Sumber: pexels.comDinamika Kesenian Topeng Kona Bondowoso dan Topeng Malangan di Era ModernSuatu kebudayaan hadir di suatu sore: terdapat dua mata terpaku pada deretan wajah kayu yang tergantung hening di dinding. Wajah-wajah itu adalah Topeng Malangan. Ada keagungan yang tidak terbantahkan dalam setiap pahatannya. Raut Panji Asmorobangun yang halus memancarkan aura bangsawan, sementara wajah-wajah antagonisnya menunjukkan kekuasaan dengan detail yang rumit. Semuanya terasa mapan, agung, dan merupakan bagian dari sebuah narasi besar warisan peradaban Jawa. Bertahun-tahun, citra itulah yang mewakili "Topeng Jawa Timur" dalam benak masyarakat. Hingga suatu ketika, sebuah gambar acak di penelusuran internet mempertemukan masyarakat dengan wajah yang sama sekali berbeda, yaitu Topeng Kona dari Bondowoso.Wajah itu terasa mentah, energinya seolah melompat keluar dari layar. Goresan pahatnya tampak spontan, tidak terikat oleh "pakem" simetri yang kaku. Warnanya tegas, ekspresinya lebih menyerupai spirit alam daripada karakter drama istana. Pertemuan tidak sengaja itu memantik sebuah pertanyaan yang mengusik: Mengapa kedua topeng tersebut—yang sama-sama berasal dari satu provinsi—memiliki nasib yang begitu timpang? Satu dirayakan di panggung-panggung besar dan menjadi ikon, sedangkan yang lain hidup dalam sunyi, dijaga oleh segelintir pewarisnya di sebuah desa terpencil. Kesenjangan yang tercipta mampu melahirkan sebuah ironi dalam satu rumah budaya Jawa Timur. Ibaratnya, terdapat dua anak yang berbeda: ada anak emas dan ada anak tiri.Dua Wajah, Dua Semesta BerbedaMembandingkan Topeng Malangan dan Topeng Kona Bondowoso ibarat menandingkan dua semesta yang lahir dari rahim budaya yang berbeda. Keduanya adalah cerminan dari lingkungan sosial dan filosofis tempat masing-masing bertumbuh. Topeng Malangan adalah produk kebudayaan adiluhung. Napasnya adalah napas Kraton, dengan jejak sejarah yang terentang jauh hingga ke masa keemasan Singhasari dan Majapahit. Setiap karakter dari total 76 jenis topengnya merupakan representasi dari tatanan masyarakat feodal yang terstruktur. Ada kelompok Ksatria Panji yang menjadi protagonis, kelompok antagonis dari seberang lautan, kelompok abdi atau punakawan yang jenaka, hingga kelompok binatang yang melengkapi ekosistem cerita.Topeng Malangan merupakan media penceritaan kembali wiracarita Panji, sebuah kisah cinta dan kepahlawanan yang resonansinya menyebar hingga ke seluruh Asia Tenggara. Estetikanya pun mencerminkan kemapanan tersebut. Pahatannya halus, presisi, dan mengikuti standar keindahan (pakem) yang sudah dibakukan selama ratusan tahun. Sebuah topeng Panji harus memiliki alis nanggal sepisan (bulan sabit), hidung mancung, dan mata yang meneduhkan. Semuanya adalah simbol dari karakter ideal seorang pemimpin. Seni tersebut merupakan representasi kebudayaan yang terdokumentasi dengan baik, diajarkan secara formal, dan menjadi bagian integral dari citra budaya Malang Raya.Sumber: pexels.comDi sisi lain spektrum, ada Topeng Kona. Topeng tersebut tidak lahir dari gemerlap istana, melainkan dari denyut kehidupan masyarakat agraris di lereng pegunungan Ijen. Akarnya bukanlah sastra lisan yang agung, melainkan legenda lokal tentang sosok pelindung desa bernama Singo Ulung, atau Juk Sheng. Pertunjukannya bukan drama percintaan yang romantis, melainkan sebuah ritual yang lekat dengan siklus tanam, permohonan keselamatan, dan tolak bala. Auranya terasa lebih sakral dan komunal. Topeng Kona tidak dibuat massal sebagai suvenir. Proses pembuatannya adalah sebuah laku spiritual yang mendalam.Seperti yang dijalani oleh Sahwito, satu-satunya empu yang tersisa, pembuatan topeng harus diawali dengan wangsit atau mimpi, dilanjutkan dengan ziarah ke makam leluhur dan menggunakan kayu khusus bernama kabistoh yang semakin langka. Pahatannya