Foto karya Luthfiah VOIJAKARTA – Purbaya Yudhi Sadewa resmi menjabat sebagai menteri keuangan menggantikan Sri Mulyani Indrawati usai dilantik Presiden Prabowo Subianto pada Senin 8 September lalu. Kedua tokoh itu disebut memiliki perbedaan mazhab atau gaya dalam mengelola kebijakan fiskal negara.Presiden RI ke-7, Joko Widodo (Jokowi) yang mengaku mengenal dekat, ikut berkomentar terkait sosok Purbaya. Menurutnya, figur mantan Ketua Dewan Komisioner LPS itu merupakan orang yang tepat menduduki kursi menteri keuangan.“Bagus. Saya kenal baik dengan Pak Purbaya, sangat bagus. Tapi, mazhab atau cara mengelola keuangan negara memang berbeda dengan Bu Sri Mulyani,” ungkapnya.Perbedaan gaya Purbaya dan Sri Mulyani dalam mengelola fiskal negara ini memang wajar. Tidak hanya pengalamannya, latar belakang pendidikan kedua tokoh ini juga menjadi sorotan, karena membentuk cara mereka mengambil keputusan yang berbeda namun sama-sama berpengaruh pada ekonomi nasional.Purbaya menempuh pendidikan sarjana di Teknik Elektro ITB, kemudian meraih gelar Master dan Doktor Ilmu Ekonomi di Purdue University, Amerika Serikat. Gabungan antara teknik dan ekonomi ini membuatnya dikenal analitis, senang mengandalkan data, dan teliti dalam setiap kebijakan fiskal dan investasi yang diambil.Sementara itu, Sri Mulyani Indrawati menempuh pendidikan ekonomi di Universitas Indonesia dan kemudian melanjutkan Master serta Doktor di University of Illinois, Amerika Serikat. Keahliannya di bidang ekonomi makro dan kebijakan publik membekalinya kemampuan strategis, yang membantunya mengarahkan ekonomi Indonesia melalui kebijakan fiskal dan moneter yang kompleks.Meski berbeda jalur pendidikan, keduanya sama-sama memiliki visi kuat untuk menstabilkan dan mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia. Purbaya lebih menekankan analisis data dan efisiensi investasi, sedangkan Sri Mulyani menonjolkan strategi ekonomi makro dan kebijakan publik yang matang.Perbedaan gaya Sri Mulyani dan Purbaya ini diakui Ekonom UGM, Sekar Utami Setiastuti, yang mengungkap bahwa Sri Mulyani dan Purbaya memiliki gaya berbeda dalam mengelola keuangan Indonesia. Selama kepemimpinan Sri Mulyani, arah pengelolaan keuangan Indonesia memang lebih ke arah stance konservatif.Stance konservatif keuangan adalah pendekatan hati-hati dalam pengelolaan keuangan yang mengutamakan pencegahan kerugian, pengakuan kerugian dan biaya secara dini, serta penundaan pengakuan keuntungan dan aset, demi melindungi nilai aset bersih perusahaan dari penyajian yang terlalu tinggi atau overstatement.“Gaya Sri Mulyani ini tidak sepenuhnya buruk karena dia lebih berhati-hati mengelola keuangan negara agar tidak terjadi defisit dan inflasi yang berlebih. Selama menjabat, Sri Mulyani memiliki fiskal stance hati-hati seperti menjaga defisit realistis, fokus ke program prioritas, menjaga stabilitas fiskal dan melakukan reformasi di sistem penerimaan,” terang Sekar.Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengacungkan jempol usai mengikuti rapat kerja dengan Komisi XI DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (11/9/2025). (ANTARA/Dhemas Reviyanto/bar) Dia mengungkapkan, Sri Mulyani mengambil sikap hati-hati dalam pengelolaan ialah karena kondisi global yang saat ini tidak menentu. Sehingga apabila ekonomi dunia kembali diguncang seperti saat pandemi Covid-19, Indonesia masih memiliki stimulus untuk memulihkan diri. Gaya pengelolaan keuangan ini juga bisa menjaga kredibilitas fiskal, menjaga fundamental, menjaga kepercayaan pasar, dan menjaga rupiah agar stabil.