Ilustrasi wisuda. Foto: Shutter StockBagi beberapa mahasiswa, beasiswa adalah tiket emas untuk bisa melanjutkan kuliah tanpa terbebani biaya. Namun dibalik itu, muncul kegelisahan: Apakah beasiswa justru jadi alasan mahasiswa harus diam dan tak boleh mengkritik? Apakah mahasiswa harus selalu menundukkan kepala hanya karena statusnya sebagai penerima bantuan pendidikan?Beban di Balik KeringananPadahal, secara ideal, beasiswa hadir untuk mendorong prestasi dan membuka akses pendidikan yang lebih merata. Realitas di lapangan menunjukkan adanya “harga tak kasat mata” yang harus dibayar dengan kebebasan berbicara. Stigma “sudah dibantu, maka jangan banyak protes” sering bergaung di sekitar mereka. Program yang semestinya memerdekakan justru terasa membelenggu sebagian mahasiswa.Misalnya, beberapa waktu lalu, terdapat seorang mahasiswa yang diminta “lebih berhati-hati” dalam menyuarakan kritik terhadap pemerintah. Situasi ini memunculkan dilema antara dua sisi: di satu sisi mereka ingin tetap kritis, tetapi di sisi lain ada beban besar jika kehilangan beasiswa. Pertanyaannya: Benarkah beasiswa ini bisa dijadikan sebagai alat kontrol kebebasan dalam mengkritik kebijakan? Atau jangan-jangan mahasiswa sendiri yang terjebak dalam rasa takut berlebihan?Ilustrasi penerima beasiswa. Foto: Kemenkeu RIKeresahan itu bukan tanpa alasan. Ada semacam “aturan tak tertulis” yang membebani mahasiswa. Seperti munculnya persepsi "karena dibantu, maka kamu harus tunduk". Kalimat itu tidak pernah tertulis di kontrak resmi, tapi hadir sebagai tekanan moral yang membuat mahasiswa menahan diri. Hasilnya, banyak mahasiswa melakukan self-censorship—menahan opini, mengurangi kritik, bahkan memilih diam demi rasa aman. Bukan karena ada ancaman langsung, melainkan karena ada perasaan diawasi.Hak, Bukan BelengguSebenarnya, jika ditarik ke akar persoalan, beasiswa terutama dari pemerintah, sejatinya bukan semata-mata hanya hadiah dari pemerintah. Dana yang digunakan untuk membiayai mahasiswa bersumber dari pajak rakyat. Artinya, beasiswa adalah hak warga negara untuk mendapatkan akses pendidikan yang adil. Oleh karena itu, penerima beasiswa justru berhak kritis karena mereka adalah bagian dari warga negara yang ikut membiayai jalannya negara.Batasan aturan beasiswa umumnya hanya mengatur soal syarat akademik dan etika. Tidak ada pasal yang menyebut larangan mengkritik pemerintah. Secara normatif, kebebasan akademik mencakup hak mahasiswa dan dosen untuk meneliti, mengkritik, dan menyampaikan gagasan tanpa intervensi eksternal. Namun dalam praktiknya, penerima beasiswa sering kali merasa terikat pada kontrak moral. Ada kekhawatiran bahwa kritik tajam dapat berimplikasi pada pencabutan dukungan finansial meskipun hal ini jarang terjadi secara formal.Ilustrasi beasiswa. Foto: ShutterstockFoucault dan Mikro-KekuasaanMichel Foucault pernah menyinggung soal mikro-kekuasaan yang menyebutkan bahwa kontrol tidak selalu lewat paksaan langsung, tetapi melalui mekanisme halus yang membuat orang mendisiplinkan diri. Ia menyebutnya sebagai cara kekuasaan mendisiplinkan tubuh dan pikiran. Tanpa disadari, individu mulai mengawasi dirinya sendiri, menahan ucapan, bahkan mengatur tindakannya agar tetap sesuai dengan ekspektasi pihak yang berkuasa.Dalam kacamata ini, beasiswa dapat berfungsi sebagai instrumen disiplin. Tidak ada ancaman eksplisit