lebih mengutamakan kekuatan ekspresi daripada kehalusan teknis. Wajah-wajahnya sering kali asimetris: mata melotot dan mulut menganga, memancarkan energi primal yang kuat. Topeng Kona adalah suara tulus dari masyarakat Kawula, sebuah artefak budaya yang lahir dari tanah, doa, dan kepercayaan.Hegemoni Narasi dan Sentralisasi BudayaPerbedaan nasib antara Topeng Malangan dan Topeng Kona bukanlah sebuah kebetulan. Fenomena yang terjadi mampu menyingkap adanya hegemoni narasi dalam panggung kebudayaan nasional. Narasi besar tentang "Kesenian Jawa Timur" sering kali secara tidak sadar didominasi oleh artefak-artefak yang memiliki kaitan historis dengan pusat-pusat kekuasaan masa lalu. Topeng Malangan—dengan silsilahnya yang terhubung langsung dengan kerajaan besar—secara otomatis mendapat tempat terhormat dalam kanon budaya. Statusnya sebagai warisan adiluhung membuatnya mudah diterima, dipelajari, dan dipromosikan sebagai wajah depan kebudayaan daerah.Akibatnya, terjadi sebuah sentralisasi budaya. Perhatian, pendanaan riset, program revitalisasi, dan panggung pertunjukan lebih banyak tercurah pada kesenian yang sudah memiliki nama besar. Sementara itu, kesenian yang tumbuh dari akar rumput seperti Topeng Kona yang ceritanya bersifat lokal dan estetikanya dianggap kasar, sering kali terlewat dari radar para pemangku kebijakan dan kurator budaya. Kekuatan narasi Topeng Kona yang terletak pada kesakralan dan spiritualitasnya justru menjadi kelemahan dalam industri pariwisata modern yang menuntut produk budaya yang mudah direplikasi dan dikonsumsi secara massal.Topeng Kona seolah terperangkap dalam posisinya yang otentik. Proses pembuatannya yang tidak bisa sembarangan dan fungsinya yang lebih bersifat ritual ketimbang hiburan membuatnya sulit bersaing dalam pasar ekonomi kreatif. Kondisi tersebut diperparah oleh minimnya regenerasi. Ketika seorang empu seperti Sahwito menjadi benteng terakhir, masa depan kesenian tersebut berada di ujung tanduk. Tanpa adanya intervensi dan perhatian yang serius, kisah Topeng Kona akan benar-benar menjadi sekadar cerita yang dilupakan.Ilustrasi topeng. Foto: Debora Himawan/ShutterstockMengakhiri Status Anak Tiri, Merayakan KeragamanMembiarkan Topeng Kona Bondowoso hidup dalam bayang-bayang adalah sebuah kerugian besar. Menggugat status kebiasaan "anak tiri" bukan berarti mengecilkan kebesaran Topeng Malangan. Sebaliknya, upaya yang dilakukan menjadi sebuah panggilan buat mengakui bahwa kekayaan budaya Jawa Timur dan Indonesia pada umumnya tidaklah tunggal. Ada banyak suara dan ekspresi yang sama-sama berharga, baik yang berasal dari balik tembok istana maupun yang lahir dari gubuk-gubuk di pedesaan.Menempatkan Topeng Kona pada posisi yang setara adalah sebuah langkah penting. Potensinya sangat besar, tidak hanya sebagai objek pelestarian. Bayangkan sebuah paket wisata budaya di kawasan Ijen Geopark yang tidak hanya menjual keindahan alam, tetapi juga pengalaman spiritual menyaksikan proses pembuatan Topeng Kona langsung bersama sang empu. Hal tersebut menawarkan sebuah pariwisata yang mendalam, otentik, dan berkelanjutan. Hal tersebut jauh lebih berkesan daripada sekadar membeli suvenir di toko oleh-oleh.Lebih dari itu, mengangkat kembali Topeng Kona adalah tentang mengembalikan harga diri dan identitas budaya masyarakat Bondowoso. Sebuah kesenian rakyat adalah jangkar yang mengikat sebuah komunitas dengan sejarah dan leluhurnya. Sudah saatnya narasi kebudayaan digeser dari sekadar merayakan yang besar dan populer menuju sebuah upaya sadar buat menemukan dan merawat permata-permata yang tersembunyi. Memberikan panggung yang layak bagi Topeng Kona adalah bentuk keadilan budaya, sebuah pengakuan bahwa setiap ekspresi seni, tidak peduli sekecil apa pun komunitas pendukungnya, memiliki hak yang sama buat hidup, tumbuh, dan diwariskan.