Ilustrasi gambar bagaimana seorang pelaku usaha menghadapi tantangan dan risiko bisnis. Sumber: ShutterstockKasus pada salah satu produk Indomie yang dilaporkan otoritas Taiwan karena kandungan etilen oksida bukanlah sekadar berita biasa soal keamanan pangan. Kabar tersebut terasa seperti gempa reputasi yang getarannya terasa hingga ke warung pojok dan dapur sederhana di Indonesia. Indomie selama puluhan tahun bukan sekadar mie instan. Indomie telah menjadi ikon budaya, comfort food, bahkan sering menjadi instrumen diplomasi kuliner Indonesia di mancanegara. Namun di balik bungkus berwarna cerah itu, ada aset yang jauh lebih berharga daripada mesin produksi atau jaringan distribusi, yaitu kepercayaan. Sekali saja sebuah isu tak sedap terekspos, maka ha tersebut menyebabkan dampak kepada nilainya yang bisa hilang lebih cepat daripada stok produk di rak minimarket.Krisis sebagai Bingkai Tolok UkurPhil Barden dalam bukunya yang berjudul Decoded menegaskan bahwa merek adalah “frame” psikologis yang membentuk cara kita memandang produk. Indomie selama ini membingkai dirinya sebagai rasa aman, nostalgia dan kenikmatan murah meriah. Tetapi berita tentang etilen oksida berdampak menempelkan bingkai baru yang jauh lebih kuat karena dianggap “produk berbahaya.”Kalau kita melihat dari sudut pandang neurosains, keputusan membeli lahir dari perhitungan sederhana—reward dikurangi dengan pain. Sebelum krisis, Indomie memberi reward tinggi berupa rasa lezat, harga terjangkau dan memori kolektif dengan pain yang rendah. Namun krisis memperkenalkan pain jenis baru yang bersifat psikologis berupa rasa takut dan keraguan. Rasa sakit yang ditimbulkan karena takut dan ragu itulah yang begitu dominan hingga menghapus seluruh reward yang sebelumnya membuat Indomie dicintai, menjadikan nilai bersihnya jatuh ke titik negatif.Dalam konteks ini, mitigasi krisis bukanlah soal klarifikasi seadanya atau kampanye iklan penuh nostalgia. Mitigasi krisis yang dilakukan adalah proses aktif mengurangi rasa sakit psikologis konsumen. Transparansi radikal adalah langkah pertama. Merek harus menjadi sumber informasi utama, bukan membiarkan konsumen mencari kepingan berita dan kabar viral yang berasal dari pihak ketiga. Inilah kesalahan yang dilakukan oleh banyak merek: menunggu badai reda dengan harapan publik akan lupa. Padahal dalam ekosistem digital, diam sehari saja bisa berarti membiarkan stigma mengeras menjadi identitas permanen.Namun, gempa reputasi ini tidak hanya mengguncang menara gading korporasi. Getarannya merambat ke bawah, ke fondasi ekonomi kita, di mana jutaan UMKM berdiri dengan pijakan yang jauh lebih rapuh. Jika raksasa seperti Indofood dengan kasus pada salah satu varian produk Indomie saja bisa terhuyung oleh satu berita, bayangkan apa yang terjadi pada pelaku usaha kecil yang berlayar di badai yang sama dengan sumber daya yang tak sebanding.UMKM: Rentan dan RawanKisah Indomie hanyalah satu wajah dari krisis reputasi. Di sisi lain spektrum, ada cerita pahit Mama Khas Banjar, produk olahan khas Kalimantan Selatan yang tersandung isu kehalalan. Berbeda dengan Indomie yang memiliki sumber daya besar untuk menahan badai, Mama Khas Banjar tidak memiliki daya tahan institusional. Krisis kepercayaan memotong napas bisnis lebih cepat daripada kemampuan mereka menjelaskan diri.UMKM seperti ini mengandalkan jaringan loyalitas lokal, tetapi sekali saja tersiar kabar berlabel negatif menempel, kemampuan supaya bisa bertahan amat terbatas. Pelajaran