Tiga prajurit TNI AL terdakwa kasus pembunuhan dan penadahan mobil, dari kanan: Kelasi Kepala Bambang Apri Atmojo. Sertu Akbar Adli, dan Sertu Rafsin Hermawan di Pengadilan Militer II-08, Jakarta (17/3/2025). (ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto) JAKARTA – Keterlibatan anggota TNI dalam penculikan yang berakhir pada pembunuhan Kepala BRI Kantor Cabang Pembantu Cempaka Putih Raya menambah panjang deretan tentara yang terlibat aksi kriminal. Menurut pengamat, adanya desakan ekonomi membuat mereka tergiur untuk melakukan tindakan kriminal. Pada Kamis (21/8/2025) warga di Kampung Karangsambung, Desa Nagasari, Kecamatan Serang Baru, Kabupaten Bekasi, digegerkan dengan penemuan sesosok mayat di pinggir hamparan sawah.Belakangan, diketahui ia adalah Mohamad Ilham Pradipta (37), seorang Kepala BRI Kantor Cabang Pembantu Cempaka Putih Raya. Di saat yang sama, di media sosial tersebar rekaman CCTV yang menampilkan adegan penculikan di sebuah tempat parkir sebuah pusat perbelanjaan.Dua prajurit TNI AD terlibat kasus kenculikan dan pembunuhan Kepala KCP Bank BRI Cempaka putih Raya, Jakarta. (Istimewa)Dari sanalah terlihat Ilham Pradipta diculik sekelompok orang saat ia sedang berjalan keluar dari sebuah bangunan menuju tempat parkir mobil. Hingga saat ini, diketahui ada 15 orang yang ditangkap. Namun yang menjadi perhatian publik, dari ke-15 tersangka, dua di antaranya anggota TNI.Motif EkonomiAdalah Kopral Dua (Kopda) FH dan Sersan Kepala (Serka) N, dua anggota TNI yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus penculikan yang berujung pembunuhan Kepala Mohammad Ilham Pradipta. Keduanya merupakan anggota Komando Pasukan Khusus (Kopassus).Berdasarkan hasil pemeriksaan, dua anggota TNI ini dijanjikan uang Rp100 juta dalam kasus tersebut. Namun, polisi dan TNI AD belum membuka nama pelaku yang membayar mereka untuk kejahatan ini.Berkaca dari kasus penculikan ini, pengamat sosial Universitas Negeri Jakarta Rahmad Hidayat menuturkan, aksi kriminalitas yang dilakukan para prajurit dilatarbelakangi beberapa faktor, termasuk ekonomi. Ketika ada tawaran ekonomi yang menggiurkan, maka ini menjadi satu kesempatan.”Tekanan ekonomi yang memang memungkinkan aparat mau melakukan hal tercela itu,” kata Rahmad.Selain itu, kontrol yang lemah dari pimpinan mereka juga bisa menjadi faktor. Saat ini, kata Rahmad, Indonesia tidak dalam kondisi peperangan sehingga mereka akhirnya banyak ‘menganggur’. Karena itu, menjalankan bisnis ilegal menjadi salah satu pilihan.Faktor lainnya adalah relasi simbiosis mutualisme atau saling menguntungkan antara aparat dan pemakai jasa. Namun dalam simbiosis ini, mereka melakukan tindakan menyimpang yang tidak sesuai dengan regulasi dan nilai-nilai militer yang seharusnya diemban.Salah satu nilai yang mungkin dilanggar, menurut Rahmad, adalah nilai militer soal peperangan. Di sana ada moto untuk memusnahkan lawan. “Dalam nilai tersebut, lawan yang seharusnya mereka musnahkan adalah mereka yang mengancam kedaulatan. Bukan rakyat sipil," ucap Rahmad.Petugas menurunkan jenazah anggota Polri yang meninggal tertembak saat melakukan penggerebekan judi sabung ayam setibanya di RS Bhayangkara Polda Lampung, Lampung, 18 Maret 2025. (ANTARA/Dian Hadiyatna)Di