“Karena ini diperlukan untuk menjaga fundamental dan kredibilitas fiskal, supaya menjaga kepercayaan pasar, supaya rupiah stabil, inflasi lebih terjaga dan tidak ada lonjakan defisit yang membuat krisis fiskal,” imbuhnya.Di sisi lain, gaya pengelolaan keuangan Purbaya memang jauh lebih ekspresif, yang terlihat dari rencananya menarik Rp200 triliun dari Bank Indonesia untuk membuat roda ekonomi berputar. Tapi, kebijakan itu harus dilakukan secara hati-hati untuk mencegah inflasi yang tidak terkendali. Sekar menilai, uang tersebut harus disalurkan ke sektor-sektor yang produktif seperti infrastruktur, energi baru terbarukan, manufaktur, atau ekonomi digital.“Uang tersebut tidak akan berdampak apabila dialirkan ke konsumsi atau ke korporasi besar. Sebab dikhawatirkan terjadi kredit macet dalam pengelolaan keuangan tersebut. Jadi harus hati-hati juga karena efeknya ke perbankan dan inflasi,” tukasnya.Janji Purbaya Tidak Merombak Kebijakan FiskalHal senada dikemukakan ekonom Senior INDEF, Aviliani. Menurutnya, Sri Mulyani lebih cenderung hati-hati dalam bekerja. Dia mencontohkan, sebelum mengeluarkan obligasi, Sri Mulyani akan berpikir keras untuk mencegah obligasi yang dikeluarkan tidak laku dan berakhir dengan naiknya suku bunga.Sementara Purbaya berusaha dengan data-data yang ada akan membuat satu keputusan yang lebih berani. “Kalau dilihat dari statemennya, dia nggak Asing (investor) apa nggak bodo amat, yang penting dia sudah ada data,” tambah Aviliani.Terlepas dari adanya perbedaan gaya dalam pengelolaan keuangan negara, Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Perindustrian, Saleh Husin, berharap adanya konsistensi arah kebijakan fiskal dan keberlanjutan program yang sudah berjalan, agar dunia usaha tidak menghadapi ketidakpastian yang berlebihan.Dua Teknokrat Terbaik yang Menjadi Bendahara Negara (Istimewa) Dia mengungkapkan, pelaku industri mengharapkan kebijakan fiskal yang berpihak pada pertumbuhan. “Kami dari dunia industri berharap adanya kebijakan fiskal yang lebih pro-growth dengan mendorong insentif bagi industri pengolahan, baik melalui keringanan pajak, pembiayaan yang lebih terjangkau, maupun stimulus investasi. Selain itu, harmonisasi tarif dan bea masuk juga perlu ditata agar industri dalam negeri lebih kompetitif,” imbuhnya.Purbaya sendiri berjanji tidak akan merombak kebijakan fiskal yang telah dijalankan pendahulunya, Sri Mulyani Indrawati. Dia menegaskan akan lebih mengoptimalkan sistem yang sudah ada dan mempercepat mesin yang sudah berjalan.“Kami akan optimalkan sistem yang ada. Biasanya kalau kejelekan pemimpin baru, yang lama itu diobrak-abrik, buat baru lagi, soalnya mau bikin tonggak baru. Saya tidak akan seperti itu pendekatannya,” tandasnya.Purbaya yakin tidak membutuhkan waktu lama untuk beradaptasi menjadi menkeu, karena sudah memiliki pengalaman yang memadai terkait fiskal. Dia menyebut, pada saat krisis COVID-19 tahun 2020 dan 2021, berada di samping Presiden Jokowi untuk membantu memformulasikan kebijakan fiskal yang tepat.Selain itu, dia juga pernah membantu Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada tahun 2008, dan ditunjuk menjadi Deputi III Bidang Pengelolaan Isu Strategis di Kantor Staf Presiden (KSP) pada era Jokowi. “Jadi kalau dibilang saya tidak punya pengalaman fiskal, itu salah besar,” tegasnya.Purbaya menyatakan, Kementerian Keuangan akan fokus membuat kebijakan fiskal yang memiliki daya dorong optimal bagi perekonomian. Sebab, fiskal harus dijaga agar tetap sehat sembari dibelanjakan agar perekonomian tetap berjalan. “Saya melihat belanja pemerintah dalam dua triwulan terakhir terbilang lambat dan memberikan dampak negatif pada perekonomian. Karena itu, perlu dibuat kebijakan fiskal sehat tanpa mengganggu sistem keuangan dengan belanja yang optimal,” katanya