Lulusan Banyak, Literasi Rendah: Pendidikan Kita Salah Arah?

Wait 5 sec.

Ilustrasi pendidikan di Indonesia. Foto: KemendikbudristekIndonesia kini melahirkan jutaan lulusan setiap dekade. Perguruan tinggi bertambah, kampus mengeluarkan gelar, dan angka partisipasi pendidikan tinggi terus naik. Jika dilihat dari statistik melek huruf dasar, capaian kita tampak memuaskan: tingkat melek huruf penduduk usia 15–24 tahun nyaris menyentuh angka sempurna, tercatat di kisaran 99,6–99,9% menurut Badan Pusat Statistik. Namun, realitas kemampuan membaca yang diperlukan untuk hidup modern—seperti membaca kritis, memahami argumen panjang, menilai sumber—memperlihatkan wajah lain yang lebih suram.Data Literasi Di IndonesiaHasil PISA 2022 untuk Indonesia menunjukkan bahwa hanya sekitar 25% siswa 15 tahun yang mencapai level minimal kemahiran membaca (Level 2 atau lebih tinggi), jauh di bawah rata-rata OECD yang mencapai 74%. Dengan kata lain, meski anak muda secara teknis "melek huruf", kemampuan fungsional mereka dalam memahami teks kompleks dan berpikir kritis masih sangat terbatas. Ini bukan sekadar laporan akademis; konsekuensinya pada dunia kerja dan kehidupan sipil sangat nyata.Ambiguitas antara "melek huruf" dan "literasi fungsional" semakin diperjelas oleh data BPS yang menampilkan angka melek huruf luas (15–59 tahun) yang juga relatif tinggi, sementara penilaian internasional menempatkan kemampuan baca siswa Indonesia di peringkat menengah ke bawah. Perbedaan ini menunjukkan masalah struktural sistem pendidikan kita mampu mengajarkan pengenalan huruf dan mekanik membaca, tetapi gagal membentuk kebiasaan membaca mendalam dan kemampuan menafsirkan informasi yang bernilai.Faktor PenyebabPISA 2022 juga menemukan titik lemah lain: kemampuan berpikir kreatif dan kemampuan untuk menilai sumber informasi menonjol rendah pada siswa Indonesia, sebuah sinyal bahaya di era informasi yang penuh hoaks dan kompleksitas. Kesenjangan antara literasi dasar dan literasi tingkat lanjut berkaitan erat dengan faktor sosial ekonomi. Temuan PISA 2018 menegaskan bahwa status sosial ekonomi masih memengaruhi hasil membaca, sehingga siswa yang kurang beruntung kian tertinggal. Ilustrasi anak membaca. Foto: ThinkstockAkar masalahnya terletak pada multi-dimensi. Kurikulum yang terlalu berorientasi pada ujian membuat praktik membaca berujung pada strategi menemukan jawaban, bukan mengeksplorasi ide. Pelatihan guru kadang fokus pada penguasaan materi dan bukan pada teknik mengajar membaca yang memicu rasa ingin tahu. Di luar sekolah, akses ke buku bermutu dan ruang baca yang hidup masih sangat timpang antardaerah, perpustakaan sekolah banyak yang pasif atau hanya sekadar ada nama. Evaluasi gerakan literasi nasional menunjukkan beberapa praktik sukses, tetapi juga menunjukkan ketidakmerataan pelaksanaan di lapangan. Dampak Nyata Literasi RendahDampak ekonominya nyata. Tenaga kerja yang tidak terlatih membaca analitis akan kesulitan bersaing di pekerjaan yang membutuhkan kemampuan problem solving dan komunikasi. Investor dan industri juga mencari tenaga kerja yang bisa memahami dokumen teknis, beradaptasi dengan informasi baru, dan memilah sumber yang dapat dipercaya. Ketika lulusan sarjana tidak memiliki kompetensi ini, risiko underemployment dan pengangguran terselubung meningkat. Gelar ada, tetapi pekerjaan layak tidak selalu ikut menyertai.Lembaga internasional menekankan bahwa literasi abad ke-21 bukan sekadar kemampuan mengenali huruf, melainkan keterampilan berpikir kritis, numerasi, dan literasi digital yang terintegrasi. Data dan rekomendasi dari UNESCO serta World Bank menegaskan pentingnya fokus pada kompetensi yang relevan untuk dunia kerja dan kehidupan bermasyarakat. Solusi praktis harus menggabungkan kebijakan dan budaya. Kurikulum perlu menempatkan literasi fungsional sebagai kompetensi inti, bukan tambahan program pengembangan profesional. Guru harus memprioritaskan metode membaca mendalam, dan penilaian berbasis pemahaman. Selain itu, investasi pada perpustakaan, akses buku berkualitas, dan program komunitas membaca harus menjadi bagian anggaran pendidikan rutin, terutama di daerah tertinggal. Pengukuran capaian literasi juga perlu disempurnakan, cukupnya angka melek huruf tidak boleh menutupi rendahnya kemampuan membaca kritis.Ilustrasi anak belajar di sekolah Foto: ShutterstockMasih ada ruang optimis jika kebijakan dan praktik digeser. Program percontohan yang mengombinasikan pelatihan guru, klub membaca berbasis komunitas, dan perpustakaan digital bisa menjadi langkah awal yang cepat dan terukur. Kerja sama dengan penerbit lokal untuk menghadirkan buku murah dan insentif bagi guru yang menunjukkan peningkatan capaian literasi siswanya akan mendorong perubahan perilaku. Penting pula memasukkan literasi digital dengan cara mencari, menilai, dan menggunakan informasi daring sebagai bagian terintegrasi dari program literasi, mengingat situasi kini di mana anak muda lebih sering berinteraksi dengan teks daring daripada buku cetak.Akhirnya, ukuran keberhasilan pendidikan tidak boleh lagi sekadar pada jumlah lulusan atau tingkat melek huruf yang tinggi. Ukuran yang lebih bermakna adalah seberapa banyak lulusan yang mampu membaca dunia mereka, menalar, dan berkarya. Jika kita serius, ada banyak hal konkret yang bisa dilakukan sekarang. Jika tidak, kita hanya menumpuk gelar tanpa wajah dan menjadi sebuah bukti bahwa sistem pendidikan kita memilih kuantitas ketimbang kualitas yang mendasar.