Ilustrasi sebuah platform digital yang mengunggah foto karya seorang penulis, berupa sebuah esai budaya, di sebuah koran cetak terkemuka. (Sumber: Gemini AI)Sastrawan Indonesia terkemuka yang juga akademikus Universitas PGRI Semarang (UPGRIS), Dr. S. Prasetyo Utomo, kelahiran Yogyakarta, 7 Januari 1961, baru-baru ini mem-posting di fanpage Facebook berupa foto cerita pendek karyanya berjudul Penglihatan Gadis Kiyomi yang telah memenuhi realisasi pemuatan di Rubrik “Jeda” Solo Pos, Sabtu Pahing - Minggu Pon, 6 - 7 Desember 2025.Di platform digital yang sama, pensiunan guru SMK Negeri 7 Semarang, sastrawan serbabisa (menulis puisi dua bahasa, Indonesia dan Jawa), Budi Wahyono, kelahiran Wonogiri, Jawa Tengah pada awal dekade 1960-an, mem-posting foto, berupa puisi dalam bahasa Jawa. Adapun puisi dimaksud, yaitu “Saka Pemalang Tekan Pemalang” (“Dari Pemalang ke Semarang”), dimuat di Rubrik “Taman Geguritan” di Majalah Panjebar Semangat Nomor 49/6 Desember 2025.Pun penyair dan jurnalis Beno Siang Pamungkas, nama pena Ali Subeno, kelahiran Banjarnegara, Jawa Tengah, 30 Maret 1968. Belum lama ini, dia mengunggah dua puisinya, yaitu “Eksekusi Pohon-Pohon” dan “Catatan Merah” (kedua puisi itu berpenanda lokasi dan waktu di Semarang, Maret 1993), yang terdapat di dalam buku antologi Sajak Sampah Gerinda Baja (Revitalisasi Sastra Pedalaman 1993).Ketiga bukti faktual di atas menunjukkan relevansi dengan pernyataan yang mengamini pandangan bahwa ekspresi sastrawi yang terucapkan lewat media cetak yang konvensional serta media online atau dalam payung yang lebih besar berupa media digital, masih dapat hidup berdampingan. Setidaknya menyatu dalam satu unggahan di media sosial.Koran dan majalah masih bisa menjadi media untuk menerbitkan karya sastra. Buku masih tetap dipandang sebagai puncak pencapaian para penulis. Dan, media digital terus menyediakan diri sebagai lahan persemaian gagasan sastrawi, dengan dinamika eksperimentasi dan jalinan komunitas yang dinamis. Media-media tersebut dapat saling melengkapi dalam ekosistem literasi yang sehat dan bugar.Sastra BukuIlustrasi buku-buku sastra di rak perpustakaan yang masih menjadi “nyamikan seni kata” bagi para peneliti atau penikmatnya. (Sumber: Gemini AI)Karya sastra dalam bentuk buku, pada taut maknawi naskah manuskrip di daun lontar yang berasal dari pohon siwalan (Borassus flabellifer), dan cetakan awal yang menyerupai buku berupa kodeks (codex) atau bentuk dokumen kuno lainnya seperti gulungan, dalam konteks sejarah penerbitan di Nusantara, mendahului karya sastra yang menemukan bentuk penerbitannya secara reguler di koran atau majalah versi cetak.Manuskrip karya sastra kuno sudah ada, jauh hari sebelum koran berbahasa Belanda terbit pertama kali di wilayah Nusantara (Hindia Belanda), yaitu Bataviasche Nouvelles, pada 7 Agustus 1744 di Batavia. Sementara itu, 163 tahun kemudian hadir koran berbahasa Melayu pertama kali, Medan Prijaji, pada 1907 di Bandung berkat inisiasi pionir pers Tanah Air R.M. Tirto Adhi Soerjo.Manuskrip karya sastra kuno sudah ada, jauh hari sebelum majalah berbahasa Belanda yang terbit pertama kali di Nusantara pada 1852. Sebuah majalah yang fokus pada gagasan perbaikan kesehatan masyarakat di Hindia Belanda. Namanya Geneeskundig Tijdschrift voor Nederlandsch-Indië (GTNI) yang terbit mulai 1852 hingga 