Konstruksi Identitas India “Pharmacy of The World” dalam Lensa Konstruktivisme

Wait 5 sec.

Ilustri industri farmasi di India https://www.canva.com/designKetika dunia membicarakan akses obat murah, nama India hampir selalu disebut. India memang dikenal sebagai “Pharmacy of the World” atau “Apotek Dunia” karena perannya sebagai pemasok utama obat-obatan generik, bahan baku farmasi dan vaksin ke berbagai negara. Namun, identitas ini tidak muncul tiba-tiba melainkan lahir dari proses panjang yang melibatkan intervensi kebijakan domestik, dinamika global, dan diplomasi kesehatan yang membentuk identitas India di mata dunia. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Paten 1970, industri farmasi India tumbuh pesat dengan mengandalkan kekuatan produksi generik, menjadikannya salah satu produsen obat generic terbesar di dunia (Business Standard, 2023). Saat ini, India menjadi tulang punggung kesehatan global dengan memasok sekitar 20% kebutuhan obat generik dan hampir 60% kebutuhan vaksin dunia (Nature, 2021). Tidak berhenti di situ, India juga tercatat sebagai produsen Active Pharmaceutical Ingredients (API) terbesar ke-3 di kawasan Asia-Pasifik, dengan kontribusi sekitar 8,5% terhadap produksi global yang semakin memperlihatkan peran komprehensif India dari hulu hingga hilir dalam ekosistem farmasi dunia.Lalu bagaimana India mengkonstruksi identitasnya sehingga saat ini menjadi “Pharmacy of the World”? Sebuah identitas yang dibentuk tidak hanya dalam satu periode waktu, tapi dibangun secara kontinyu dan berkesinambungan oleh India sejak era 1970an. Dalam paradigma hubungan internasional, konstruktivisme melihat bahwa identitas negara bukanlah sesuatu yang given, melainkan hasil konstruksi sosial yang dibentuk lewat interaksi dan kepentingan bersama antaraktor. Wendt (1992) menegaskan bahwa identitas dan kepentingan negara lahir dari gagasan bersama, bukan sekadar dari kekuatan material, sehingga bagaimana sebuah negara dipersepsikan baik oleh dirinya sendiri maupun oleh komunitas internasional yang akan menentukan pola tindakannya. Dengan kata lain, identitas bersifat relasional: ia terbangun melalui pengakuan dan ekspektasi timbal balik.Kebijakan Paten India 1970Awal mula perjalanan India menuju identitas “Pharmacy of the World” dimulai dari revolusi kebijakan paten tahun 1970. Pada masa awal kemerdekaan, pasar farmasi India dikuasai perusahaan Barat; pada 1947 sekitar 90% pasar dikuasai oleh perusahaan AS dan Eropa (Business Standard, 2023). Obat-obatan bermerek impor dijual dengan harga tinggi dan sulit diakses rakyat banyak. Kondisi ini mendorong pemerintah di bawah Perdana Menteri Indira Gandhi mencari solusi agar India mandiri dalam sektor farmasi. Yusuf Hamied, seorang ilmuwan yang selanjutnya dikenal sebagai pemimpin Cipla bahkan mengirim pesan provokatif kepada Indira Gandhi: “Haruskah nyawa orang India terancam karena penemu obat tidak suka warna kulit kami?”, merujuk pada kasus obat jantung Propranolol yang saat itu tidak dijual di India karena dilindungi paten asing (Business Standard, 2023).Menjawab tantangan ini, pemerintah India bertindak cepat dengan melahirkan Patent Act 1970. Regulasi ini melarang paten produk farmasi dan hanya memperbolehkan paten pada proses pembuatannya (Business Standard, 2023). Artinya, formula obat tidak bisa dipatenkan, tetapi proses produksinya bisa. Sebuah kebijakan inovatif yang membuka jalan bagi perusahaan India untuk membuat versi generik dari obat baru melalui modifikasi proses. Selain itu, aturan ini juga memungkinkan pemberlakuan lisensi wajib (compulsory license) bila pemegang paten tidak menyediakan obat secara memadai untuk