Paradoks Ekonomi Rokok

Wait 5 sec.

Pekerja perempuan menata rokok sigaret kretek tangan (SKT) untuk dikemas di sebuah pabrik rokok di Bantul, Yogyakarta, Selasa (19/12/2023). Foto: M Risyal Hidayat/Antara Foto Industri rokok di Indonesia selalu menjadi perbincangan pelik, terutama ketika berbicara tentang relasi antara politik kesehatan dan politik ekonomi. Sebagai negara dengan konsumsi rokok terbesar ketiga di dunia setelah Tiongkok dan India, Indonesia menanggung beban ganda. Di satu sisi, cukai hasil tembakau menjadi salah satu penyumbang terbesar pendapatan negara, yaitu mencapai Rp218,9 triliun pada 2023 menurut data Kementerian Keuangan. Namun di sisi lain—menurut BPJS Kesehatan (2022)—biaya kesehatan akibat penyakit terkait tembakau mencapai Rp185 triliun per tahun. Angka ini memperlihatkan paradoks: apa yang negara peroleh dari cukai nyaris habis untuk menutup ongkos kesehatan masyarakat.Politik kesehatan menekankan perlindungan masyarakat dari dampak buruk rokok, baik melalui regulasi iklan, pembatasan ruang konsumsi, maupun kenaikan tarif cukai. Namun, politik ekonomi menempatkan industri rokok sebagai pilar penting penyokong Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sekaligus penopang lapangan kerja. Sekitar 5,8 juta orang menggantungkan hidup pada ekosistem rokok, mulai dari petani tembakau, buruh pabrik linting, distribusi, hingga sektor informal. Tarik-menarik kepentingan inilah yang menempatkan pemerintah pada posisi sulit, yakni dengan menjaga kesehatan publik tanpa meruntuhkan basis ekonomi yang besar.Dalam teori politik publik, situasi ini disebut dilema policy trade-off, yaitu pilihan sulit antara dua kepentingan yang sama-sama penting. Teori public choice dari Buchanan & Tullock menegaskan bahwa kebijakan negara tidak pernah netral dan selalu dipengaruhi kepentingan politik maupun ekonomi. Dalam politik kesehatan, pemerintah sering berada di tengah situasi tarik-menarik: di satu sisi ada kelompok advokasi kesehatan yang menuntut aturan ketat demi melindungi masyarakat, di sisi lain ada industri dan pekerja yang menolak kebijakan terlalu keras karena bisa mengancam usaha dan mata pencaharian. Negara dituntut mencari titik seimbang yang adil.Pekerja melinting rokok sigaret kretek tangan (SKT) di sebuah pabrik rokok di Bantul, Yogyakarta, Selasa (19/12/2023). Foto: M Risyal Hidayat/Antara Foto Benturan KepentinganKebijakan kenaikan cukai rokok sebesar 10%—12% setiap tahun sejak 2018 sering disebut sebagai langkah politik kesehatan pemerintah. Logikanya sederhana; harga rokok dibuat semakin mahal agar orang berpikir dua kali sebelum membeli. Harapannya, konsumsi rokok berkurang, terutama di kalangan anak dan remaja.Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) menunjukkan adanya penurunan prevalensi perokok anak usia 10—18 tahun, dari 9,1% pada 2018 menjadi 8,6% pada 2023. Penurunan ini memang terlihat kecil, tetapi bisa dibaca sebagai sinyal positif bahwa kebijakan cukai memberi efek meski perlahan. Namun, laju penurunannya masih terlalu lambat bila dibandingkan dengan target besar pengendalian rokok. Artinya, kebijakan ini perlu diperkuat dengan strategi lain, seperti kampanye pendidikan publik, pengetatan iklan rokok, dan pengawasan distribusi agar perlindungan terhadap anak dan generasi muda lebih efektif.Namun, di sisi lain, industri kecil dan menengah yang memproduksi rokok kretek manual justru semakin tertekan. Data Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) menunjukkan sekitar 2.000 pabrik rokok kecil gulung tikar dalam satu dekade terakhir. Mayoritas korban adalah industri kretek tangan yang justru menyerap banyak tenaga kerja perempuan di pedesaan. Sementara itu, perusahaan multinasional dengan mesin modern relatif mampu bertahan karena lebih efisien.Fenomena ini memperlihatkan kontradiksi politik ekonomi. Alih-alih sekadar menekan konsumsi, kebijakan cukai justru mempercepat konsolidasi pasar rokok oleh segelintir perusahaan besar. Dari perspektif teori ekonomi politik, situasi ini dapat dibaca dengan konsep state capture (Hellman, 2000), yakni kondisi ketika kebijakan negara cenderung menguntungkan kelompok industri besar yang memiliki daya lobi lebih kuat dibandingkan usaha kecil.Lebih jauh, tumbangnya pabrik rokok kecil juga memiliki implikasi sosial. Buruh linting—yang mayoritas perempuan dengan tingkat pendidikan rendah—kehilangan pekerjaan. Pilihan kerja alternatif sangat terbatas, sehingga menambah angka pengangguran di daerah penghasil tembakau. Artinya, politik kesehatan yang hanya fokus pada cukai tanpa strategi diversifikasi industri menciptakan masalah sosial baru.Ilustrasi penjualan rokok batangan. Foto: Jamal Ramadhan/kumparanRuang Tengah yang TerabaikanSejatinya, politik kesehatan dan politik ekonomi tidak harus dipandang sebagai dua hal yang saling bertentangan. Keduanya bisa berjalan beriringan jika negara mampu merumuskan jalan tengah yang adil. Salah satu caranya melalui pendekatan transisi industri. Uni Eropa, misalnya, berhasil membantu petani tembakau beralih ke komoditas lain melalui subsidi pertanian dan program pelatihan. Langkah ini membuat petani tidak kehilangan mata pencaharian dan di sisi lain kebijakan kesehatan tetap berjalan.Indonesia sebenarnya punya peluang besar untuk melakukan hal serupa. Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) yang nilainya mencapai Rp4,6 triliun pada 2023 dapat dialokasikan lebih strategis. Bukan hanya untuk pengawasan, tetapi juga untuk mendukung program transisi ekonomi bagi petani, buruh pabrik, dan masyarakat terdampak. Dengan begitu, pengendalian rokok bukan sekadar menekan konsumsi, melainkan juga memberi jalan keluar ekonomi yang lebih berkelanjutan bagi semua pihak.Sayangnya, pemanfaatan DBHCHT di Indonesia seringkali tidak tepat sasaran. Laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan sebagian besar dana justru digunakan untuk membiayai kegiatan seremonial, bukan program pemberdayaan petani atau buruh linting. Akibatnya, alih-alih membantu, dana tersebut tidak menjawab akar persoalan ketergantungan ekonomi masyarakat pada industri rokok.Selain itu, strategi komunikasi publik pemerintah masih lemah. Kampanye anti rokok sering terkesan normatif tanpa memerhatikan konteks sosial budaya masyarakat Indonesia. Rokok bukan sekadar produk konsumsi, melainkan bagian dari identitas budaya, khususnya kretek yang disebut warisan bangsa. Tanpa memahami dimensi kultural ini, kebijakan kesehatan akan selalu ditentang.Menurut Antonio Gramsci, kekuasaan tidak hanya bertumpu pada uang atau kekuatan politik, tetapi juga pada penerimaan masyarakat. Inilah yang disebut hegemoni yaitu sebuah situasi ketika orang mau mengikuti aturan karena merasa hal itu masuk akal dan bermanfaat. Dalam politik kesehatan, kebijakan tidak akan efektif hanya dengan dana besar atau aturan ketat. Ia harus mendapat dukungan masyarakat. Jika warga belum melihat pilihan lain yang lebih baik, mereka cenderung mengikuti. Namun, dominasi semacam itu lemah bila tanpa kesadaran bersama. Kebijakan kesehatan dapat menjadi kuat bila masyarakat merasa bahwa hal itu lahir dari kebutuhan dan kepentingan mereka sendiri.Ilustrasi perokok. Foto: Jonathan Alcorn/ReutersMengoreksi Haluan KebijakanPada masa mendatang, negara perlu menata ulang arah kebijakan rokok dengan mengedepankan tiga strategi. Pertama, reorientasi kebijakan cukai agar tidak sekadar menekan konsumsi, tetapi juga mendukung diversifikasi industri. Cukai bisa diarahkan untuk mendanai program nyata bagi petani tembakau, buruh linting, hingga daerah penghasil rokok. Kedua, pendekatan transisi ekonomi yang inklusif. Pemerintah harus membuka jalan bagi industri alternatif, terutama di daerah basis rokok. Misalnya, pengembangan agrowisata tembakau, industri herbal, atau usaha kecil berbasis kearifan lokal. Pendekatan ini tidak hanya menciptakan lapangan kerja baru, tetapi juga mengurangi resistensi sosial terhadap kebijakan kesehatan. Ketiga, penguatan komunikasi publik. Kampanye kesehatan perlu dibangun dengan bahasa yang membumi, tidak sekadar larangan moral. Pengalaman Thailand menunjukkan bahwa kampanye kesehatan berbasis komunitas jauh lebih efektif dibandingkan iklan pemerintah. Masyarakat diajak berdialog, bukan hanya diperintah untuk berhenti merokok.Dengan langkah ini, politik kesehatan dan politik ekonomi dapat berjalan beriringan, bukan saling berbenturan. Negara bisa menjaga kesehatan publik tanpa mengorbankan jutaan pekerja dan petani yang masih hidup dari industri rokok. Kisah tarik-menarik antara politik kesehatan dan politik ekonomi dalam industri rokok adalah potret nyata dilema kebijakan publik di Indonesia. Negara kerap terjebak pada logika jangka pendek dengan menaikkan cukai demi menekan konsumsi sekaligus menambah pendapatan. Namun, tanpa strategi transisi yang komprehensif, kebijakan ini justru melahirkan masalah sosial baru.Dalam situasi ini, yang diperlukan bukan sekadar keberanian menaikkan cukai, melainkan keberanian menata ulang arah pembangunan. Rokok hanyalah salah satu contoh bagaimana kepentingan kesehatan dan ekonomi sering kali berbenturan. Pertanyaan mendasarnya: Apakah negara akan terus terjebak dalam tarik-menarik dua kutub ini, atau berani mengambil jalan tengah demi masa depan yang lebih sehat sekaligus berkeadilan ekonomi?