1942. Sementara itu, pada 1886 terbit majalah berbahasa Melayu pertama, Bintang Soerabaja.Tradisi penulisan sastra di Nusantara telah sedemikian mengemuka, jauh hari sebelum koran dan majalah terbit. Teristimewa di lingkungan istana dan kalangan agamawan pada zaman kerajaan-kerajaan. Buku kuno hasil tulisan tangan hadir dalam bentuk manuskrip, sering dengan daun lontar. Atau, daluang, kertas tradisional dari kulit kayu pohon saeh atau glugu yang terkenal kuat dan tahan lama.Dalam bentuk manuskrip atau buku dalam taut maknawi sebagai dokumentasi gagasan utuh yang terekspresikan dengan tulisan tangan sendiri dari para pujangga pada masa lampau, karya-karya sastra kuno Nusantara itu memperoleh naungan medianya.Genrenya pun beragam. Ada hikayat, seperti Hikayat Hang Tuah (ditulis banyak pujangga anonim pada abad ke-17 hingga awal abad ke-18), Hikayat Raja Pasai (penulis anonim, sekitar abad ke-14 dan ke-15) , Hikayat Aceh (pada abad ke-17 diprakarsai Sultan Safiyyat al-Din Syah, putra Sultan Iskandar Muda), Hikayat Merong Mahawangsa (ditulis banyak pujangga anonim pada abad ke-15 hingga ke-17; versi modern ditulis James Low pada abad ke-19).Ada juga genre kakawin atau syair Jawa Kuno, antara lain Kakawin Arjuna Wiwaha (Mpu Kanwa pada abad ke-11), Kakawin Sutasoma (Mpu Tantular pada abad ke-14), Kakawin Negarakertagama (Mpu Prapanca yang merupakan nama samaran Rakawi Prapañca pada abad ke-14). Naskah Sunda Kuno Sanghyang Siksa Kandang Karesian (penulis anonim pada abad ke-16).Ada genre cerita panji, yaitu sekumpulan cerita mengenai Raden Panji Inu Kertapati, pangeran dari Kerajaan Jenggala, dan Dewi Sekartaji, putri Kerajaan Panjalu. Ditulis banyak pujangga anonim. Merupakan warisan budaya lisan yang berkembang sejak kisaran abad ke-12 dan ke-13. Populer pada masa Kerajaan Majapahit.Ada pula genre babad yang membaurkan sejarah, mitos, dan legenda, seperti Babad Tanah Jawi. Ada sejumlah penulis, yaitu Carik Adilangu II (awal abad ke-18, naskah tertua 1722), Carik Tumenggung Tirtowiguno (sekitar 1788 atas perintah Paku Buwono III), hingga versi prosa oleh Ngabehi Kertapradja (1874) dan adaptasi oleh peneliti Belanda W.L. Olthof (1941).Ada pula Babad Diponegoro. Merupakan karya Pangeran Diponegoro sendiri dengan cara mendiktekannya kepada seorang juru tulis ketika menjalani pengasingan di Manado, Sulawesi Utara. Proses kreatifnya berlangsung dari 20 Mei 1831 hingga 3 Februari 1832. Babad ini merupakan autobiografi Jawa modern yang pertama dengan genre tembang macapat. Puisi yang dinyanyikan.Lalu Babad Giyanti. Merupakan karya Raden Ngabei Yasadipura I. Rentang waktu penulisannya dari tahun 1757 hingga 1803 saat pujangga legendaris Keraton Surakarta itu wafat. Naskah aslinya sangat panjang, terdiri atas ratusan halaman. Ditulis dalam bentuk tembang macapat. Monumen sastra sebagai sumber primer untuk memahami perspektif Jawa tentang salah satu titik balik terpenting dalam sejarah Nusantara.Kendatipun manuskrip alias buku tulisan tangan dari sang penulis tidak mengalami proses produksi massal sebagaimana buku saat ini melalui mesin cetak modern, rengkuh fungsinya sama-sama berada dalam kapasitas media tunggal yang berisi narasi lengkap. Oleh karena itu, manuskrip dengan jumlah satu buah bagi sekelompok orang di lingkungan yang terbatas di masa lalu adalah sama dengan buku banyak