Ilustrasi perempuan menangis. Foto: ShutterstockAda rasa hangat yang menyelip di hati ketika melihat seorang teman terdekatku menangis di hadapan ayahnya ketika acara pernikahannya. Ada sedikit rasa iri dan pertanyaan yang tak bisa kutepis: “Apakah di kehidupan yang lain, aku akan punya kesempatan merasakan hal yang sama?” ada rasa haru ketika seorang teman bercerita betapa dia merindukan ayahnya yang sudah berpulang, dia rindu ketika ayahnya menunggu dia sepulang kerja untuk sekedar bertanya, “gimana kerjaannya?” atau ketika sang ayah yang telaten memeriksa keadaan sang buah hati di tanah perantauan.Ayahnya yang selalu menjadi garda terdepan ketika dia membutuhkan pertolongan, ayahnya yang selalu siap sedia menghadang siapapun yang berusaha menyakiti putri kecilnya.Dan setelah semua rasa itu, yang tersisa di hatiku hanyalah hampa. Di antara sekian miliar anak perempuan di dunia ini, beberapa di antaranya beruntung terlahir dengan ayah yang dapat menjadi cinta pertamanya. Ayah yang tidak menjadi penoreh luka di hati anak perempuannya. Namun beberapa lainnya terlahir dengan hati yang kuat, kepal tangan yang erat, kaki yang gemetar namun tetap mampu berdiri tegak, dan ruang cinta di hati yang kosong. Kekosongan inilah yang kemudian selalu senantiasa mengikuti ke manapun dia pergi, seperti bayangan, selalu mengiringi ke manapun langkahnya, mencengkeram pikirannya kuat-kuat. Kekosongan ini juga menjadi katalis dalam pertumbuhan emosionalnya, kekosongan itu sendiri bukanlah sebuah kekurangan. Justru dari sanalah ia belajar mencintai dirinya lebih dalam, belajar bertahan meski tanpa sandaran seorang ayah, dan belajar bahwa ia tetap layak dicintai sepenuhnya, tanpa syarat.Ruang kosong itu tumbuh bersama dirinya, menyelinap dalam banyak hal, dari cara ia memandang dirinya sendiri, hingga bagaimana ia belajar mempercayai orang lain. Kadang ia merasa ada yang kurang setiap kali melihat orang lain mendapat cinta yang sederhana dari ayah mereka. Kadang ia terlalu waspada, takut disakiti, karena bayangan luka itu masih tertinggal di hatinya. Kadang ia merasa lebih baik bersembunyi ketika keadaan menjadi sulit, mengabaikan orang di sekitar yang mengasihinya, untuk kemudian kembali muncul ke permukaan ketika keadaan sudah lebih baik. Ruang kosong itu membuatnya sering meragukan nilai dirinya, bertanya-tanya apakah ia layak untuk dicintai tanpa syarat. Dan dalam hubungan dengan orang lain, ia bisa saja terjebak dalam pencarian yang tak berujung, pencarian sosok yang bisa mengisi kekosongan yang ditinggalkan ayahnya.Ketika dewasa, ruang kosong itu menjelma jadi tantangan yang tak selalu mudah diakui. Ia bisa tampak kuat di luar, tapi di dalam hatinya masih ada bagian yang rapuh, bagian kecil yang seiring berjalannya waktu menjadi “terbiasa” untuk diabaikan. Ada saat-saat ketika ia ragu untuk percaya, takut terlalu bergantung, atau justru terlalu mendambakan kasih sayang dari orang lain. Dalam urusan cinta, ruang kosong itu sering membuatnya gamang: ia bisa begitu takut ditinggalkan, namun juga begitu ingin direngkuh. Kadang, ia mencari bayangan ayah dalam orang-orang yang ia temui. Kadang, ia memberi terlalu banyak dari dirinya, berharap kekosongan itu terisi meski hanya sebentar. Namun pada akhirnya, ruang itu tetap ada, tak tergantikan, dan terus menjadi bagian dari perjalanan hidupnya.Ruang kosong itu sendiri terbentuk dan menemani sejak dia kecil, bahkan sejak dia baru mengenal apa itu abjad, mengenal betapa lucunya kelinci biru bernama Bobo, atau betapa sukanya dia menonton film Petualangan Sherina atau ketika dia bercita-cita memiliki gaun cantik seperti punya Nirmala. Ruang kosong itu terbentuk ketika sosok ayah yang seharusnya menjadi cinta pertama sekaligus pelindung, justru terasa jauh. Ayahnya hadir secara fisik, tetapi dingin dalam kehadiran batiniah. Ingatan yang membekas di dalam benaknya tentang sosok seorang Ayah bukanlah pelukan yang hangat, melainkan ketakutan alamiah. Ketakutan ketika suara ayahnya mulai meninggi dan diiringi dengan jerit tangis