Korupsi Kebijakan, Korupsi Kekuasaan

Wait 5 sec.

Ilustrasi Korupsi. Foto: Indra Fauzi/kumparanKeputusan KPU RI Nomor 731 Tahun 2025 tentang Penetapan Dokumen Persyaratan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden sebagai Informasi Publik yang Dikecualikan ditandatangani Ketua KPU Affifuddin tertanggal 21 Agustus 2025.Dalam keputusan itu, tertuang 16 dokumen yang tidak bisa dibuka ke publik berkaitan dengan syarat menjadi capres-cawapres. Salah satu dokumen yang tidak bisa dibuka tanpa persetujuan yakni perihal dokumen ijazah.Hampir sebulan setelah itu, Komisi II DPR RI menemukenali, dan mengangkat menjadi isu publik. Fraksi Demokrat, dimotori oleh Dede Yusuf, dan Nasdem, oleh Muhammad Rifqinizamy Karsayuda, mengangkat “kegeraman” baru dari publik kepada lembaga auksiliari penyelenggara pemilu. Trauma penjarahan, seperti cuitan netizen, mungkin serta-merta membuat Komisi Pemilihan Umum (KPU) membatalkan keputusan tersebut.PelajaranKasus ini membawa sebuah pelajaran yang tak terucap: korupsi kebijakan. Istilah ini tidak lazim di khasanah hukum Indonesia, karena sesuatu dianggap korupsi jika merugikan negara secara keuangan, dan sudah dibuktikan secara hukum dalam bentuk tertangkap tangan. Diktum ini menjadi acuan di lembaga-lembaga anti-korupsi, Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ada sembilan lembaga lain, Irjen, Kepolisian, PPATK, Kemhum, BPKP, MA, MK, KY, BPK, yang mempunyai metode yang lain. Namun, korupsi kebijakan, yang pernah saya ajarkan di KPK sepuluh tahun yang lalu, nampaknya tidak masuk di dalamnya.Korupsi sering dipahami sebatas suap, gratifikasi, hingga mark-up dan penggelapan proyek. Kategorinya adalah financial fraud. Namun, jauh di balik itu ada bentuk korupsi yang lebih berbahaya: korupsi kebijakan publik. Inilah praktik ketika kebijakan—yang seharusnya dibuat untuk kepentingan rakyat—justru dirancang, diarahkan, atau dimanipulasi demi menguntungkan segelintir pihak.Korupsi kebijakan publik ibarat “akar yang busuk” dari pohon besar bernama korupsi. Bila akarnya rusak, batang, cabang, hingga daun pasti ikut meranggas. Kasus demi kasus yang merugikan negara triliunan rupiah tidak bisa dilepaskan dari kebijakan yang sejak awal sudah dipelintir. Secara umum, korupsi kebijakan diperkirakan bisa merugikan keuangan negara (dan publik atau masyarakat) hingga sepuluh kali dari korupsi dalam definisi penegak hukum.Pertanyaannya adalah, bagaimana korupsi kebijakan terjadi. Pertama, dari pembajakan kebijakan. Undang-undang, peraturan pemerintah, atau keputusan menteri kadang tidak lagi merefleksikan kebutuhan masyarakat, melainkan kompromi politik atau pesanan kelompok bisnis tertentu. Fenomena ini sering disebut sebagai state capture corruption—ketika aktor ekonomi atau politik “menangkap” negara untuk kepentingan pribadi, termasuk kepentingan para oligar.Kedua, proyek yang dirancang bermasalah. Terdapat proyek-proyek infrastruktur, energi, atau pendidikan yang sejak awal sudah “di-set” untuk menghasilkan rente. Spesifikasi teknis, alokasi anggaran, bahkan mekanisme tender dibuat sedemikian rupa agar menguntungkan pihak tertentu. Korupsi pada tahap implementasi hanyalah konsekuensi logis dari desain awal yang sudah menyimpang. “Hebat”nya, korupsi ini tidak mudah ditangkap dan dibuktikan, karena sudah dibenarkan dari peraturan perundangan yang dibuat sebelum proyek-proyek tersebut dibuat. Lagi-lagi, kasus ke dua didukung oleh kasus pertama, state captured.Ketiga, kebijakan yang tertutup proses perumusannya. Ketika kebijakan hanya dibicarakan di ruang elite, maka orientasinya mudah bergeser dari kepentingan rakyat ke kepentingan oligarki. Di sini mudah didapatkan realitas vendor driven policy atau kebijakan yang diatur oleh vendor, sponsor, dan horor, atau ancaman dari pihak tertentu, termasuk yang menolongnya menjadi pembuat kebijakan.Keempat, rendahnya pengetahuan sekaligus empati dari pembuat kebijakan, yang juga notabene juga penguasa. Rendahnya pengetahuan