eksemplar bagi banyak orang di masa kini.Di Nusantara, mesin cetak masuk bersamaan dengan kedatangan bangsa Belanda lewat Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) atau Perusahaan Hindia Timur Belanda pada abad ke-17. Pada mulanya, keberadaan mesin cetak tersebut untuk memenuhi kebutuhan administrasi kolonial, pengadaan kitab suci untuk kepentingan keagamaan, dan juga pencetakan kalender. Benda cetakan awal ini pun ketika beredar lebih mirip buku atau pamflet cetak.Koran pertama, Bataviasche Nouvelles (1744), terbit mingguan berisi berita dan iklan. Namun dua tahun kemudian (1746) mengalami pemberedelan karena memuat berita yang mengkritik VOC. Setelah itu hadir Het Vendu-Nieuws dan Bataviasche Koloniale Courant, terbit secara mingguan dan isinya lebih memfokuskan perhatian pada iklan lelang VOC. Fungsi koran-koran tersebut murni sebagai media penyampai informasi dan belum memuat sastra kreatif sebagai hiburan masyarakat.Pemuatan karya sastra di koran dan kemudian majalah mulai menampakkan tanda-tanda keberadaannya pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Genre yang biasa muncul di halaman koran, yaitu puisi, cerita pendek, cerita bersambung (roman picisan dan hikayat modern), dan tidak ketinggalan esai sastra. Fungsinya sebagai pengisi halaman hiburan di tengah pemberian informasi berita-berita politik dan ekonomi.Pada 1908 Pemerintah Hindia Belanda (Nederlandsch-Indië) yang mengambil alih kekuasaan dari VOC dari 1 Januari 1800, mendirikan Komisi untuk Sekolah Pribumi dan Bacaan Rakyat (Commissie voor de Inlandsche School en Lectuur). Lalu pada 1917, berubah nama menjadi Kantoor voor de Volkslectuur. Dan, Balai Poestaka merupakan padanan atau terjemahan bebas dalam bahasa Melayu. Tujuannya untuk lebih mencairkan jarak komunikasi dengan masyarakat Nusantara.Balai Poestaka hadir untuk menerbitkan buku yang berupa novel, kumpulan cerita, serta pengetahuan umum untuk masyarakat Bumiputera. Meskipun pada perkembangan selanjutnya, Majalah Poejangga Baroe (1933) merupakan ajang krusial para sastrawan Indonesia berkarya, novel-novel yang menjadi tonggak bersejarah Sastra Indonesia Modern, seperti Sitti Noerbaja (1920) karya Marah Roesli, Azab dan Sengsara (1920) karya Merari Siregar, Salah Asoehan (1928) karya Abdoel Moeis terbit sebagai buku dari penerbitan Balai Poestaka.Dengan demikian, secara kronologis karya sastra yang hadir dalam bentuk buku (termasuk manuskrip), secara teoretis memang mendahului karya sastra yang hadir sebagai pengisi halaman hiburan di media massa cetak, koran dan majalah.Sastra KoranBeberapa koran dan majalah terbitan Surabaya yang beberapa di antaranya masih setia menyediakan halaman sastra. (Sumber: Shutterstock)Sastra koran di Indonesia membentuk kurun sejarah dari masa prakemerdekaan hingga beberapa dekade setelah kemerdekaan. Kemudian puncak sastra koran menunjukkan rautnya yang tegas pada dekade 1970-an hingga akhir 1990-an, sebelum media digital mulai menindihkan dominasinya.Di pengujung wekasan abad ke-19 dan awal abad ke-20, pantun dan syair sebagai genre sastra tradisional, sering memperoleh ruang pemuatan di koran serta majalah yang terbit pada masa itu. Hal ini merupakan penanda mulai terjadi interaksi yang harmonis antara sastra dan pers cetak.Akan tetapi, puncak kejayaan yang tercatat dalam sejarah Sastra Indonesia