Books Inside Bookshelf Near Lit Pendant Lights (Sumber: Photo by Pew Nguyen from Pexels: https://www.pexels.com/photo/books-inside-bookshelf-near-lit-pendant-lights-244134/)Sepanjang peradaban manusia, pengetahuan merupakan suatu hal yang sulit untuk didapatkan. Ada harga yang harus dibayar untuk mendapatkannya. Dalam mitologi Yunani, Prometheus adalah salah satu titan yang mengambil “api kebijaksanaan” dari tangan para dewa. Dia membawa api tersebut untuk diberikan kepada manusia. Api ini bukan hanya sekadar api fisik, melainkan juga pengetahuan, kebijaksanaan, dan peradaban.Zeus yang marah kemudian menghukum Prometheus dengan mengikatnya di puncak Gunung Kaukasus, sedangkan manusia yang mendapatkan api itu juga diberikan hukuman dengan dibukanya kotak pandora yang melepaskan kejahatan dalam dunia.Hal tersebut sama seperti mitologi Yunani di mana dalam teologi Kristen terdapat istilah yang dikenal sebagai “dosa asal”. Adam dan Hawa memakan buah dari pohon kebijaksanaan yang membuat mereka tidak hanya memiliki akal pikiran, kepintaran, maupun kebijaksanaan, tetapi juga mereka memiliki nafsu dan sifat lahiriah sebagai manusia. Tuhan yang mengetahui hal tersebut kemudian mengusir mereka dari taman eden.Pengetahuan dipandang sebagai pelita yang menerangi kegelapan, kunci yang membebaskan kita dari belenggu kebodohan, dan tangga yang mengantarkan manusia pada kemajuan peradaban. Namun, dibalik terangnya, pengetahuan membawa bayangan yang panjang dan pekat. Ada sisi paradoks yang jarang kita akui yaitu bahwa pengetahuan, pada titik tertentu, bisa menjadi kutukan terbesar bagi manusia.Kutukan tersebut bukan terletak pada pengetahuan, melainkan pada beban yang dipikul bersamaan dengannya. Pada awalnya, manusia tidak memiliki kerangka berpikir yang jelas. Mereka hanya melihat pertanda alam yang hanya menunjukkan gejala dalam sebuah peristiwa. Dari langit yang akan hujan hingga gunung yang akan meletus, mereka hanya melihat pertanda itu seolah-olah dewa/Tuhan yang sedang murka terhadap manusia. Mereka hidup dalam kehidupan yang sederhana tanpa tahu ada yang bisa dijelaskan dalam kejadian tersebut.Ilustrasi buku puisi. Foto: Shutter StockKemudian, muncullah beberapa orang yang mulai mempertanyakan kejadian alam yang terjadi. Mereka membuka lembaran baru yang membukakan Pintu Pandora, memperlihatkan semua ancaman yang mengerikan di mana sering kali tidak ada solusi atau kepastian dalam menangani dan menjelaskan hal tersebut.Manusia adalah satu-satunya makhluk yang tahu bahwa mereka akan mati. Pengetahuan biologis, medis, dan filosofis tentang kefanaan menciptakan sebuah kecemasan yang konstan.Setiap detik, kita hidup dengan beban bahwa waktu kita terbatas. Hewan-hewan mati tanpa perlu memahami konsep kematian, sedangkan manusia menghabiskan hidup untuk berusaha melupakan atau mengatasi pengetahuan yang menyakitkan ini melalui agama, karya, atau pencarian makna. Inilah beban terberat: mengetahui akhir cerita manusia.Dahulu, mungkin para bangsawan menikmati makanannya tanpa perlu tahu darimana pangan tersebut berasal atau bahkan mereka tidak tahu tentang nasib buruh tani yang mengolahnya. Saat ini, pengetahuan menghantam kita setiap hari hingga setiap waktu. Kita tahu bahwa smartphone yang kita punya mungkin mengandung mineral dari daerah konflik, stik yang kita makan berkontribusi pada deforestasi, dan bahwa gaya hidup kita yang dijalani mempercepat pencairan es di kutub.Kita tidak bisa lagi berpura-pura bodoh. Pengetahuan memaksa untuk mengambil moral kita sebagai manusia. Ketidaktahuan memberikan pembenaran, sementara pengetahuan menuntut pertanggungjawaban. Setiap kali kita memilih untuk mengabaikan pengetahuan yang kita miliki, kita dilanda rasa bersalah–buah dari kutukan ini. Kita terjepit antara kenyamanan dan etika; pengetahuanlah yang membuat pertempuran batin ini mungkin terjadi.Ilustrasi pendidikan Foto: kumparanIlmu pengetahuan sering memberi kita rasa palsu bahwa kita telah menguasai alam. Kita menganalisis, memodelkan, dan memprediksi. Namun, pada saat-saat krusial seperti gempa bumi dahsyat atau virus baru yang membingungkan, kita menyadari betapa kecil dan rapuhnya diri kita. Pengetahuan justru menunjukkan betapa banyak yang tidak kita ketahui. Semakin tinggi ilmu kita, semakin dalam lubang ketidaktahuan itu terasa. Kutukan ini adalah rasa haus yang tak pernah terpuaskan, sebuah pengakuan pahit bahwa semakin banyak kita tahu, semakin sadar diri kita bahwa kita tidak tahu apa-apa.Mungkin “kutukan” pengetahuan ini bukanlah sesuatu untuk dihindari, melainkan tantangan untuk menjadi manusia seutuhnya. Beban kesadaran akan kematian memaksa kita untuk menghargai setiap momen, beban tanggung jawab moral mendorong kita untuk menciptakan dunia yang lebih adil, dan pengakuan akan ketidaktahuan adalah landasan dari kerendahan hati serta keingintahuan yang terus-menerus.Pengetahuan mungkin memang benar adalah sebuah kutukan, tetapi kutukan yang kita pilih sendiri. Ia adalah api yang diberikan oleh Prometheus yang meski membakar, tetapi menerangi jalan dalam kegelapan. Tidak untuk melemparkan dan mengembalikan kembali ke Olympus, tetapi kita belajar untuk tidak terbakar olehnya–untuk digunakan secara bijaksana, penuh tanggung jawab, dan penuh kesadaran akan beratnya warisan ini.Pada akhirnya, esensi dari manusia itu sendiri berarti mampu menanggung kutukan dan beban dari pengetahuan. Dalam pengetahuan, kita tidak hanya menemukan penderitaan, tetapi juga potensi tertinggi dari manusia, yaitu empati, rasa ingin tahu, dan kapasitas untuk membuat makna dalam kehidupan. Paradoks dari ilmu pengetahuan itu yang menjadikan kita sebagai manusia.