sang ibu, ketika terdengar suara pintu yang ditutup dengan keras, atau ketika terdengar suara pecahan piring. Ingatannya tentang ayah adalah ketika hatinya teriris mendengar ayahnya menyebut dirinya sebagai anak yang tak berguna, anak yang ceroboh, anak yang untuk-apa-aku-biayai.Saat beranjak dewasa, perlahan tapi pasti ruang kosong itu terasa semakin nyata. Ia tumbuh dengan langkah kaki yang gemetar, kepal tangan yang penuh keringat, dan rasa bersalah yang selalu menghantui. Kata-kata yang dulu terucap dari mulut ayahnya terus bergema di kepala, membuatnya sering meragukan diri sendiri. Ia belajar menyembunyikan luka di balik tawa, menutupi rapuh dengan kepercayaan diri yang pura-pura. Namun di dalam hati, ia sering bertanya: “Benarkah aku layak dicintai? Benarkah aku cukup?” Ruang kosong itu membuatnya sulit percaya penuh pada orang lain. Ada bagian dari dirinya yang selalu waspada, takut disakiti, takut ditinggalkan. Kadang ia berusaha keras menyenangkan semua orang, berharap bisa menemukan pengganti kasih sayang ayahnya. Kadang pula ia menutup diri rapat-rapat, karena lelah merasa kecewa.Saat dia dewasa dan mulai terlibat dalam hubungan cinta dengan lawan jenis, ruang kosong itu sering muncul tanpa diundang. Ada kalanya ia begitu takut kehilangan, sehingga mencintai dengan cara yang berlebihan, memberi terlalu banyak dari dirinya sehingga tidak jarang tak ada lagi yang tersisa untuk dirinya sendiri, hanya agar dia tidak ditinggalkan. Ada kalanya pula ia justru menjaga jarak, membangun tembok yang tinggi karena terlalu waspada akan kemungkinan disakiti. Ia hidup dalam tarik-menarik antara kerinduan untuk direngkuh dan ketakutan untuk terluka. Ruang kosong itu juga membuatnya mudah meragukan ketulusan orang lain. Setiap perhatian bisa terasa asing, setiap kasih sayang bisa ia curigai sebagai sesuatu yang akan segera pergi. Ia sering merasa dirinya tidak cukup: tidak cukup baik, tidak cukup berharga, tidak cukup pantas untuk dicintai. Dalam diam, ia terus mencari, mencari sosok yang mungkin bisa menambal kekosongan yang dulu ditinggalkan ayahnya.Namun perlahan, ia belajar bahwa ruang kosong itu tidak harus selamanya menjadi luka yang mengendalikan dan mencengkeram hidupnya. Kekosongan itu mungkin tidak pernah benar-benar terisi, tetapi alih-alih menghindari dan mengabaikan, ia bisa berdamai dengannya, memeluk keberadaan ruang kosong itu dan meluruhkan segala hal negatif yang mengirinya. Ia mulai menyadari bahwa cinta bisa datang dari mana saja, tidak perlu ditunggu dari absennya sang ayah secara batin, tapi juga cinta dapat berasal dari dirinya sendiri, dari teman yang setia, dari orang-orang yang tulus hadir di sisinya. Ia belajar mencintai dirinya dengan cara yang sederhana, menghargai pencapaian kecil, mengizinkan dirinya beristirahat, memeluk rapuhnya tanpa merasa lemah. Dari sana, ia menemukan bahwa hatinya tetap mampu memberi cinta, bahkan lebih dalam dari yang pernah ia bayangkan. Ruang kosong itu masih ada, tapi kini bukan lagi sekadar bayangan yang mencekik, bukan lagi seperti hantu yang mengiringi. Ia menjadikannya bagian dari kisahnya, bukti bahwa meski tumbuh dengan kehilangan, ia tetap bisa bertahan, bahkan tumbuh lebih kuat.Untukmu, yang mungkin juga membawa ruang kosong itu ke manapun kakimu melangkah. Untukmu, yang merasakan cengkeraman tak kasat mata itu sepanjang hidupmu. Tulisan ini aku harap dapat menjadi pelukan hangat di tengah dinginnya jajakan bawah kaki kehidupanmu selama ini, aku harap dapat menjadi pengingat yang hangat bahwa kamu tak pernah sendirian di dunia ini. Luka yang ditinggalkan ayahmu bukanlah kesalahanmu, dan tidak sedikitpun layak untuk mendefinisikan kamu dan seluruh duniamu, seluruh dirimu. Kamu tetap utuh, tetap berharga, dan tetap layak dicintai sepenuhnya. Ruang kosong itu memang akan selalu menjadi bagian dari perjalananmu, tapi ia tidak pernah menghapus cahaya dalam dirimu. Pelan-pelan, belajarlah memeluk dirimu sendiri, sebab cinta yang selama ini kamu cari, juga bisa tumbuh dari hatimu sendiri.