sisi lain, Sosiolog Kriminalitas dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Soeprapto menilai keterlibatan oknum anggota TNI dalam kasus penculikan dan pembunuhan Ilham Pradipta bukan sesuatu hal yang mustahil. Berbekal kemampuan militer yang dimiliki, mereka dapat membuka peluang untuk mendapatkan permintaan jasa penculikan dan pembunuhan.Ada kemungkinan oknum TNI itu ditugaskan pada klaster yang memang sesuai dengan keahliannya. ”Meskipun pasti oknum TNI itu menyadari bahwa tindakannya merupakan bentuk dari penyalahgunaan keahlian,” ucap Soeprapto.Budaya ImpunitasKeterlibatan oknum anggota TNI dalam tindak pidana bukan sekali ini terjadi. Publik tentu masih ingat ketika terjadi kasus pencurian mobil rental yang diakhiri dengan penembakan di KM 45 tol Tangerang-Merak pada awal Januari lalu.Selain pembunuhan bos rental, ada juga kasus penembakan tiga polisi oleh prajurit TNI di Way Kanan, Lampung, pada pertengahan Maret 2025. Insiden yang menewaskan tiga polisi ini terjadi saat operasi penggerebekan judi sabung ayam oleh tim gabungan dari Polsek Negara Batin dan Polres Way Kanan.Ketiga korban adalah Kepala Polsek Negara Batin Inspektur Satu Lusiyanto, Brigadir Kepala Petrus Apriyanto, dan Brigadir Dua Ghalib Surya Ganta. Mereka ditembak oleh Kopda Bazarsah, anggota TNI yang juga mengelola sabung ayam tersebut.Amnesty International mencatat, sepanjang tahun 2024 terdapat sebanyak 55 kasus pembunuhan di luar hukum dengan jumlah korban 55 yang pelakunya mayoritas berasal dari aparat kepolisian maupun militer.Setelah terjadi kasus pembunuhan tiga anggota polisi oleh personel TNI di Lampung, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menuturkan, kasus pembunuhan di luar hukum oleh aparat terus terjadi karena adanya budaya impunitas di tubuh Polri maupun TNI. Pelaku, kata Usman, seharusnya diadili melalui peradilan hukum, bukan peradilan militer yang prosesnya cenderung tertutup dan tidak transparan.Terdakwa Kopda Bazarsah saat persidangan pembacaan vonis yang diketuai Kolonel CHK Fredy Ferdian Isnartanto di Pengadilan Militer I-04 Palembang, Senin (11/8/2025). Oditurat Militer I-05 Palembang menuntut terdakwa dengan hukuman maksimal pidana mati dan pemecatan dari TNI. (ANTARA/Nova Wahyudi/nym)“Pembunuhan di luar hukum melanggar hak hidup. Lingkaran impunitas ini harus segera dihentikan agar ke depannya tidak ada lagi korban jatuh akibat penyalahgunaan wewenang aparat baik itu dari TNI maupun Polri,” tegas Usman.“Hal lain yang juga mendesak adalah evaluasi besar-besaran penggunaan senjata api TNI-Polri agar aparat tidak lagi menyalahgunakan senjata baik dalam konteks kedinasan maupun di luar tugas kedinasan,” imbuhnya.Sementara itu, pengamat sosial Universitas Negeri Jakarta Rahmad Hidayat menuturkan pentingnya bagi petinggi institusi TNI untuk bisa melakukan deteksi dini, pencegahan, dan mitigasi kepada anggotanya agar tidak terlibat dalam jaringan kriminal yang terus berulang.Tak hanya itu, sanksi tegas juga harus diberikan dengan tujuan memberi efek jera dan agar tidak ada lagi anggota yang melakukan hal serupa. "Mereka yang terlibat dalam aksi kriminal harus dipecat dari kesatuan dan dihukum sesuai dengan pelanggaran yang mereka lakukan," kata Rahmad menyudahi.