Keberadaan Gaplek dalam Pergerakan Arus Sejarah

Wait 5 sec.

Penjemuran potongan-potongan singkong tepat di bawah terik sinar matahari secara langsung dalam proses pengolahan untuk menjadi gaplek. (Sumber: Shutterstock)Gaplek—berbeda dengan Gaple tanpa “k" yang merujuk pada permainan kartu domino—adalah singkong (ubi kayu) yang kulitnya telah dikupas, dicuci hingga bersih, dan dipotong menjadi bagian yang kecil. Singkong yang telah melewati berbagai tahapan tersebut kemudian di jemur di bawah sinar matahari supaya benar-benar kering. Bila tidak kering, maka singkong-singkong itu akan terkontaminasi jamur dan mikroba lain. Warnanya menjadi cokelat kebiruan dan kualitas rasanya pun menurun.Di lain sisi, penjemuran singkong yang tidak kering akan menaikkan kandungan aflatoksin yang mendestruksi kesehatan manusia pengonsumsinya. Paparan aflatoksin pada manusia dapat mengakibatkan cedera hati akut, sirosis, kanker hati, dan pertumbuhan anak-anak yang terhambat.Makanan gatot yang dibuat dari bahan gaplek. Rasanya gurih, manis, dan kenyal. (Sumber: Shutterstock)Penyimpanan gaplek (singkong yang sudah benar-benar kering) dilakukan di tempat sejuk, kering, dan bersih. Pilihan tempat ini bertujuan untuk menjaga kualitasnya sehingga layak untuk dikonsumsi. Biasanya, gaplek menempatkan diri sebagai bahan baku olahan. Gaplek dapat ditumbuk atau digiling, lalu tepungnya diolah menjadi sejumlah makanan, seperti tiwul, growol, gogik, gatot, dan aneka kue.Gaplek dengan proses pembuatannya berikut berbagai jenis makanan yang bisa terhidang dari bahan tersebut telah menjadi semacam saksi bisu dalam perjalanan arus sejarah di Nusantara. Bisa dimulai dari Kasunanan Surakarta yang bersamaan dengan saat Pemerintah Hindia Belanda berkuasa. Lalu pada masa Pendudukan Jepang. Seterusnya hingga masa awal Kemerdekaan Republik Indonesia hingga masa kini.Kasunanan SurakartaKarak, gaplek yang diolah mirip nasi, bisa dihidangkan dalam bentuk kepalan-kepalan, ditemani dengan air gula nerah. (Sumbet: Meta AI)Terdapat makanan dari gaplek yang dahulu pernah menjadi hidangan di lingkungan Keraton Kasunanan Surakarta. Makanan itu disebut sebagai karak yang bahannya berasal dari gaplek, dibuat mirip nasi, bisa disajikan dengan dikepal-kepal, dan disertai dengan air gula kelapa.Kasunanan Surakarta merupakan daerah swapraja (vorstenlanden) yang memiliki otonomi mengatur wilayah sendiri di bawah pengawasan dan kontrak politik Pemerintah Hindia Belanda. Keberadaannya berkat Perjanjian Salatiga pada 17 Maret 1757 yang membagi Kerajaan Mataram menjadi tiga wilayah.Pertama, Kasunanan Surakarta yang diperintah oleh Raden Mas Suryadi (Sri Susuhunan Pakubuwana III). Kedua, Kasultanan Yogyakarta dalam kekuasaan Pangeran Mangkubumi (Sri Sultan Hamengku Buwana I). Ketiga, Kadipaten Mangkunegara (Raden Mas Said/Pangeran Sambernyawa/Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I).Yang menarik di sini, terutama terkait dengan karak (yang tentunya berbeda dari kerupuk karak), makanan olahan gaplek yang diolah mirip nasi dan dilengkapi dengan air gula kelapa. Uniknya, gaplek yang lebih dekat dengan bahan makanan yang dikonsumsi rakyat jelata ternyata bisa masuk ke lingkungan Keraton (Kasunanan Surakarta).Bagi sebagian besar masyarakat, pengeringan singkong menjadi gaplek memberikan mereka kesempatan untuk mempunyai persediaan makanan dalam waktu yang relatif lama. Gaplek bisa bertahan hingga tiga bulan di tempat yang kering dan sejuk. Pada masa itu, pembuatan gaplek yang melibatkan kebersamaan keluarga dan tetangga memaparkan deskripsi tentang kekuatan tenunan hubungan sosial.Pemerintah Hindia BelandaTahun 1929 yang kelabu. Terjadi Depresi Besar Ekonomi di seluruh dunia. (Sumber: Shutterstock)Pada awal hingga pertengahan 1920-an, gaplek pernah dinobatkan sebagai komoditas primadona ekspor untuk pakan ternak di Eropa. Selain itu, gaplek juga menjadi bahan baku utama industri pembuatan tepung tapioka di Benua Biru. Namun, saat terjadi kejadian Depresi Besar pada 1929, negara-negara di Eropa menghentikan impor gaplek. Produksi gaplek di Hindia Belanda pun tidak laku di pasar internasional.Pada masa itu terjadi krisis ekonomi global yang paling parah dalam sejarah. Bermula dari kejatuhan pasar saham New York yang tersohor dengan peristiwa Selasa Hitam, 29 Oktober 1929. Dampaknya pun melebar ke seantero dunia hingga berujung pada Perang Dunia Kedua. Depresi Besar ini mengusung akibat penurunan ekonomi secara drastis, pengangguran yang meningkat tajam, penurunan harga komoditas dan barang manufaktur, serta