Modern, mencuat sebagai realitas manakala koran dan majalah tampil menjadi media utama bagi para sastrawan untuk memasukkan karya mereka ke orbit publikasi, teristimewa saat genre yang lebih banyak hadir berupa cerita pendek dan puisi.Tatkala sang waktu menyapa dasawarsa 1970-an, tidak sedikit sastrawan yang lebih berani bereksperimen dalam mengungkapkan ekspresi estetis mereka memainkan kata-kata yang dapat menumbuhkan rasa haru seni. Dan, berbarengan dengan itu penerbitan media cetak pun mulai tampak mengemuka kehadirannya. Fenomena ini memberikan rumah yang kian lebih luas bagi mereka untuk berkarya.Koran dan majalah dalam tautan ini menjadi semacam media inovasi dan eksperimentasi. Tidak sedikit sastrawan besar Indonesia modern yang membuka langkah debutnya di koran atau majalah. Media cetak menjadi wahana yang relevan pada kala itu, untuk mencetuskan eksperimen dan tema baru, mencermati isu-isu universal dan bersifat nasional.Sebelum era teknologi digital, koran tak pelak lagi merupakan media massa dengan jangkauan luas. Dengan karakteristik ini, memberi pemungkinan karya sastra berada dalam rengkuh pengaksesan dari khalayak yang heterogen, dari kalangan intelektual di perkotaan hingga pembaca di wilayah perdesaan yang terpencil. Begitulah sastra merebut eksistensinya sebagai bagian yang menyatu secara integralistik dari wacana publik pada titimangsa itu.Di samping itu, keberadaan rubrik sastra yang hampir tiap koran menyediakannya, menjadi semacam pengakuan. Pemuatan karya di koran-koran besar ternama tidak jarang menjadi semacam seleksi alami penulisnya. Dengan keberadaan sosok kurator rubrik sastra (desk editor budaya) pada masa itu, yang terkadang melibatkan sastrawan atau kritikus senior, memastikan proses penyeleksian memang berada di tangan personel yang berkompeten di bidangnya.Hans Bague (H.B) Jassin (31 Juli 1917 - 11 Maret 2000) dan Mochtar Loebis (7 Maret 1922 - 2 Juli 2004), untuk menyebut dua dari banyak kurator yang pada masa itu mempunyai andil penting dalam menyeleksi dan membentuk selera publik pencinta sastra. Bahkan, mereka menjadi pihak yang memberi pengukuhan kualitas suatu karya sastra. Pertimbangan sastrawi mereka tidak jarang menjadi pintu gerbang penentuan kualitas sastra dalam radius layak muat di rubrik asuhan masing-masing di kala itu.Dengan ruang ekspresi yang terhampar luas, karena hampir tiap koran memiliki rubrik sastra pada era lalu itu, secara konsisten menyediakan halaman yang memuat cerita pendek, puisi, esai sastra, atau hard news dan feature peristiwa sastra dalam kemasan pertunjukan. Keberadaan ruang khusus sastra ini memberikan kepastian kepada para sastrawan bahwa mereka memiliki tempat publikasi karya secara berkala.Tidak sedikit sastrawan besar Indonesia modern mengawali dan mematangkan karier mereka lewat keterlibatan intens sebagai personel yang menggeluti sastra koran. Sebut saja Pramoedya Ananta Toer (6 Februari 1925 - 30 April 2006), sebelum terkenal luas dengan novel-novel monumental Pulau Burunya, seperti Bumi Manusia (1980), Anak Semua Bangsa (1980), Jejak Langkah (1985), Rumah Kaca (1987), jauh hari sebelumnya pernah memublikasikan cerita pendek, esai, dan resensi di Koran Siasat dan Majalah Gelanggang.Peran penting sastra koran sesungguhnya terletak pada potensi kemampuannya guna mendemokratisasi sastra, mengusungnya