KPK Bantah Tunda Penetapan Tersangka Korupsi Kuota Haji: Penegakan Hukum Harus Berdasarkan Bukti 

Wait 5 sec.

DOK ANTARAJAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut belum ada pihak yang jadi tersangka kasus korupsi kuota dan penyelenggaraan haji tahun 2023-2024 pada Kementerian Agama karena pencarian bukti masih dilakukan.Hal ini disampaikan Wakil Ketua KPK Fitroh Rohcahyanto saat disinggung ada kabar penetapan tersangka kasus korupsi kuota dan penyelenggaraan haji tertunda karena permintaan Istana. Katanya, bukti yang kuat harus dimiliki lembaganya saat menetapkan seseorang sebagai tersangka.“Penetapan tersangka tentu didasarkan pada kecukupan alat bukti,” kata Fitroh saat dikonfirmasi VOI, Sabtu, 20 September.“Dan hingga saat ini KPK belum menetapkan tersangka dalam dugaan korupsi kuota haji,” sambung dia.Senada, pelaksana tugas (Plt) Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu mengaku tak tahu ada informasi tersebut. Termasuk, perihal kabar ada pimpinan KPK yang diminta datang ke Istana membahas soal kasus korupsi kuota dan penyelenggaraan haji.“Kami belum tahu yang seperti itu,” tegas Asep kepada wartawan di gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Kamis malam, 18 September.Diberitakan sebelumnya, KPK menyebut dugaan korupsi terkait kuota dan penyelenggaraan haji tahun 2023-2024 pada Kementerian Agama (Kemenag) akan memasuki babak baru. Dalam waktu dekat para tersangka bakal diumumkan karena proses yang berjalan menggunakan surat perintah penyidikan (sprindik) umum.Sprindik umum tersebut menggunakan Pasal 2 Ayat 1 dan/atau Pasal 3 UU nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2021 jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Artinya, ada kerugian negara yang terjadi akibat praktik korupsi ini.Kerugian negara dalam kasus korupsi kuota dan penyelenggaraan haji periode 2023-2024 ini disebut mencapai Rp1 triliun lebih. Jumlah ini tapi masih bertambah karena baru hitungan awal KPK yang terus berkoordinasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).  Kasus ini bermula dari pemberian 20.000 kuota haji tambahan dari pemerintah Arab Saudi bagi Indonesia untuk mengurangi antrean jamaah. Hanya saja, pembagiannya ternyata bermasalah karena dibagi sama rata, yakni 50 persen untuk haji reguler dan 50 persen untuk haji khusus berdasarkan Surat Keputusan (SK) Menteri Agama yang ditandatangani Yaqut Cholil Qoumas.Padahal, berdasarkan perundangan, pembagian seharusnya 92 persen untuk haji reguler dan 8 persen untuk haji khusus.Belakangan, pembagian bermasalah itu disinyalir karena adanya uang dari pihak travel haji dan umrah maupun asosiasi yang menaungi ke Kementerian Agama. Setelah dapat jatah, mereka menjual kuota tambahan tersebut kepada calon jemaah haji.