dinampakkan dari ketidaktahuan tentang bagaimana proses kebijakan publik yang wajar, tidak disembunyikan, tidak sekadar angka-angka, asumsi-asumsi, melainkan mengajak publik. Kebijakan publik di negara demokrasi sejak awal dan hingga akhir selalu bersifat inklusif, merangkul, mengajak. Rendah empati karena tidak bersedia memahami perasaan dan kesulitan, bahkan “kemarahan”, publik.Korupsi kebijakan publik jauh lebih berbahaya dibanding korupsian sih. Korupsi biasa merugikan sejumlah orang, korupsi kebijakan merugikan seluruh rakyat. Anggaran publik habis untuk proyek rente, sementara kebutuhan dasar (pendidikan, kesehatan, lingkungan) terabaikan. Demokrasi kehilangan legitimasi karena kebijakan tidak lagi mencerminkan suara rakyat. Kesenjangan makin melebar karena sumber daya negara hanya berputar di lingkaran elite.Ciri Korupsi KebijakanCiri dari korupsi kebijakan adalah kebijakan yang korup, kebijakan yang mengkorupsi hakikat dirinya sendiri sebagai kebijakan publik yang tugasnya adalah menghebatkan bangsa, bukan sekadar melayani publik atau menolong si kecil. Jadi, rentangnya cukup lebar.Mulai dari kasus bank century di tahun 2009, pengadaan google chrome, hingga Keputusan KPU RI Nomor 731 Tahun 2025 dapat dikategorikan sebagai korupsi kebijakan, yang merupakan turunan langsung dari korupsi kekuasaan. Mereka yang berkuasa menganggap bahwa kebijakan publik adalah wilayah kekuasaan mereka, sehingga serta-merta boleh membuat kebijakan apa saja dengan cara apa saja. Termasuk di dalamnya kekuasaan yang dengan mudah mengucapkan bahwa ini adalah “hak prerogatif” sehingga kewenangan yang ada pada pada kekuasaan mendadak berubah menjadi kesewenang-wenangan.Korupsi tangkap tangan yang selama ini menjadi andalan pemberantasan korupsi sudah waktunya diperkuat dengan korupsi “tangkap kebijakan”. Ada tiga cara untuk menemukenalinya. Pertama, simak, jika proses pembuatannya tertutup sangat rapat, termasuk tidak mengajak serta pakar yang netral, apalagi kritis, itu adalah sinyal pertama. Pembuatannya memang mengajar mereka yang berkeilmuan, namun berkategori “palugada”, apa lu mau, gua ada. Dan, diakui, ada juga, dan banyak, yang seperti ini, terutama di saat kehidupan akademisi tidak memberikan insentif yang patut di satu sisi, dan memang sifat korup dari yang bersangkutan. Bahkan, naskah akademik yang menjadi bantalan bagi peraturan perundangan acapkali tidak jauh dari realitas tersebut.Ke dua, rumusan dan subtansinya tidak readable, alias ruwet, tidak mudah dipahami. Ketidakjelasan ini biasanya menyembunyikan hal-hal yang tidak boleh, atau setidaknya tidak perlu, dipahami publik. Sejumlah kamuflase legal, intelektual, dan lingual, disembunyikan dimasukkan di dalamnya secara canggih. Kebijakan yang baik adalah kebijakan yang dapat dipahami publik tanpa perlu mengundang ahli hukum, bahasa, matematika, bahkan ahli kebijakan.Ketiga, kebijakan tersebut tidak mencapai hasil, atau bahkan menimbulkan masalah baru. Kebijakan omnibus law yang bertujuan mempercepat investasi, tidak berhasil mencapai tujuannya, jika pun ada biasanya memberi dampak yang besar, misalnya pertimbangan terbuka di kawasan Raja Ampat. Kebijakan pembangunan IKN menjadi masalah karena menjadi salah satu sumber terbesar defisit, dan nampaknya, cepat-atau-lambat akan dihentikan, karena tidak menjadi prioritas pemerintahan berikutnya. Belum tahu, bagaimana dengan kebijakan makan siang bergizi yang penyelenggaraannya ditengarai melibatkan sejumlah politisi, koperasi merah putih yang dikritik karena namanya “koperasi” tetapi uangnya dari kredit perbankan, hingga sekolah rakyat, yang head-to-head dengan kebijakan per sekolahan dasar yang ada. Belum tahu, juga, penggelontoran Rp 200 triliun dari rekening Pemerintah di BI ke Himbara. Artinya, kebijakan tersebut rasanya tidak pernah atau kurang dihitung impaknya (dengan regulatory impact assessment), tidak dicek risikonya (Risk Management Assessment), ataupun tidak memanfaatkan regulatory sandbox.Dari Mana