untuk menjauh dari menara gading dan menegursapai insan pencinta di ruang publik. Dengan demikian, koran sebagai media dapat menghidangkan kepada siapa pun, tidak saja karya-karya fiksi para sastrawan itu, akan tetapi juga telaah sastra, esai sastra, dan kolom budaya yang turut berperan serta dalam pembentukan wacana intelektual bangsa.Zaman keemasan sastra koran merupakan suatu periode krusial manakala media massa cetak dan sastra menemukan jalinan simbiosis mutualisme yang begitu kuat. Rubrik sastra di koran-koran menyediakan panggung untuk berkarya bagi para sastrawan. Sebaliknya, sastra menyajikan kedalaman intelektual dan artistik pada koran-koran.Kendatipun dewasa ini peran tersebut mulai menemukan wujud realisasinya dari kiprah media siber dan platform digital, jejak sejarah peran serta koran dan majalah memberadakan karya-karya sastra sehingga dapat berdiri kokoh lengkap dengan identitas dan muruah estetika masing-masing, tetap tidak akan terhapus dalam perjalanan sastra Indonesia modern.Menyambangi abad ke-21 ini, peran koran yang pernah menjadi media vital dalam publikasi sastra secara perlahan menunjukkan tanda-tanda pudar. Hal ini seiring dengan pemunculan dan perkembangan pesat teknologi internet dan media digital. Terjadi penurunan sirkulasi media cetak. Terjadi penyusutan rubrik sastra. Dan, terjadi pula migrasi banyak penulis dan pembaca ke platform dalam jaringan, blog, media sosial, dan media digital.Meskipun demikian, tak dapat dimungkiri betapa besar warisan dari zaman keemasan sastra koran. Tak dapat dimungkiri peran krusialnya dalam pendokumentasian, penyebarluasan, dan bahkan pembentukan wajah sastra Indonesia modern. Ini menunjukkan bahwa media populer bernama koran itu bisa menunaikan fungsi sebagai katalisator untuk perkembangan budaya dan intelektual suatu bangsa.Substansinya, puncak optimal peran sastra koran merupakan babak penting yang menunjukkan sinergisitas kuat antara jurnalisme dan kesenian. Seolah tinta dan kertas mengejawantah menjadi media bagi bangsa ini guna berbicara, berkontemplasi, dan berkreasi. Kendati telah terjadi perubahan format, spirit berbagi cerita dan puisi tetap hidup dan menitis ke dalam tubuh bentuk baru pada era digital.Koran-koran besar nasional dan memiliki reputasi kualitas yang tepercaya pada masa itu, antara lain Kompas, Prioritas, Jawa Pos dan media daerah seperti Suara Merdeka, memainkan peran yang besar dalam ekosistem sastra ini. Koran-koran itu tidak hanya pasif sekadar menyediakan halaman untuk media ekspresi sastrawi, tetapi juga ada orang-orang yang berkompeten di bidang sastra berperan penting menjadi kurator yang menyeleksi karya-karya terbaik pada masanya.Hal ini menobatkan rubrik sastra di koran-koran tertentu, entah level nasional entah level daerah, sebagai semacam “legitimasi” awal bagi seorang penulis untuk mendapat pengakuan di dunia sastra Indonesia. Pada masa itu, pemuatan karya di koran yang ternama, bagi para penulis, merupakan suatu kebanggaan yang tiada terkira. Dalam perspektif mereka, realitas pemuatan itu menunjukkan adanya pengakuan telah terjadi peningkatan kualitas pada karya mereka.Akan tetapi, pada era digital ini, masa senja kala sastra koran kian tidak dapat terelakkan lagi. Kemerebakan peran media dalam jaringan, blog sastra, dan media sosial telah membentuk pergeseran