kebutuhan publik (Business Standard, 2023). Kebijakan tersebut sejalan dengan visi Indira Gandhi tentang keadilan dalam kesehatan global; dalam Sidang Kesehatan Dunia WHO tahun 1982, ia menegaskan: “Gagasan tatanan dunia yang lebih adil adalah dunia di mana penemuan medis bebas dari paten, dan tidak ada keuntungan (material) dari hidup dan mati”. Dampak dari UU Paten 1970 sangat signifikan. Industri farmasi lokal tumbuh pesat karena perusahaan India kini bisa melakukan reverse engineering terhadap obat-obatan baru tanpa melanggar hukum. Mereka menganalisis komposisi obat inovator, lalu menciptakan obat yang sama dengan proses berbeda. Hanya dalam beberapa tahun, India sudah mampu meluncurkan versi lokal dari Ibuprofen (dikembangkan 1967) sudah dibuat di India pada 1973, sementara Ciprofloxacin (diperkenalkan 1986) dalam tiga tahun sudah tersedia versi generiknya di India. Transformasi ini membuat jumlah pabrik farmasi domestik melonjak lebih dari dua kali lipat sepanjang 1970-an hingga 1980-an. Perusahaan seperti Cipla, Ranbaxy, Dr. Reddy’s, dan Wockhardt bermunculan, memperkuat kemandirian nasional. Pada 2006, produsen India mampu memasok hingga 95% kebutuhan obat dalam negeri yang merupakan sebuah lompatan luar biasa dari kondisi pascakolonial. Kebijakan pro-rakyat ini menanamkan narasi bahwa India memprioritaskan akses luas bagi masyarakat ketimbang sekadar keuntungan komersial.Fondasi inilah yang kemudian membentuk identitas awal India sebagai produsen obat murah bagi negara-negara berkembang di Global South. Identitas tersebut lahir bukan hanya dari keberanian mengambil jalur kebijakan berbeda dari negara maju, tetapi juga dari narasi moral Indira Gandhi yang menekankan prinsip-prinsip norma kesetaraan dalam akses kesehatan (global equity). Pertumbuhan Industri Farmasi Memasuki dekade 1980–1990-an, industri farmasi India semakin matang dan mulai menembus pasar global dengan obat generik murah. India menawarkan alternatif terjangkau bagi negara-negara berkembang yang tidak mampu membeli obat paten dari negara maju. Interaksi komersial dan bantuan teknis di sektor kesehatan pun meningkat antara India dan negara-negara Afrika, Asia, hingga Amerika Latin. Organisasi internasional seperti WHO dan UNICEF mulai mengandalkan pabrik-pabrik India sebagai sumber pasokan vaksin dan obat esensial. Reputasi India sebagai penyedia “obat murah” pun menguat. Sebuah studi UNITAID tahun 2010 mencatat bahwa dalam tujuh tahun sebelumnya, lebih dari 80% obat AIDS yang didanai donor untuk negara berkembang bersumber dari produsen generik India, mengukuhkan status India sebagai “pemimpin akses kesehatan di negara berkembang” (Times of India, 2010). Bahkan, pada 2008, 96 dari 100 negara dengan beban HIV tinggi membeli ARV generik dari India (Times of India, 2010).Kiprah Cipla menjadi simbol paling ikonik dari misi kemanusiaan ini. Pada puncak krisis AIDS di akhir 1990-an, harga terapi antiretroviral (ARV) di Barat mencapai 10.000–15.000 dolar AS per pasien per tahun, angka yang mustahil dijangkau Afrika (Quartz, 2019). Pada 2001, Dr. Yusuf Hamied, pimpinan Cipla, memanfaatkan ketiadaan paten produk di India untuk memproduksi koktail ARV generik, dan menawarkan paket tiga ARV hanya seharga 350 dolar AS per pasien per tahun (sekitar 1 dolar per hari) (Quartz, 2019). Tawaran ini mengguncang dunia saat media global menyorot India sebagai penyelamat jutaan nyawa yang sebelumnya “dipatok” mahal oleh Big Pharma. Identitas India sebagai “Apotek Dunia” semakin nyata ketika data menunjukkan dominasi dalam pasokan obat esensial global. Sekitar 40% obat generik yang dikonsumsi di Amerika Serikat dipasok oleh India (VNExpress, 2022). Industri farmasi India kini menempati peringkat ketiga dunia dalam volume produksi, meskipun peringkat ke-14 dalam nilai pasarnya (Rmol.id, 2022). Perusahaan besar seperti Sun Pharma, Dr. Reddy’s, dan Cipla mengekspor produk ke lebih dari 200 negara (Livemint, 2023). Dengan biaya produksi yang rendah dan keahlian reverse engineering, India tidak hanya menjual obat berkualitas dengan harga terjangkau, tetapi juga menjadi mitra kunci program kesehatan global seperti Global Fund untuk AIDS, TB, dan Malaria.Angka-angka ini tentunya hanyalah puncak gunung es dari proses konstruksi sosial yang panjang. Dalam perspektif konstruktivisme, dominasi India di sektor farmasi dunia mencerminkan identitas peran yang terbentuk melalui ekspektasi kolektif: dunia memandang India sebagai penyedia obat murah, dan India pun menginternalisasi peran itu sebagai bagian dari dirinya. Setiap kontrak ekspor, setiap program kerjasama dengan WHO, atau setiap keterlibatan India dalam penurunan harga ARV bukan hanya transaksi ekonomi, melainkan juga praktik simbolik yang mempertegas siapa India di mata dunia. Dengan demikian, reputasi India bukan sekadar reputasi dagang, tetapi bagian dari legitimasi internasional yang terbentuk lewat interaksi berulang. Identitas “Apotek Dunia” muncul karena ada kebutuhan global akan obat murah, ada respons konsisten dari India, dan ada pengakuan internasional yang melembagakan peran itu. Identitas ini kemudian menjadi bentuk soft power India di tingkat internasional. Diplomasi Kesehatan dan Soft Power IndiaIdentitas India sebagai “Pharmacy of The World” juga dibentuk lewat pertarungan di rezim internasional dan diplomasi kesehatan. Saat India bergabung dengan WTO pada 1995, ia terikat Perjanjian TRIPS yang mulai 2005 mengharuskan perlindungan paten produk obat. Meski sempat dikhawatirkan akan mematikan model generik murah, India menggunakan masa transisi untuk memperkuat industri domestik sekaligus memperjuangkan fleksibilitas aturan global. Hasilnya terlihat dalam Doha Declaration on TRIPS and Public Health (2001), yang menegaskan bahwa kesehatan publik berada di atas kepentingan paten. Amandemen UU Paten India pada 2005 pun memasukkan pasal antievergreening seperti Section 3(d) untuk mencegah monopoli artifisial obat lama. Implementasi aturan ini diuji dalam kasus Novartis vs. Union of India (Glivec), ketika pada 2013 Mahkamah Agung menolak paten Glivec karena dianggap hanya modifikasi kecil tanpa manfaat klinis signifikan. Putusan ini tidak hanya melindungi pasien India, tetapi juga pasien di seluruh Global South yang bergantung pada generik India. Dengan kata lain, hukum domestik India dibentuk selaras dengan ekspektasi global agar India terus menjadi pemasok obat murah.Interaksi India dengan forum internasional lain memperkuat identitas ini. Di WHO sendiri, India konsisten menyuarakan akses obat untuk semua. Program kerja sama India–Afrika menyediakan obat HIV, TB, dan malaria bersubsidi (IDSA, 2015), sementara Cipla dan Ranbaxy telah puluhan tahun memasok ARV murah ke Afrika. WHO pun memberi mekanisme prequalification yang mengukuhkan kualitas obat India. Konsistensi ini menghasilkan moral capital dimana India dipandang sebagai negara yang menaruh kepentingan kemanusiaan di atas kalkulasi untung rugi secara material. Puncak diplomasi kesehatan India terlihat pada pandemi COVID-19. Melalui program Vaccine Maitri yang diluncurkan awal 2021, India menyalurkan lebih dari 64 juta dosis vaksin ke lebih dari 85 negara hanya dalam tiga bulan pertama. Sebagai salah satu produsen vaksin terbesar di dunia, sebelum pandemi menyuplai sekitar 60% vaksin global (Livemint, 