Tuntutan Kebijakan Warisan: Wujudkan Keadilan Fiskal

Wait 5 sec.

Foto karya Luthfiah VOIJAKARTA – Purbaya Yudhi Sadewa menghadapi tantangan yang tidak mudah usai dilantik Presiden Prabowo Subianto menjadi menteri keuangan. Bagaimana tidak, dia harus mengelola keuangan negara di tengah ekonomi global yang dihantui ketidakpastian, potensi resesi, dan gejolak geopolitik.Purbaya tentu dituntut melanjutkan warisan kebijakan fiskal Sri Mulyani yang dikenal prudent, namun juga harus menghadirkan terobosan baru agar ekonomi domestik tetap tangguh. Fokus utamanya sebagai Bendahara Negara adalah pengelolaan APBN yang sehat, menjaga stabilitas keuangan, memperkuat investasi, serta mendorong pertumbuhan yang inklusif.Ekonom Senior INDEF, Tauhid Ahmad, menilai momentum pergantian menkeu dari Sri Mulyani ke Purbaya cukup krusial karena bersamaan dengan pembahasan APBN 2026. “Yang pertama tentu saja saat ini kan lagi membentuk pembahasan APBN 2026 ya. Artinya ini masa yang sangat kritis bagaimana pengolahan fiskal kita untuk tahun mendatang begitu,” ungkapnya.Rapat Terbatas Presiden Prabowo Subianto di Istana Merdeka, Jakarta, pada Senin, 15 September 2025.  Menurut dia, tantangan terbesar terletak pada penerimaan negara yang hingga pertengahan 2025 belum sesuai harapan. Sebab, hingga 11 Agustus 2025 jumlah penerimaan pajak yang sudah terkumpul baru sebanyak Rp996 triliun atau 45,5 persen dari target.Sementara dalam APBN 2025, pemerintah menetapkan target penerimaan pajak sebesar Rp2.189 triliun. “Kalau kita lihat data katakanlah sampai Juni, realisasi Juni 2025, ada dua poin penting. Pertama, pajak untuk penghasilan terutama korporat atau badan ini sudah turun 11,7 persen. Yang kedua, PPN anjlok sebesar 19,7 persen sampai Juni 2025,” tambah Tauhid.Dari sisi belanja negara juga belum berjalan optimal. Meski mengakui pengalaman Purbaya sebagai ekonom, Tauhid menyoroti sisi kelemahan di bidang fiskal. “Realisasinya baru 38,8 persen dari target. Angkanya Rp1.406 triliun dari budget Rp3.621 triliun. Artinya mempercepat belanja juga menjadi problemnya. Beliau cukup pengalaman, tetapi dua hal ini pengalaman di fiskal, mengelola fiskal, dan juga sebagai seorang Ketua KSSK (Komite Stabilitas Sistem Keuangan) itu juga diperhitungkan,” sambungnya.Selain itu, pernyataan Purbaya soal target pertumbuhan ekonomi 8 persen dinilai terlalu ambisius. Sebab, beban menteri keuangan dianggap sangat berat, mulai dari menjaga fiskal, memperbaiki transparansi, hingga meringankan beban masyarakat.“Menurut saya angka 8 persen sesuatu yang agak sulit ya dalam waktu cepat. Saya kira mungkin yang bisa dilakukan mempertahankan 5 persen saja sudah Alhamdulillah dalam situasi sekarang. Saya kira memang tugas berat daripada menteri baru sekarang adalah meringankan beban masyarakat. Kenaikan PPN perlu ditinjau ulang,” tukas Tauhid.Tapi, Menkeu Purbaya meyakini ada peluang untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8 persen paling tidak dalam 2-3 tahun ke depan, terutama setelah masalah perlambatan ekonomi yang saat ini terjadi dapat segera diatasi. “Saya bilang (kepada Presiden) bertahap Pak, kita capai yang 8 persen itu. (Presiden) dia bilang jangan lama-lama, secepatnya! Ya kita cobalah,” tuturnya.“Kalau sebagai ekonom ya, tahun ini 8 persen mungkin agak sulit. 2 tahun, 3 tahun ke depan ada peluangnya dicapai. Kita balikin arah ekonomi yang melambat menjadi lebih cepat dulu, let say ke arah 6 persen, 6 persen lebih dalam waktu tidak terlalu lama. Habis itu, kita bangun yang lain biar pertumbuhannya bisa lebih cepat lagi,” tambah Purbaya.Selain target pertumbuhan ekonomi, dia juga menegaskan tidak akan memberlakukan pungutan pajak yang baru untuk masyarakat mengingat sistem perpajakan yang saat ini digunakan cukup efektif untuk menghimpun pajak yang merupakan salah satu sumber penerimaan negara.Dia menegaskan, salah satu prioritasnya saat ini meningkatkan pertumbuhan, karena itu juga berkorelasi positif dengan pendapatan negara. “Dengan sistem yang ada pun, kalau pertumbuhannya bagus, anggap tax to GDP ratio-nya konstran, income-nya kenceng juga,” kata Purbaya.Pemerintah juga mendorong program perkebunan rakyat melalui penanaman kembali 870 ribu hektare lahan. “Ini bisa membuka lapangan kerja 1,6 juta dengan komoditas prioritas: tebu, kakao, kelapa, kopi, mete, dan pala,” pungkas Airlangga. (Foto: Biro Pers Sekretariat Presiden) Dia juga memastikan di bawah kepemimpinannya, penyusunan RAPBN 2026 akan tetap disiplin, supaya fiskal pemerintah tetap sehat di tengah besarnya tantangan ekonomi global. Sebab, RAPBN 2026 dirancang untuk menjaga kesinambungan kebijakan fiskal dan disiplin, sekaligus berpihak pada rakyat.