utamanya jelas: krisis reputasi bisa lebih mematikan daripada krisis modal. Bagi UMKM, pencegahan jauh lebih murah daripada pemulihan. Label halal yang valid, rantai pasok yang transparan dan komunikasi sederhana di media sosial bisa menjadi tameng reputasi.Belajar dari Bakso AfungNamun tidak semua kisah berakhir tragis. Bakso Afung justru memberi cermin yang berbeda. Daripada sekadar mematuhi regulasi, pihak manajemen Bakso Afung menjadikan standar halal sebagai fondasi reputasi dan diferensiasi. Mereka menunggangi gelombang kesadaran halal yang makin menguat di Indonesia, membangun narasi bahwa mereka tidak hanya halal, tetapi mewakili standar tertinggi dalam industri bakso.Di tangan manajemen Bakso Afung, isu halal tidak lagi menjadi kewajiban administratif, melainkan modal reputasi yang memperkokoh posisi merek. Konsumen yang membeli bakso mereka merasa tidak sekadar membeli makanan, tetapi juga membeli jaminan nilai dan identitas. Di sinilah letak perbedaan mendasar bahwa krisis bisa menenggelamkan, tetapi krisis juga bisa diubah menjadi arus pendorong untuk meningkatkan brand awareness kepada masyarakat luas.Data dan Fakta KepercayaanSurvei Konsumen Bank Indonesia pada Maret 2025 mencatat Indeks Keyakinan Konsumen berada di level 121,1, masih dalam zona optimis. Angka ini menunjukkan masyarakat Indonesia tetap memiliki ruang emosional untuk percaya, meski ada guncangan. Bahkan secara global, menurut rilis dari Ipsos, Indonesia menempati posisi teratas dalam tingkat kepercayaan konsumen pada Juni 2025, melampaui India dan Malaysia.Artinya, merek usaha yang sudah memiliki eksistensi di Indonesia beroperasi di pasar yang penuh potensi, tetapi juga rawan goyah jika dikhianati. Di sektor halal, Kementerian Perindustrian mencatat bahwa rantai nilai halal tumbuh positif dengan sektor makanan-minuman halal mencatat pertumbuhan 5,87 persen pada kuartal I 2024. Potensi global pun luar biasa: konsumsi produk halal dunia diproyeksikan mencapai USD 2,4 triliun pada 2024. Sementara itu, ekspor mie instan Indonesia ke Kanada melonjak 75 persen pada tahun yang sama, mencapai USD 4,94 juta. Semua data ini memperlihatkan bahwa konsumen, baik domestik maupun internasional, masih sangat siap membeli produk Indonesia—tetapi hanya jika kepercayaan dijaga.Selera yang Dimenangkan dengan Rasa AmanJika kita satukan benang merahnya, ketiga kisah itu membentuk spektrum pelajaran penting. Indomie menunjukkan bahwa raksasa pun bisa roboh jika bingkai psikologisnya retak. Sedangkan apa yang sudah dirasakan oleh UMKM Mama Khas Banjar mengingatkan kepada kita, bahwa UMKM yang rapuh reputasinya bisa mati bahkan sebelum sempat membela diri. Sementara Bakso Afung membuktikan bahwa reputasi yang dikelola dengan tepat justru bisa menjadi akselerator pertumbuhan.Untuk semua pelaku usaha di Indonesia, pesan utamanya sederhana namun mendalam: kepercayaan adalah mata uang paling mahal. kepercayaan bisa hilang dalam sehari, tetapi membangunnya membutuhkan waktu puluhan tahun. Pada akhirnya, krisis adalah ujian karakter dari usaha dan bisnis yang sedang dirintis maupun dikembangkan. Merek yang hanya mengandalkan promosi akan menjadikan krisis sebagai "kuburan". Tetapi merek yang memahami bahwa merek adalah janji psikologis, maka akan menjadikan krisis sebagai momentum untuk menegaskan jati diri. Selera konsumen pada akhirnya dimenangkan bukan dengan sebatas sensasi rasa yang menempel di lidah konsumen, melainkan dengan rasa aman dan tentram di hati konsumen.