DihentikanDi dalam ilmu hukum dikenal itikad atau niat jahat atau mens rea. Secara hukum, diperlukan pembuktian yang tidak mudah, karena menggunakan alat deteksi psikologis, apalagi pikiran, bukan hal yang dianggap wajar dan sah. Namun, dalam kebijakan publik, dapat dilaksanakan dengan menggunakan dua metode: critical analysis of policy dan forensic-audit analysis of policy. Metode pertama menguji secara kritis kebijakan yang ditengarai bertikai jahat dengan uji gagasan, termasuk pemilik gagasan, uji proses, uji implementasi, dan uji dampak. Metode ke dua membaca secara rinci muatan-muatan kebijakan dan melacak kerugian negara (dan publik) yang diakibatkan oleh pasal-pasalnya, dan melacak ke mana keuntungan atas kerugian tersebut mengalir. Ini adalah cara pertama.Cara kedua, memastikan bahwa para pengampu kebijakan publik mengerti, menguasai, dan mempraktekkan kebijakan publik yang wajar, yaitu empati kepada publik, mengedepankan kepentingan bangsa, mendahulukan upaya menghebatkan daripada sekedar menolong, dan mempraktikkan prinsip bahwa kebijakan publik yang berkualitas tinggi hanya dapat hadir jika prosesnya sendiri berkualitas. Proses yang slintat-slintut jelas tidak dibolehkan.Cara ketiga, memasukkan klausul bahwa setiap kebijakan yang kemudian ditemukan korup, maka setiap pihak, setiap pribadi, yang terlibat dalam proses perumusan, dapat diperiksa, dan jika ditemukan perannya dalam korupsi kebijakan tersebut, dapat dihukum dengan mekanisme hukum yang khusus, artinya tidak lagi menggunakan hukum tipikor, apalagi hukum pidana, dan perdata. Artinya, ada jenis hukum “tipikor” yang khas, yang isinya berisi “tindak pidana korupsi” dan “tindak pikir korupsi”. Hukumannya, setidaknya dipersona-non-grata-kan dari setiap praktek dan pembelajaran kebijakan publik. Jika yang bersangkutan adalah anggota DPR, setidaknya selama 25 tahun depan, dinonaktifkan, atau jika tetap anggota Dewan, dilarang berpartisipasi. Atau, yang bersangkutan di”pariah”kan.Cara ke empat, minta setiap pengajar kebijakan publik untuk menanamkan pengetahuan bahwa korupsi itu dimulai dari pikiran, dan setiap penguasa pengampu kebijakan yang punya pikiran korup, atau mudah terkontaminasi korup, untuk mengundurkan diri dari jabatan-jabatan pembuat kebijakan. Artinya, masih bisa untuk pelaksana dan pengawasannya. Tentu saja, konsekuensinya, para akademisi yang “palugada” perlu mengundurkan diri dari pembelajaran dan praktek kebijakan publik, entar akademisi di bidang sosial, politik, ekonomi, hingga teknik dan seterusnya.PenutupBangsa ini letih dengan korupsi. Sejak zaman Kerajaan, VOC, Belanda, Kemerdekaan, Orla, Orba, Orde Reformasi, dan hari ini, nampaknya tak berhenti. Seloroh Gus Dur rasanya makin absah: di OrLa, orang korupsi di bawah meja, di OrBa korupsi di atas meja, di OrRef mejanya pun dikorupsi, lenyap sampai se-meja-meja-nya. Masalah kita ternyata satu: memberantas korupsi hanya yang kasat mata saja, itu pun terkadang terimbas “tebang pilih”. Pemberantasan korupsi di Indonesia terbukti tidak dapat diselesaikan dengan cara-cara kebijakan. Apalagi dengan narasi-narasi dan propaganda anti korupsi yang banyak dipidatokan dengan gegap gempita.Indonesia memerlukan cara untuk memberantas korupsi yang tidak nampak, yaitu yang ada pada kebijakan-kebijakan publik. Korupsi kebijakan publik adalah wajah paling halus sekaligus paling ganas dari korupsi. Ia tidak terlihat sehari-hari, tapi dampaknya menghancurkan generasi. Selama kebijakan masih mudah ditunggangi kepentingan sempit, maka korupsi dalam berbagai bentuk akan terus lahir.Indonesia bersih memiliki tantangan terbesar bukan (hanya) menangkap pelaku korupsi, tetapi membebaskan kebijakan publik dari jerat korupsi itu sendiri, menangkap koruptor kebijakan. Dan, memberantas korupsi kebijakan pada dasarnya adalah memberantas korupsi kekuasaan, tidak peduli pada level apa kekuasannya. Sejak di elite pemerintahan hingga bureaucrats on the street, baik sipil, militer, maupun kepolisian.