yang signifikan dalam cara memublikasikan dan sekaligus mengonsumsi berbagai genre karya sastra baik mengacu pada jenis karya maupun wilayah tematiknya.Senja kala sastra koran cetak dewasa ini, tampak dari fenomena tidak sedikit koran cetak yang mulai mengurangi atau bahkan memangkas habis halaman sastranya. Dengan pertimbangan pada efisiensi biaya serta demi mencermati adanya perubahan perilaku pembaca.Meskipun demikian, roh esensi sastra koran tetap tampil dan hidup sebagai penyintas dalam bentuk sastra siber atau sastra dalam jaringan atau sastra digital. Tidak sedikit platform berita online terkemuka masih mempertahankan rubrik sastra mereka. Tetap ada keinginan mereka untuk melanjutkan tradisi menjembatani sastra dengan khalayak di ruang publik.Bagaimanapun kondisinya sekarang, sastra koran merupakan sosok fenomena budaya luar biasa yang mendemokratisasi sastra. Mengusungnya langsung ke meja sarapan atau menjadi pengisi waktu senggang yang bergizi bagi para pembaca dalam kehidupan sehari-hari. Sastra koran merupakan bukti riil hasil perpaduan antara jurnalisme dan kreativitas sastrawi. Cerita pendek, puisi, esai, kadang cerita bersambung menjadi warna pembeda dengan estetika bahasa yang mengemas refleksi mendalam mengenai kemanusiaan di tengah banyak halaman lain yang memuat hard news secara berlimpah.Sastra DigitalSalah satu majalah sastra digital. (Foto: Mohamad Jokomono)Sastra online adalah bagian fundamental dari spektrum yang lebih makro dari sastra elektronik (electronic literature). Dan, sastra online merupakan salah satu manifestasi paling lazim dan relatif gampang pengaksesannya dari sastra digital. Begitulah realitas zaman menunjukkan betapa kemajuan teknologi telah melakukan perubahan lanskap penerbitan dan konsumsi konten sastrawi dengan signifikan dewasa ini.Tidak sedikit koran cetak nasional ternama dan kemudian memutuskan beralih sepenuhnya ke media digital, atau sebatas mempertegas eksistensi online mereka, masih tetap menghidupkan rubrik sastra yang legendaris. Begitulah deretan cerita pendek terpilih, puisi terpilih, menemukan ranah tayangnya di sini setelah melalui proses seleksi ketat dari redaktur sastra yang memang piawai di bidangnyaKompas.id misalnya mempunyai ruang sastra yang meliputi cerita pendek, puisi, resensi buku, ulas bahasa, dan wadah refleksi pembaca terhadap realitas ataupun peristiwa. Pengaksesan rubrik ini pada laman situs di bawah kategori Sastra. Lalu ada Republika Online ada kanal khusus Puisi Sastra Republika Online dan Cerpen Republika Online.Sementara itu, Tempo.co juga masih menyediakan ruang khusus untuk sastra. Puisi, cerita pendek, esai budaya, dan resensi buku sering ditayangkan. Biasanya, karya-karya tersebut hadir pada edisi akhir pekan, kini secara digital terbit pada tiap hari Sabtu. Atau, di rubrik terkait, seperti “Kalam” dan “Kolom” yang menampung masalah kebudayaan.Lalu ada situs web dan majalah sastra digital. Platform ini seutuhnya mendedikasikan keberadaannya untuk dunia sastra. Menciptakan rumah yang nyaman bagi para sastrawan, kritikus, dan pembaca loyal. Bacapetra.co misalnya, yang berada dalam pengelolaan Klub Buku Petra, merupakan salah satu platform yang membuka ruang kontribusi bagi siapa pun penulis cerita pendek, puisi, ulasan buku dan film.Kemudian ada Basabasi.co yang bermetafora kontekstual