yang melarang mahasiswa kritis, tetapi bayangan akan kehilangan bantuan membuat mereka otomatis berhati-hati. Rasa syukur yang seharusnya mendorong produktivitas, bergeser menjadi rasa takut yang membatasi kebebasan berpikir.Di sinilah letak dilema itu hadir: antara rasa syukur bercampur dengan rasa takut. Beasiswa bukan lagi sekadar simbol dukungan, melainkan juga simbol kontrol yang menuntut kepatuhan.Budaya Kritis MahasiswaDalam sejarah Indonesia, suara mahasiswa adalah penggerak utama dalam arah perubahan bangsa. Aksi yang terjadi pada tahun 1966, 1998, bahkan yang baru-baru ini terjadi di Indonesia, diinisiasi oleh budaya kritis mahasiswa dalam menjaga demokrasi bangsa. Maka ironis jika mahasiswa dibayangi rasa takut apabila menyuarakan pendapat. Ilustrasi mahasiswa khawatir. Foto: fizkes/ShutterstockBeasiswa yang sejatinya adalah bentuk komitmen negara terhadap peningkatan kualitas pendidikan, kini justru dipersepsikan sebagai alat kendali sosial yang membungkam suara-suara kritis. Jika hal ini terus berlanjut, maka budaya kritis di kalangan mahasiswa bisa melemah. Kampus kehilangan dinamika intelektual dan beasiswa yang semestinya menjadi pendorong kemajuan justru menjadi belenggu. Dalam jangka panjang, demokrasi terancam kehilangan salah satu aktor kritis utamanya, yaitu mahasiswa. Padahal, mahasiswa memiliki peran penting sebagai agen perubahan dan gerakan sosial. Solusi dan Jalan TengahSupaya hal ini tidak terus berlanjut, maka diperlukan transparansi aturan beasiswa agar jelas batasan apa yang sekiranya bisa menjadi tolak ukur untuk mencabut beasiswa. Kemudian diperlukannya edukasi publik sehingga stigma buruk bahwa mengkritik pemerintah dapat ancaman kehilangan beasiswa itu tidak menjadi persepsi yang membuat mahasiswa menahan diri. Selain itu, perlu adanya ruang kritik yang sehat. Sebab, beasiswa seharusnya melahirkan generasi yang berpikir kritis, bukan generasi patuh tanpa bertanya.Beasiswa semestinya dipandang sebagai hak, bukan belenggu. Negara memang berkewajiban menyediakan akses pendidikan bagi seluruh warganya, tetapi kewajiban itu tidak boleh diikuti dengan pembatasan kebebasan intelektual. Setiap mahasiswa, baik penerima beasiswa maupun tidak, berhak bersuara tanpa takut kehilangan kesempatan belajarnya. Ilustrasi beasiswa. Foto: ShutterstockKritik dari mahasiwa seharusnya tidak dilihat sebagai bentuk pembangkangan. Justru, dengan kritik yang konstruktif, mahasiswa berkontribusi memperkuat kualitas pelayanan publik dan memperbaiki tata kelola pemerintahan. Demokrasi tidak akan hidup jika nalar kritis dibungkam dan keberanian bersuara dipadamkan oleh ketakutan administratif.Sebenarnya kualitas pendidikan bangsa justru diukur dari sejauh mana negara memberikan ruang bagi warganya untuk berpikir kritis. Mahasiswa yang berani bertanya dan mengkritik bukanlah ancaman, melainkan cermin dari pendidikan yang berhasil. Jika negara menginginkan generasi emas yang berpikir kritis dan berdaya saing global, maka negara juga harus siap menerima kritik dari mereka yang sedang dibina dalam sistem pendidikannya.Sudah saatnya beasiswa ditempatkan pada makna sejatinya sebagai sarana pemberdayaan. Dengan demikian, mahasiswa tidak hanya tumbuh sebagai penerima manfaat finansial, tetapi juga sebagai intelektual muda yang bebas, kritis, dan siap memberikan kontribusi nyata bagi bangsa.