Ilustrasi Skizofrenia. Foto: Shutter StockBahasa selalu lebih dari sekadar alat komunikasi. Ia adalah cerminan batin, jendela untuk memahami seseorang, sekaligus ruang untuk menciptakan makna baru. Bagi penderita skizofrenia, bahasa sering hadir dengan cara yang berbeda dari kebanyakan orang. Mereka menciptakan kata-kata baru yang tidak ditemukan dalam kamus resmi atau fenomena yang biasanya disebut dengan istilah neologisme. Namun, apakah fenomena neologisme pada penderita skizofrenia ini hanya tanda dari gangguan pikiran, atau justru sebagai bentuk kreativitas linguistik? Salah seorang penderita skizofrenia pasien Rumah Sakit Jiwa di Jakarta menyebut kopi hitam dengan menggunakan istilah “my soulwengi”. Kata ini merupakan penggabungan dari kata soul yang berarti jiwa dalam bahasa Inggris dan kata wengi yang berarti malam dalam bahasa Jawa. Hasilnya adalah kiasan yang menggambarkan kopi sebagai jiwa malam.Bagi orang lain, ungkapan ini mungkin terdengar aneh atau tidak lazim dan membingungkan. Namun bagi pasien itu sendiri, kata tersebut memiliki makna yang mendalam. Baginya, kopi bukan sekadar minuman, melainkan bagian dari identitas dan pengalaman pribadi.Kata lain dari pasien yang sama adalah istilah “Skeba” yang digunakan untuk menamai fitur visual dalam permainan komputer, atau “ngefregen” untuk menggambarkan kondisi yang sibuk. Meskipun tidak ada dalam kamus, istilah-istilah ini tetap memiliki makna bagi si penutur.Dalam ilmu psikiatri, fenomena neologisme disebut sebagai disorganisasi bahasa, salah satu ciri khas skizofrenia yang tercatat dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (American Psychiatric Association, 2013). Dengan kata lain, kemunculan kata-kata baru dianggap sebagai tanda adanya gangguan dalam cara berpikir.Namun, dari sudut pandang linguistik, hal tersebut juga bisa dimaknai sebagai bentuk kreativitas. Bukankah dalam kehidupan sehari-hari kita pun sering menciptakan kata-kata baru karena pengaruh tren, teknologi, maupun media sosial? Bedanya, pada penderita skizofrenia, kata-kata ini tercipta dari pengalaman batin yang sangat pribadi, sehingga sulit dipahami oleh orang lain.Ilustrasi mengobrol dengan teman. Foto: fizkes/ShutterstockFenomena neologisme ini menjadi istimewa karena kata-kata baru yang diucapkan oleh penderita skizofrenia bukan sekadar kesalahan berbahasa, melainkan juga cara mereka untuk menyebut pengalaman yang sulit dijelaskan dengan kata-kata biasa. Contoh istilah lain yang disebutkan oleh salah satu pasien penderita skizofrenia seperti “glindro” untuk mengumpamakan suara berisik dalam kepalanya.Hal ini dapat dipahami sebagai ekspresi kreatif dalam menamai sesuatu yang abstrak dan mungkin tidak pernah dialami oleh orang lain. Oleh karena itu, daripada melihatnya sebagai bahasa yang aneh, lebih baik kita memahaminya sebagai cara penderita untuk menggambarkan pergulatan batinnya.Dari sudut pandang medis, fenomena ini memang dianggap penting sebagai tanda klinis dalam diagnosis. Namun, dari perspektif linguistik, hal ini menunjukkan bahwa bahasa manusia tetap produktif, bahkan ketika pikiran sedang kacau. Sementera itu, dari sudut pandang kemanusiaan fenomena ini memberikan pelajaran bahwa penderita skizofrenia bukan hanya pasien dengan gangguan, tetapi juga individu dengan dunia bahasa yang unik dan kaya imajinasi.Dengan demikian, bahasa menunjukkan bahwa kreativitas manusia tidak pernah berhenti. Bahkan ketika kondisi mental sedang sakit, seseorang tetap berusaha menciptakan makna baru melalui kata-kata. Pada penderita skizofrenia, hal ini terlihat jelas bahwa mereka memiliki imajinasi yang seharusnya dihargai, bukan sekadar dilihat sebagai gejala sakit. Dengan sedikit empati, kita bisa memahami bahwa di balik kata-kata yang terdengar aneh dan janggal, ada usaha yang tulus untuk menyampaikan pengalaman batin mereka kepada orang lain.Neologisme pada skizofrenia menunjukkan bahwa bahasa manusia selalu bergerak antara dua sisi yaitu gangguan dan kreativitas. Kata-kata seperti “my soulwengi”, “Skeba”, “ngefregen”, atau “glindro” bukan sekadar rangkaian huruf tanpa makna, tetapi bukti usaha seseorang untuk tetap berkomunikasi dan berkreasi meskipun pikirannya terpecah atau terganggu. Daripada menganggapnya hanya sebagai sesuatu yang aneh, lebih tepat bila kita melihatnya sebagai bagian dari cerita manusia yang berusaha keras untuk tetap hadir dan dimengerti.