Ilustrasi Meditasi Foto: PexelsDalam hiruk-pikuk dunia modern yang penuh nestapa, manusia sering terjebak dalam pusaran emosi yang liar. Ketidakadilan, krisis ekonomi, degradasi lingkungan, hingga kerusuhan politik menimbulkan ledakan amarah yang tak jarang justru memperburuk keadaan.Di tengah gejolak ini, Stoisisme—sebuah filsafat kuno dari Yunani—kembali terasa relevan. Bukan sebagai dogma kaku, melainkan sebagai panduan hidup yang menekankan ketenangan batin, rasionalitas, dan pengendalian diri. Seorang Stoik—kata para filsufnya—bisa menolak ketidakadilan tanpa kehilangan kendali diri, melawan dengan rasionalitas, bukan dengan amarah membabi buta.Pernyataan ini terasa sederhana, tetapi sesungguhnya menyimpan kekuatan moral yang besar. Stoisisme mengajarkan bahwa dunia luar berada di luar kuasa manusia. Hujan, kematian, gosip, maupun kebijakan zalim, semuanya termasuk kategori eksternal yang tak bisa kita kendalikan sepenuhnya.Namun, respons kitalah yang berada di tangan kita. Epictetus—filsuf Stoik yang hidup sebagai budak—menegaskan: yang benar-benar menjadi milik manusia hanyalah penilaian, kehendak, dan tindakannya sendiri. Dari sini, Stoisisme menumbuhkan manusia yang berani sekaligus jernih, yang melawan tanpa terperangkap dalam dendam yang membutakan.Ketika kita memandang Indonesia hari ini, gagasan itu terdengar semakin relevan. Di balik cahaya demokrasi, ada sisi gelap yang tak bisa kita pungkiri. Korupsi politik, oligarki ekonomi, ketimpangan sosial, hingga kerusakan lingkungan terus menghantui. Di ruang publik, protes sering berubah menjadi amukan, sementara di dunia maya, kritik tak jarang menjelma menjadi ujaran kebencian. Publik lebih mudah terpancing amarah ketimbang merawat nalar.Ilustrasi pria marah. Foto: Daniel Tadevosyan/ShutterstockDalam kegelapan ini, kita butuh keberanian Stoik: berani berkata tidak pada ketidakadilan, tetapi tetap menjaga kendali diri agar tidak menjadi bagian dari kekacauan itu sendiri.Kendali diri bukan berarti pasrah atau menyerah. Seorang Stoik bukanlah pengikut pasif yang berdiam diri di bawah bayang-bayang tirani. Sebaliknya, ia aktif menolak yang zalim, tetapi dengan strategi yang berbasis pada akal sehat.Ketika aparat melanggar hukum, seorang Stoik akan menghadapinya dengan bukti dan argumen, bukan sekadar makian kosong. Ketika politik dikuasai oligarki, seorang Stoik melawan dengan memperkuat integritas pribadi, memperjuangkan transparansi, dan membangun solidaritas sosial, bukan dengan merusak diri sendiri dalam arus kebencian yang memabukkan.Dalam pandangan ini, Stoisisme bersinggungan dengan nilai-nilai kearifan lokal di Indonesia, khususnya dalam filsafat Minangkabau. Pepatah Minang menyebut, “Alam takambang jadi guru.” Hidup manusia mesti sejalan dengan hukum alam, serupa dengan gagasan Stoik tentang logos yang mengatur jagat raya. Alam mendidik manusia untuk sabar menghadapi musim, bijak mengelola sumber daya, dan arif menerima takdir.Bagi orang Minang, musyawarah adalah jalan utama untuk menyelesaikan perselisihan. Mereka meyakini, “Bulek aia dek pambuluah, bulek kato dek mufakat.” Artinya, keputusan yang sah bukan hasil amarah individual, melainkan buah kebersamaan yang rasional.Perspektif ini sejalan dengan semangat Stoik: menolak ketidakadilan bukan dengan teriakan emosional, melainkan dengan kesadaran kolektif yang rasional. Orang Minang juga mengenal prinsip “sakik samo diraso, hilang samo dicari.” Solidaritas sosial menjadi dasar perjuangan, sebagaimana dalam Stoisisme yang menyatakan bahwa keutamaan tidak hanya untuk diri, tetapi juga demi kemaslahatan komunitas. Dengan kata lain, Stoisisme dan filsafat Minangkabau bertemu dalam titik yang sama: manusia mesti berani, tetapi juga bijak; keras pada prinsip, tetapi lembut dalam cara.Ilustrasi keluarga bahagia. Foto: Nattakorn_Maneerat/ShutterstockIndonesia gelap yang kita hadapi hari ini menuntut model kepemimpinan dan kewargaan semacam itu. Kita tidak bisa terus-menerus membalas kekerasan dengan kekerasan, atau korupsi dengan caci-maki. Kemarahan yang meledak hanya melahirkan siklus dendam. Apa yang kita perlukan adalah manusia Stoik-Minang: pribadi yang tabah, rasional, dan berakar pada kearifan lokal. Sosok ini tahu bagaimana menolak kebijakan zalim tanpa merusak martabatnya sendiri, tahu bagaimana bersuara lantang tanpa menghina, dan tahu bagaimana melawan dengan strategi yang memperkuat, bukan menghancurkan.Kita bisa melihat cerminannya pada beberapa figur bangsa. Mereka memilih melawan lewat pena, lewat karya, atau lewat konsistensi moral meski dicemooh atau disingkirkan. Mereka adalah Stoik dalam arti sejati: tidak tergoda oleh pujian, tidak hancur oleh hinaan, terus melangkah dengan keyakinan bahwa keutamaan lebih tinggi daripada kekuasaan. Dalam tradisi Minangkabau, sosok ini disebut “urang nan ampek jinih”—manusia paripurna yang seimbang antara akal, rasa, budi, dan laku.Namun, untuk melahirkan manusia semacam ini, kita perlu perubahan dalam pendidikan, politik, dan budaya. Pendidikan harus mengajarkan pengendalian diri, bukan sekadar kecepatan menghafal. Politik harus memberi teladan etika, bukan hanya keterampilan retorika. Budaya harus menghidupkan kembali nilai gotong-royong dan musyawarah, bukan membiarkan masyarakat larut dalam polarisasi media sosial.Stoisisme tidak pernah menjanjikan dunia yang sempurna. Bahkan para Stoik tahu, hidup selalu dipenuhi ketidakpastian. Namun, mereka mengajarkan bahwa manusia bisa menciptakan terang dalam dirinya sendiri, meski dunia luar tampak gelap. Dengan perspektif itu, Indonesia gelap bukan akhir, melainkan ujian. Apakah kita akan larut dalam amarah yang menghancurkan, atau bangkit dengan rasionalitas dan kendali diri?Jawabannya akan menentukan arah bangsa ini. Sebab, seperti kata pepatah Minang, “Nan sabana sabana, indak ka hilang dek paneh, indak ka hanyut dek hujan.” Kebenaran yang sejati tidak akan lenyap oleh badai zaman. Yang dibutuhkan hanyalah manusia yang setia merawatnya—manusia Stoik yang berjiwa Minangkabau, berani menolak ketidakadilan, tetapi tetap jernih, rasional, dan bermartabat.