Ijazah Mahal, Ilmu Murahan: Krisis Integritas Perguruan Tinggi

Wait 5 sec.

Ilustrasi kampus. Foto: ShutterstockIjazah sejatinya merupakan simbol capaian intelektual, kerja keras, dan dedikasi dalam menempuh pendidikan tinggi. Namun, dewasa ini, makna ijazah kerap tereduksi menjadi sekadar selembar kertas yang dikejar demi gelar, bukan demi ilmu. Di berbagai perguruan tinggi, praktik yang merusak integritas akademik semakin marak: mahasiswa membayar joki skripsi, membeli karya ilmiah, memanipulasi data penelitian, bahkan menyontek saat ujian. Ironisnya, kasus serupa tidak hanya terjadi pada mahasiswa, melainkan juga melibatkan dosen yang terjerat plagiarisme dalam publikasi ilmiah. Fenomena ini menggambarkan krisis integritas yang serius dalam dunia pendidikan.Motivasi utama dari praktik curang ini tidak lain adalah kepentingan pribadi: keinginan lulus cepat, memperoleh nilai tinggi, atau sekadar menghindari beban kerja akademik. Di baliknya, ada budaya pragmatisme instan yang menganggap gelar lebih penting daripada proses. Perguruan tinggi yang seharusnya menjadi benteng kejujuran akademik justru tercoreng oleh perilaku "culas" sebagian warganya. Akibatnya, ijazah menjadi mahal, tetapi ilmunya murahan karena proses akademik tidak lagi mencerminkan kualitas sejati.Dari perspektif hukum, perilaku ini tidak bisa dianggap sepele. Misalnya, praktik joki skripsi melibatkan transaksi jasa ilegal yang jelas memenuhi unsur penipuan sebagaimana diatur dalam pasal 378 kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Mahasiswa yang menggunakan jasa joki berusaha menipu dosen penguji dan pihak kampus dengan menyajikan karya yang bukan hasil kerja pribadi. Tindakan tersebut juga dapat dikategorikan sebagai bentuk pemalsuan dokumen (Pasal 263 KUHP), sebab skripsi atau karya ilmiah yang diajukan sebagai syarat kelulusan sejatinya merupakan dokumen akademik resmi.Manipulasi data penelitian pun tak kalah serius. Mahasiswa atau dosen yang secara sengaja mengubah data agar hasil sesuai harapan melakukan perbuatan yang melanggar UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, yang menegaskan pentingnya menjunjung tinggi etika dan integritas akademik. Dalam konteks penelitian yang didanai negara, manipulasi data juga bisa dianggap sebagai penyalahgunaan anggaran penelitian, yang berpotensi menjerat pelaku dengan tindak pidana korupsi.Ilustrasi Ijazah. Foto: ShutterstockPlagiarisme—baik oleh mahasiswa maupun dosen—merupakan pelanggaran serius terhadap hak cipta sebagaimana diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Menyalin karya orang lain tanpa izin dan mengakuinya sebagai karya pribadi dapat berujung pada pidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau denda hingga Rp.1 miliar. Sayangnya, praktik ini sering dianggap “biasa” dalam dunia akademik, padahal hal tersebut dapat merusak kepercayaan publik terhadap kualitas lulusan perguruan tinggi.Fenomena menyontek saat ujian memang terlihat sederhana, tetapi sesungguhnya mencerminkan akar persoalan integritas. Perilaku kecil ini melatih mahasiswa untuk terbiasa curang dalam skala besar. Jika dibiarkan, budaya akademik yang dibangun adalah budaya kepalsuan, bukan budaya pencapaian.Krisis integritas ini berdampak jauh melampaui ruang kelas. Lulusan perguruan tinggi yang terbiasa curang akan membawa mentalitas serupa ke dunia kerja, birokrasi, hingga politik. Hasilnya, masyarakat tidak hanya kehilangan kepercayaan pada kualitas perguruan tinggi, tetapi juga harus menanggung beban akibat lulusan yang tidak kompeten, tetapi memegang jabatan penting.Untuk itu, langkah tegas harus diambil. Pertama, perguruan tinggi wajib menegakkan aturan akademik dengan sanksi yang jelas, mulai dari pembatalan skripsi, penundaan kelulusan, hingga pencabutan gelar bagi yang terbukti melakukan plagiarisme. Kedua, aparat penegak hukum perlu mengusut praktik komersialisasi joki skripsi sebagai tindak pidana penipuan dan pemalsuan. Ketiga, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi bersama Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDikti) harus memperkuat pengawasan agar kasus plagiarisme dosen dan manipulasi penelitian tidak hanya berhenti pada teguran moral, tetapi juga sanksi administratif hingga pidana.Pada akhirnya, pendidikan tinggi tidak boleh dipersempit menjadi proyek formalitas. Ijazah seharusnya lahir dari proses panjang, penuh dedikasi, dan integritas. Tanpa integritas, ilmu menjadi murahan dan perguruan tinggi kehilangan marwahnya. Inilah saatnya, semua pihak, baik mahasiswa, dosen, hingga lembaga pendidikan berkomitmen menjunjung tinggi kejujuran akademik. Karena sejatinya, pendidikan bukan sekadar melahirkan lulusan dengan ijazah, tetapi mencetak insan berilmu nan berkarakter. Jika tidak, maka istilah “ijazah mahal, ilmu murahan” bukan sekadar kritik, melainkan potret nyata wajah pendidikan kita.