2020), India berada di posisi unik untuk membantu dunia. Vaksin buatan India dikirim gratis atau dengan biaya minimal ke Asia Selatan, Afrika, Asia Tenggara, hingga Karibia melalui program Vaksin Maitri Langkah ini bukan sekadar transaksi, tetapi sebuah gestur diplomasi kesehatan yang mengukuhkan reputasi India sebagai Apotek Dunia sekaligus memperkuat soft power-nya.Bahkan WHO memuji “altruisme vaksin” India, sementara banyak negara penerima menyambutnya sebagai simbol solidaritas global. Narasi ini dipertegas oleh para pemimpin India yang menyebut Pharmacy of the World dalam pidato diplomatik, berpadu dengan semangat Vasudhaiva Kutumbakam (“Dunia adalah satu keluarga”). Dengan cara ini, diplomasi vaksin menjadi instrumen soft power dengan membangun pengaruh melalui nilai moral, solidaritas, dan legitimasi internasional.Meski gelombang COVID-19 pada April 2021 sempat memaksa India menunda ekspor, identitas ini tetap bertahan. Hingga akhir 2021, melalui Vaccine Maitri, India telah memasok lebih dari 72 juta dosis ke 94 negara (Livemint, 2021). Pesan yang tersampaikan jelas: dunia berharap pada India, dan India sendiri terdorong memenuhi peran itu demi konsistensi identitas yang tetap ingin dimilikinya. Dengan demikian, diplomasi kesehatan menjadi arena utama di mana India mengartikulasikan identitasnya. Dari arena WTO hingga inisiatif vaksin, India menggunakan farmasi bukan hanya sebagai mesin ekonomi, tetapi juga sebagai alat diplomasi dan soft power, sebuah sumber legitimasi moral yang memperkuat pengaruhnya di panggung global.KesimpulanIdentitas India sebagai “Pharmacy of The World” dikonstruksi melalui kombinasi empat fondasi utama.Pertama, desain kebijakan pro-generik sejak UU Paten 1970 hingga fleksibilitas TRIPS, yang menegaskan komitmen India pada akses obat murah. Kedua, kapasitas manufaktur berskala global, dari obat generik, API, hingga vaksin, yang menempatkan India di peringkat ketiga dunia dalam volume produksi dan sebagai pemasok hampir 60% vaksin global. Ketiga, diplomasi kesehatan, dengan momentum seperti penyediaan ARV murah di era HIV/AIDS dan inisiatif Vaccine Maitri di masa COVID-19, yang memperluas pengaruh India melalui solidaritas kemanusiaan. Keempat, narasi simbolik negara, dari Indira Gandhi hingga Narendra Modi, yang terus menegaskan peran India sebagai penyedia obat dunia terutama di negara-negara Global South. Kombinasi empat unsur ini mengikat persepsi eksternal dan internal bahwa India memang Pharmacy of the World. Dunia menaruh harapan agar India menjaga akses, kualitas, dan keberlanjutan pasokan; sementara India sendiri terdorong memperkuat kebijakan industri, inovasi R&D, dan regulasi mutu untuk mempertahankan reputasi itu.Namun, ke depan terdapat tantangan serius. Pertama, ketergantungan tinggi pada impor API (bahan baku obat) dari Tiongkok yang mencapai lebih dari 70% masih menjadi titik lemah rantai pasok. Kedua, isu kualitas, seperti kasus sirop batuk yang menimbulkan korban di Gambia dan Uzbekistan (2022) menunjukkan bahwa reputasi global bisa runtuh hanya oleh satu insiden. Ketiga, kompetisi geopolitik dengan Tiongkok dan produsen farmasi baru di Asia maupun Afrika menuntut India untuk terus berinovasi agar tidak kehilangan pangsa pasar. Keempat, tekanan regulasi internasional di sektor paten, standar keamanan, dan transparansi harga berpotensi menguji keseimbangan antara kepentingan komersial dan misi kemanusiaan.Jika India mampu menjawab tantangan ini, identitasnya sebagai “Pharmacy of the World” akan semakin kokoh dan menempatkannya di jantung perdebatan kesehatan global, sebagai penentu arah keadilan dalam akses obat dan vaksin di abad ke-21.