sebagai “Tempat Kongko dan Bercerita” merujuk pada platform dalam.jaringan yang dinamis. Ia menjadi wadah penting mempertemukan penulis mapan dengan yang baru merintis jalan. Di dalam rubrik sastra dengan cerita pendek dan puisi, juga ada esai sastra budaya serta resensi buku.Selanjutnya ada Kalamsastra.id, majalah online dwimingguan kesastraan dan kesenian yang menghidangkan puisi, prosa, editorial dan wawancara mendalam. Pun, Litera.co.id, portal sastra inisiasi Lembaga Literasi Indonesia, yang memiliki fokus perhatian terhadap fenomena sastra di Tanah Air.Tujuan Portal Sastra Litera yang berdiri pada 2012 dan masih beroperasi hingga kini. (Foto: Mohamad Jokomono)Dalam sastra digital juga dikenal Blog Sastra (Litblog). Ia merupakan platform penerbitan mandiri yang bersifat personal. Oleh karena itu, Blog Sastra lazim berada dalam rengkuh pengelolaan individu. Bisa penulis, bisa pula pemikir sastra, atau bisa juga pencinta sastra (biasanya merupakan bagian dari suatu komunitas). Mereka mengelola blog sastra masing-masing dan bertindak sebagai editor tunggal atau utama. Tanpa melalui peninjauan dari rekan sejawat (peer reviewer) terlebih dahulu.Konten yang tersaji pun merepresentasikan perspektif, selera, dan fokus pribadi sang pemilik. Kendatipun ada sejumlah blog sastra yang berkualitas tinggi, pada umumnya tidak mempunyai otoritas institusional, dalam artian proses editorial yang berlapis. Penulis blog (blogger) memperoleh kebebasan penuh atas kontennya. Fungsinya menyerupai buku harian dalam jaringan (jurnal abad ke-21).Tujuannya bergerak ke arah yang lebih ekspresif, sarana berbagi pengalaman, membentuk komunitas kecil. Ada interaksi dengan pembaca yang lebih kasual dan egaliter. Blog sastra memang merupakan megafon digital bagi satu individu, atau bisa saja sekelompok kecil pencinta sastra di bawah panji suatu komunitas, yang menyuarakan opini mereka.Salah satu contoh blog sastra yang bisa disebutkan adalah milik Floribertus Rahardi. Lebih familier dengan F. Rahardi, jurnalis dan penyair kelahiran 10 Juni 1950). Secara serius dan akademis, blognya mewadahi banyak artikel, esai, dan tulisan mendalam tentang sastra dan budaya. Sering menjadi acuan yang bermanfaat bagi mahasiswa, peneliti, atau siapa pun yang ingin lebih memperdalam tentang sastra Indonesia modern menurut kacamata pakar yang mumpuni di bidangnya.Kemudian ada blog sastra milik Raditya Dika (lahir 28 Desember 1984). Dia lebih tersohor sebagai pelopor genre komedi dan slice of life. Cerita kehidupan sehari-hari, fokus momen sederhana, pengembangan karakter, konflik kecil dalam pengalaman nyata, tanpa alur dramatis, mirip penggalan hidup. Populer di kalangan pembaca muda. Blog pribadinya awal tahun 2000-an tersebut, begitu menancapkan pengaruh kuat di balik popularitas format tulisan santai, lucu, dan memiliki bentuk narasi yang kuat.Buku pertama Raditya Dika yang ikonik Kambing Jantan: Sebuah Komik Pelajar Bodoh (2008), bahkan semula mengisi blog pribadinya yang mengisahkan pengalamannya menempuh studi Strata 1 Program Studi Finance and Banking di University of Adelaide, Australia.Kata “komik” di judul buku ini bisa jadi merupakan penggalan dari kata “komikal” (kelas adjektiva dengan makna “bersifat lucu atau menggelikan”). Dan, benarlah adanya, buku ini memang merupakan kumpulan cerita jenaka dengan gaya