Makanan Ultra-Olahan Murah dan Mudah Dijangkau, Tren Obesitas pada Anak dan Remaja Naik Dua Kali Lipat

Wait 5 sec.

Lonjakan obesitas disebabkan maraknya makanan tidak sehat, seperti camilan murah, makanan ultra-olahan, dan minuman manis. (Unsplash)JAKARTA – Negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah mengalami peningkatan kelebihan berat badan atau obesitas paling tajam di kalangan anak usia sekolah dan remaja.Laporan UNICEF bertajuk Child Nutrition Report 2025 – Feeding Profit: How food environments ara failing children mengungkapkan, negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah mengalami peningkatan prevalensi obesitas sangat pesat selama dua dekade terakhir.Misalnya, prevalensi obestas di antara anak-anak dan remaja usia 5-19 tahun naik tiga kali lipat pada 2000 dan 2022, serta mencapai tingkat medium (dari 15 persen menjadi kurang dari 25 persen) di sembilan negara, lima di antaranya Asia Selatan, yaitu Bhutan, Republik Demokratik Kongo, Indonesia, Liberia, Maladewa, Pakistan, Sri Lanka, dan Vietnam.Lonjakan obesitas ini disebabkan maraknya paparan industri retail yang menjajakan makanan tidak sehat, seperti camilan murah, makanan ultra-olahan, dan minuman manis.Prevalensi obesitas pada anak dan remaja mengalami peningkatan dalam beberapa tahun terakhir. (Unsplash)“Ketika kita bicara soal malnutrisi, kita tidak lagi hanya membicarakan tentang anak-anak yang kekurangan berat badan,” kata Direktur Eksekutif UNICEF Catherine Russell dalam laporan tersebut.“Obesitas merupakan masalah yang terus berkembang dan dapat memengaruhi kesehatan dan perkembangan anak,” lanjutnya.Makanan ultra-olahan semakin menggantikan buah, sayur, dan protein, padahal nutrisi memainkan peran penting dalam pertumbuhan, perkembangan kognitif, dan kesehatan mental anak.Prevalensi Obesitas Meningkat TajamObesitas terjadi ketika seseorang memiliki akumulasi lemak berlebih yang menimbulkan risiko kesehatan, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Anak-anak dianggap kelebihan berat badan ketika mereka “secara signifikan lebih berat daripada berat badan yang sehat untuk usia, jenis kelamin, dan tinggi badan mereka,” catat UNICEF.Menurut data di lebih dari 190 negara, para peneliti menemukan bahwa dalam 25 tahun terakhir, angka anak obesitas melonjak dua kali lipat dari 194 juta menjadi 391 juta. Beberapa negara mengalami peningkatan obesitas yang lebih tinggi dibandingkan negara lain.Di Asia Selatan, kawasan dengan prevalensi obesitas terendah pada 2000, justru prevalensinya meningkat hampir lima kali lipat pada 2022.Prevalensi obesitas pada anak dan remaja sebelumnya terjadi di negara-negara berpenghasilan tinggi. Namun, sejak tahun 2000, prevalensi obesitas naik lebih dari dua kali lipat di negara berpenghasilan rendah dan menengah. Hasilnya, kesenjangan prevalensi semakin menyempit, dan negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah kini menyumbang 81 persen dari beban obesitas global, naik dari 66 persen pada tahun 2000.Sejumlah tim dokter membawa Arya Permana (10), anak dengan 'Severe Obesity' atau kegemukan yang amat sangat untuk dirawat di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS), Bandung, Jawa Barat pada 2016. [ Antara Foto/Novrian Arbi ]Menurut catatan UNICEF, di negara-negara berpenghasilan rendah, anak-anak lebih mungkin mengalami obesitas jika mereka berasal dari rumah tangga yang lebih kaya, yang mampu membeli lebih banyak makanan, termasuk makanan padat energi.Di negara-negara yang bertansisi ke status berpenghasilan menengah, makanan dan minuman ultra-olahan menjadi lebih tersedia secara luas dan lebih terjagkau, meningkatkan prevalensi obesitas di kalangan anak-anak di semua tingkat pendapatan rumah tangga.Sebaliknya, di negara berpenghasilan tinggi, pola makan yang buruk dan tidak sehat merupakan penanda kemiskinan, bukan kemakmuran. Dan, anak