh lebih besar dibanding rata-rata negara OECD yang berkisar 8–9%. Sementara itu, jumlah orang yang pensiun terus bertambah karena harapan hidup semakin panjang (83, 1 tahun, data 2024), sedangkan jumlah pekerja yang membayar iuran tidak bertambah secepat itu (30,1 juta orang menurut data tahun 2022, belum ada data terbaru).Akibatnya, sistem yang selama ini berjalan dengan prinsip gotong royong antargenerasi (pay-as-you-go) menghadapi ancaman defisit jangka panjang.Inilah alasan Presiden Emmanuel Macron—yang terpilih kembali pada 2022—mendorong reformasi besar-besaran. Pada Januari 2023, pemerintahannya melalui Perdana Menteri Élisabeth Borne mengajukan rancangan undang-undang pensiun baru. Inti dari proposal ini sederhana, tapi kontroversial: usia pensiun resmi yang selama ini 62 tahun dinaikkan menjadi 64 tahun. Sebagai catatan, untuk bisa mendapatkan pensiun penuh (taux plein), pekerja harus membayar iuran selama sekitar 42 tahun (168 kuartal/trimester). Ini sebelum reformasi yang dilakukan Macron. Setelah reformasi, masa iuran menjadi lebih panjang menjadi 43 tahun (172 kuartal).Ilustrasi Menara Eiffel, Prancis di musim dingin. Foto: ThinkstockReformasi ini juga menghapus sebagian skema khusus. Pekerja kereta api, metro, dan energi yang sebelumnya bisa pensiun dini, perlahan-lahan akan diseragamkan dengan aturan umum. Sebagai kompensasi, pemerintah menjanjikan adanya pensiun minimum sebesar 1.200 euro per bulan bagi pekerja yang sudah berkontribusi penuh sepanjang hidupnya. Di sisi lain, pemerintah menegaskan tidak ada rencana menaikkan iuran atau menambah beban pajak untuk kelompok kaya dan perusahaan besar.Alih-alih diterima sebagai solusi, proposal ini justru memicu kemarahan publik. Sejak Februari 2023, ribuan orang turun ke jalan dalam demonstrasi dan mogok kerja nasional. Jalan-jalan di Paris dipenuhi aksi massa, kereta terganggu, sekolah berhenti, bahkan sampah menumpuk karena petugas kebersihan ikut mogok. Serikat pekerja yang biasanya terpecah berhasil bersatu melawan kebijakan ini.Kemarahan itu tidak hanya soal isi kebijakan, tetapi juga soal keadilan. Pekerja fisik seperti buruh bangunan, perawat, atau sopir merasa mustahil bekerja hingga usia 64 tahun, sementara profesi yang lebih ringan secara fisik bisa melakukannya dengan mudah. Terdapat juga anggapan bahwa hak-hak historis profesi tertentu dicabut. Dan yang paling menyakitkan bagi publik adalah cara pemerintah meloloskan undang-undang ini. Pada 16 Maret 2023, pemerintah menggunakan Pasal 49.3 Konstitusi Prancis, yang memungkinkan undang-undang disahkan tanpa pemungutan suara di Majelis Nasional. Banyak yang menilai langkah ini sebagai bentuk arogansi kekuasaan, sehingga memicu protes lebih keras.Meski gelombang protes berlangsung berbulan-bulan, Dewan Konstitusi akhirnya mengesahkan reformasi ini pada April 2023. Sejak saat itu, usia pensiun di Prancis resmi mulai dinaikkan secara bertahap menuju 64 tahun. Akibatnya, protes terus berlanjut dan tingkat kepercayaan pada Presiden Macron pun terus merosot. Tercatat, selama Emmanuel Macron menjabat Presiden Prancis, sudah terjadi lima kali pergantian Perdana Menteri hingga September 2025.Presiden Prancis Emmanuel Macron berbicara saat menyapa Presiden Ukraina sebelum pertemuan mereka di Istana Kepresidenan Elysee di Paris (3/9/2025). Foto: Ludovic Marin/AFPTak Hanya Soal Jaminan PensiunSelain jaminan pensiun, salah satu isu besar yang mendorong protes meluas di Prancis adalah soal biaya hidup dan kebijakan anggaran negara. Krisis energi setelah perang Ukraina, inflasi yang menekan harga pangan dan kebutuhan sehari-hari, dan pemotongan anggaran publik yang diajukan pemerintah Macron menciptakan rasa frustrasi mendalam di kalangan masyarakat. Warga merasa mereka diminta bekerja lebih lama dan menanggung beban penyesuaian fiskal, sementara kelompok kaya dan perusahaan besar justru relatif aman dari beban tambahan. Rencana penghapusan dua hari libur nasional dan pemotongan layanan publik dalam rancangan anggaran 2026 memperbesar kemarahan publik, seolah pemerintah mengorbankan kesejahteraan rakyat kecil demi menjaga neraca fiskal.Selain itu, banyak warga menganggap reformasi pensiun dan kebijakan anggaran hanyalah bagian dari pola kepemimpinan Macron yang elitis dan menjauh dari realitas sehari-hari pekerja biasa. Cara pemerintah meloloskan kebijakan secara "sepihak" memperkuat kesan bahwa suara rakyat diabaikan. Protes pun melebar dari sekadar menolak reformasi pensiun menjadi simbol perlawanan yang lebih luas terhadap ketidakadilan sosial, lemahnya daya beli, dan sistem politik yang dianggap tidak lagi mewakili aspirasi rakyat.Bendera Prancis. Foto: ReutersMelihat perkembangan gelombang protes terkini, sebagaimana terlihat pada seruan Bloquons tout (blokir semuanya) yang kembali menggema di jalanan Prancis, ada kemungkinan pemerintah berikutnya akan menyesuaikan beberapa kebijakan.Gelombang protes yang berulang di Prancis menunjukkan bahwa perdebatan tentang pensiun hanyalah puncak dari gunung es persoalan yang lebih dalam. Di balik tuntutan menolak usia pensiun 64 tahun, tersimpan keresahan atas biaya hidup yang kian mencekik, pemotongan anggaran publik yang dianggap tidak adil, dan krisis legitimasi politik yang melemahkan kepercayaan rakyat pada institusi negara. Prancis kini berada di persimpangan: Apakah pemerintah mampu menjawab tuntutan keadilan sosial tanpa mengorbankan stabilitas fiskal, atau justru terus terjebak dalam siklus ketegangan antara rakyat dan elite yang berkepanjangan? Di negeri yang punya tradisi panjang revolusi dan perlawanan jalanan, konsensus politik ini tidak hanya akan menentukan masa depan sistem pensiun, tetapi juga arah kontrak sosial yang menjadi fondasi kehidupan demokrasi di Prancis.