“Prinsip kehati-hatian akan tetap dijaga supaya APBN 2025 tetap sehat, kredibel, dan mampu menopang agenda pembangunan nasional. Setiap rupiah yang kita kelola adalah uang rakyat, dan kita memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa uang tersebut digunakan dengan sebaik-baiknya untuk kepentingan rakyat,” tegasnya.Ketidakadilan Fiskal Memicu Kemarahan RakyatEkonom senior dari CORE Indonesia, Hendri Saparini, menilai bahwa Purbaya memiliki tantangan yang harus dicarikan solusinya. Pertama, bunga utang menggunung. Persoalan ini didasari oleh postur RAPBN 2026 yang dinilai oleh beberapa kalangan rentan lantaran belanja negara lebih besar dibandingkan dengan pendapatan negara, yang jika dibiarkan berlanjut bisa meningkatkan pembiayaan utang negara.Bila merujuk pada Buku II Nota Keuangan beserta RAPBN 2026, proyeksi pendapatan negara sebesar Rp3.147,7 triliun dan belanja negara Rp3.786,5 triliun. Dengan demikian, defisit diperkirakan mencapai Rp638,8 triliun. Karena itu, pemerintah pun berencana menarik utang baru senilai Rp781,9 triliun pada 2026 demi kelangsungan program-program pemerintah.Tetapi risiko dari peningkatan utang tersebut adalah semakin tingginya rasio pembayaran utang terhadap penerimaan negara. Artinya, dengan adanya utang baru maka beban pembayaran bunga utang bisa menembus Rp600 triliun lebih pada 2026 atau 19 persen dari total belanja negara. Imbasnya sudah pasti bakal memengaruhi alokasi anggaran yang sedianya ditujukan untuk kemaslahatan masyarakat seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.“Kalau utang menjadi salah satu masalah Presiden Prabowo mengganti Sri Mulyani, semestinya ada koreksi dari sisi belanja. Untuk Pak Purbaya jangan buat utang lebih banyak karena itu menjadi risiko. Tapi kalau ternyata Pak Prabowo justru membutuhkan dana lebih banyak karena belanjanya mau digenjot lagi, ya Menteri Keuangannya tinggal menjalankan apa yang dimau kan,” terang Hendri.Upaya modernisasi kapal nelayan turut menjadi bagian penting dalam agenda pembahasan. “Ini ada 1.000 kapal nelayan yang diperkirakan bisa menciptakan 200.000 lapangan kerja baru," papar Menko Perekonomian. (Foto: Biro Pers Sekretariat Presiden) Persoalan kedua adalah ketidakadilan fiskal. Hendri mengungkapkan, di awal menjabat, Presiden Prabowo menetapkan keputusan untuk melakukan efisiensi anggaran agar keuangan negara bisa fokus untuk kepentingan rakyat. Keputusan itu tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD Tahun Anggaran 2025. Penghematan anggaran ini akan dilakukan hingga tiga putaran dengan total mencapai Rp750 triliun.Hasil dari penghematan itu bakal digunakan untuk mendanai proyek prioritas Prabowo yaitu Makan Bergizi Gratis (MBG) dan memberikan modal kepada Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara). Tapi gara-gara efisiensi, anggaran sejumlah kementerian dipangkas yang berimbas pada sejumlah hal: mulai dari ancaman PHK pekerja hotel dan kontributor di kantor berita milik pemerintah; pengurangan dana penelitian dosen hingga biaya perkuliahan; termasuk penghematan fasilitas kerja para aparatur sipil negara.“Tak cuma itu saja karena utak-atik efisiensi belanja negara, pemerintah pusat memangkas dana Transfer Ke Daerah (TKD) yang membuat 104 daerah mencari sumber pendapatan dengan menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan dan Perdesaan (PBB-P2) berkali-kali lipat,” tutur Hendri.Pengamat ekonomi Andri Perdana menambahkan, ketidakadilan fiskal itu membuat rakyat murka. Apalagi Kementerian Keuangan bakal menggenjot pajak-pajak baru yang menyasar kelas menengah ke bawah lebih gencar lagi. “PBB itu walaupun yang menentukan kepala darah, tapi Kementerian Keuangan yang memutuskan dana TKD. Kalau TKD tidak dipangkas, PBB tidak akan naik,” ungkapnya.“Menteri keuangan mestinya bisa menjelaskan ke presiden mana program yang bisa diblokir atau dievaluasi. Dengan pengeluaran untuk MBG yang besar, lalu Koperasi Merah Putih, ditambah pembangunan tiga juta rumah, maka fiskal tidak akan berkelanjutan. Itulah pentingnya fiskal yang berkeadilan,” sambung Andri.Dia berharap agar Purbaya memiliki pendirian dan berani menantang Presiden Prabowo jika keputusannya dianggap kurang realistis dan bisa berdampak buruk terhadap kesehatan fiskal dalam jangka panjang.“Kita tidak memerlukan orang yang lebih pintar dari Sri Mulyani saat ini, tapi yang lebih berpendirian. Tapi apabila menteri keuangan yang baru lebih submissive, jangankan bisa lebih baik dari Sri Mulyani, saya rasa akan memperburuk keadaan,” tutup Andri.