yang mengalami obesitas cenderung lebih umum di kalangan anak-anak dan remaja yang berasal dari rumah tangga yang lebih miskin.Dampak ObesitasMakanan dan minuman ultra-olahan yang murah membanjiri pasar ritel dan menyusup ke sekolah-sekolah. Penjualan global makanan dan minuman ultra-olahan meningkat tajam, didorong oleh pertumbuhan pesat di negara-negara berpenghasilan menengah, di mana gerai ritel modern, toko grosir daring, dan aplikasi pesan antar makanan berkembang pesat.Makanan dan minuman ultra-olahan ini juga cenderung relatif lebih mudah dijangkau dibandingkan makanan bergizi segar atau yang diproses minimal.Ada harga mahal yang harus dibayar ketika obesitas menjangkiti anak-anak dan remaja. Pola makan yang tidak sehat tidak hanya meningkatkan risiko obesitas, tapi juga kondisi kardiometabolik lainnya, termasuk tekanan darah tinggi, peningkatan glukosa darah, dan kadar lipid darah yang abnormal.Masalah kesehatan ini dapat berlanjut sampai dewasa, meningkatkan risiko penyakit tidak menular, termasuk diabetes tipe 2, penyakit kardiovaskular, dan beberapa jenis kanker.Kelebihan berat badan juga dikaitkan dengan rendahnya harga diri, kecemasan, dan depresi. Orang tua menanggung beban emosional atas tantangan kesehatan mental anak-anak mereka. Masalah obesitas ini berlanjut hingga bisa memengaruhi finansial.“Orang tua menanggung beban finansial akibat biasaya pengobatan yang lebih tinggi dan hilangnya pendapatan untuk merawat mereka,” tulis laporan UNICEF.“Perekonomian di seluruh dunia berjuang dengan meningkatnya biaya perawatan kesehatan dan penurunan produktivitas tenaga kerja akibat meningkatnya kelebihan berat badan dan obesitas,” sambungnya.Masalah Gizi Ganda di IndonesiaFederasi Obesitas Dunia memperkirakan bahwa Indonesia salah satu bahkan menjadi peringkat keempat dari jumlah penderita terbanyak di dunia setelah Tiongkok, India, dan Amerika Serikat. Diperkirakan akan terdapat 206 juta anak dan remaja berusia 5-19 tahun yang hidup dengan obesitas pada tahun 2025, dan 254 juta pada tahun 2030.Pada Mei 2024, dalam webinar nasional dengan tema “Obesitas pada Anak dan Remaja di Indonesia: Kondisi dan Tantangan Terkini”, Kepala Organisasi Riset Kesehatan BRIN, Indi Dharmayanti dalam sambutannya menjelaskan bahwa Indonesia saat ini sedang mengalami transisi gizi yang ditandai dengan prevalensi kekurangan gizi yang masih tinggi, namun di sisi lain kejadian gizi berlebih berupa kegemukan dan obesitas juga memperlihatkan tren yang meningkat. Keadaan ini dikenal dengan masalah “gizi ganda”.“Upaya penanganan obesitas pada anak dan remaja di Indonesia cenderung stagnan. Data Survei Kesehatan Indonesia tahun 2023 menunjukkan prevalensi kegemukan dan obesitas hingga obesitas sekitar 19,7 persen pada anak usia anak usia 5-12 tahun dan 16 persen pada anak usia 13-15 tahun," ucap Indi.Di negara-negara yang bertansisi ke status berpenghasilan menengah, makanan dan minuman ultra-olahan menjadi lebih tersedia secara luas dan lebih terjagkau, meningkatkan prevalensi obesitas di kalangan anak-anak di semua tingkat pendapatan rumah tangga. (Unsplash)Hasil tersebut tidak jauh berbeda dengan hasil Riset Kesehatan Dasar 2018 yang berturut-turut sekitar 19,8 persen dan 16,2 persen pada kelompok usia yang sama. Senada dengan Indi, Kepala Pusat Riset Kesehatan Masyarakat dan Gizi BRIN, Wahyu Pudji Nugraheni menyampaikan bahwa Indonesia sampai saat ini masih mengalami masalah gizi triple burden yaitu kurang gizi (malnutrisi), gizi lebih (obesitas) dan kurang zat gizi mikro. Masalah gizi tersebut yang terjadi pada anak dan remaja dapat mengancam terwujudnya visi Indonesia Emas 2045.Dikatakan Wahyu, jika penanganannya berjalan lambat, maka faktor resiko dominan terjadi kegemukan dan obesitas pada anak dan remaja adalah karena faktor lingkungan, seperti asupan makanan tinggi energi dan aktivitas fisik yang rendah.