kebangkrutan bank-bank.Oleh karena itu—menjadi tidak mengherankan—dalam situasi Depresi Besar 1929, lonjakan konsumsi gaplek sebagai alternatif makanan pokok bagi masyarakat lokal di Hindia Belanda pun menampakkan angka penambahan signifikan. Terlebih lagi ketika tiba masa paceklik alias gagal panen, sehingga harga beras sangat tinggi melambung. Dari situasi tersebut, gaplek tampil sebagai sang penyelamat pangan.Gaplek betul-betul menunaikan tugas sebagai pangan penyelamat tersebut, terutama di lahan daerah yang memang pada dasarnya kering, sehingga tidak cocok untuk tanaman padi seperti Gunungkidul. Sementara itu, di masa paceklik, tatkala harga beras di luar jangkauan atau gagal panen melanda, masyarakat petani di Kedu, Semarang, Malang, dan berbagai daerah lain, beralih mengonsumsi gaplek sebagai makanan pokok.Pendudukan JepangWilayah kekuasaan pendudukan Jepang pafa tahun 1942. (Sumber: Shutterstock)Pada 1942, Pendudukan Jepang tidak lepas dari strategi pemenuhan kebutuhan pasokan makanan bagi kiprah bala tentaranya dalam Perang Asia Timur Raya. Sumber daya alam di Nusantara pun tidak luput dari sasaran kebijakan ekonomi militernya yang eksploitatif. Hal itu dilakukan dengan pengumpulan secara paksa hasil pertanian, yaitu padi, dan bahkan termasuk bahan makanan pokok yang semula hanya berstatus alternatif, yakni gaplek.Pengumpulan serta penyerahan padi dan gaplek dilakukan para petani melalui koperasi pertanian hasil bentukan Jepang yang disebut kumiai. Para petugas dari kumiai-kumiai inilah yang secara efektif memastikan pasokan pangan untuk kepentingan bala tentara Negeri Nippon (Asal Matahari). Kebijakan eksploitatif ini—sekali lagi—untuk memenuhi kebutuhan perang dan menjadi bagian dari tindakan penguasaan wilayah.Akibatnya bisa ditebak. Banyak masyarakat di wilayah pendudukan mengalami kelangkaan bahan makanan pokok yang terbilang parah. Pada masa itu, sudah menjadi pemandangan umum manakala gaplek apalagi padi tidak tersedia secara memadai; mayoritas anggota masyarakat kurang mampu terpaksa mengonsumsi bonggol pisang atau bonggol sente, hanya sekadar untuk mengisi perut dan bertahan hidup.Masa KemerdekaanIlustrasi merayakan 17 Agustus. Foto: Shutter StockGaplek pernah menjadi simbol nasionalisme. Presiden Soekarno—dalam pidato pada acara peringatan Hari Ulang Tahun Ke-18 Republik Indonesia, 17 Agustus 1963—menggunakan gaplek sebagai upaya beliau menggelorakan semangat nasionalisme masyarakat Indonesia di tengah dinamika politik dunia pada masa itu.“Kita bangsa besar. Kita bukan bangsa tempe. Kita tidak akan mengemis. Kita tidak akan minta-minta. Apalagi jika bantuan-bantuan itu diembel-embeli dengan syarat ini syarat itu. Lebih baik makan gaplek tapi merdeka, daripada makan bestik tetapi budak,” demikian ucap beliau dengan suara menggelegar dan penuh pesona dramaturgi dalam kharisma sebagai seorang orator ulung.Pernyataan “lebih baik makan gaplek tapi merdeka” mengisyaratkan bahwa lebih baik menjadi pengonsumsi makanan pokok alternatif itu sebagai representasi dari kondisi yang penuh dengan dinamika perjuangan. Akan tetapi, tetap menjadi bangsa yang memiliki muruah dan harga diri yang tinggi. Itulah tafsiran Presiden Soekarno saat itu tentang nasionalisme di alam kemerdekaan.Selain itu, gaplek sebagai makanan pokok alternatif—yang mendukung ketahanan pangan manakala bangsa Indonesia berada dalam telikung masa sulit—juga merupakan perjuangan untuk meraih kemerdekaan, terutama ideologi dalam pergaulan di kancah dunia internasional. Gaplek mewadahi simbol ketahanan sekaligus kemandirian sebagai suatu bangsa.Dewasa ini, gaplek telah mengalami modifikasi dan inovasi pengolahan. Tepung gaplek kini bisa dikreasikan jadi bronis, kue kering, kukis, donat, dan bolu. Ada juga kreasi yang masih menyapa jenis sajian tradisional, seperti tiwul atau gatot dengan pilihan topping yang variatif: keju parut, cokelat meses, atau bisa dengan gula pasir, kelapa parut, dan garam.Dewasa ini, gaplek pun bisa memperoleh sentuhan pengolahan produk semimodern semacam bakmi lethek. Tepung gaplek menjadi bahan baku utama bakmi dengan warna dan cita rasa yang khas, bisa pula dibuat gorengan dari tepung gaplek yang disebut lento. Aneka makanan bebas gluten dapat pula dibuat dari tepung gaplek sebagai alternatif.Demikian, sekelumit kisah tentang gaplek yang konon mempunyai kandungan karbohidrat tinggi dan serat yang baik. Oleh karena itu, gaplek merupakan alternatif pangan pokok dengan nilai gizi memadai dan memiliki manfaat yang penting bagi pencernaan bagi orang yang mengonsumsinya.