bahasa lebai berikut ilustrasi kartun. Acapkali disebut novel komedi autobiografi.Boleh terbilang, blog sastra sebagai bagian dalam spektrum sastra digital yang berada paling dekat dengan bentuk sastra koran karena fokus utamanya masih pada teks dan narasi linier. Akan tetapi, blog sastra masih memenuhi syarat sebagai sastra digital lantaran media untuk publikasinya yang murni digital dan terdapat fitur interaktivitasnya, yaitu kolom, komentar, share, dan lain-lain.Varian lain blog dalam sastra digital lebih banyak yang menerobos struktur konvensional secara radikal. Jagat sastra digital seperti taman bermain eksperimental yang begitu jembar. Sastra digital perlu mendapat pemahaman bukan hanya semata mengacu pada buku cetak yang mengalami proses scan dan menjadi portable document format (PDF) atau pembacaan novel melalui aplikasi Kindle.Lebih daripada itu, sastra digital merupakan upaya penciptaan karya sastra secara asli di lingkungan digital dengan perangkat komputasi (komputer, ponsel pintar antara lain), sehingga khalayak dapat mengaksesnya, membacanya, dan mengapresiasinya.Ada karakteristik kunci sastra digital. Kehadiran interaktivitas karena pembaca acapkali bukan penerima pasif, melainkan partisipan aktif yang berkat tindakannya dapat mengubah alur cerita atau pengalaman membacanya. Selain itu, melibatkan multimedia, suatu integrasi teks dengan suara, gambar bergerak (graphics interchange format [GIF], video), dan animasi. Dan, mesti ada pula konektivitas/jaringan yang acapkali membutuhkan koneksi internet, hyperlink, atau peran serta dari komunitas dalam jaringan.Varian lain di luar blog sastra, yaitu fiksi hiperteks (hypertext fiction). Ia memanfaatkan struktur hyperlink guna menawarkan jalur bacaan nonliterer. Pembaca pun dapat memilih tautan yang tersedia. Setiap pilihan mengusung konsekuensi logis pada pemerolehan segmen teks yang berlainan.Karakteristik yang mewarnai fiksi hiperteks, yaitu ketiadaan ”awal” atau “akhir” yang tetap. Bak berada di peta labirin, cerita menemukan berbagai cabangnya. Pengalaman membaca orang yang satu dengan orang yang lain berbeda. Hal ini dapat mengeksplorasi gagasan naratif yang terfragmentasi. Contohnya sejumlah novel awal yang diciptakan oleh perangkat lunak semacam Storyspace atau platform modern seperti Twine (sebuah peranti sumber terbuka untuk menyusun cerita interaktif).Varian sastra digital lainnya, yaitu fiksi interaktif dan Gamebook. Begitu karib talian kaitannya dengan dunia video game yang berbasis narasi. Pembaca menentukan keputusan yang berdampak riil sebagai pengaruh terhadap plot dan ending cerita. Karakteristiknya lebih terstruktur dibandingkan hiperteks murni.Tidak jarang ada libatan pilihan ganda (multiple choice) yang menavigasi pada konsekuensi naratif yang jelas. Fokus pada agensi, kemampuan bertindak, dari pembaca. Contoh aplikasi cerita interaktif di ponsel atau gamebook digital klasik, ketika seseorang membaca suatu paragraf kisah, yang bersangkutan dapat memilih kelanjutan alurnya, misalnya tersedia opsi pertama “Pergi ke halaman 52 jika Anda membuka pintu”. Atau, bisa memilih opsi kedua “Pergi ke halaman 68 jika Anda menunggu”.Varian selanjutnya, Sastra Digital Multimodal (Multimodal Digital Literature). Ini bentuk paling canggih secara sensorik. Teks hanya menjadi salah satu elemen dari keseluruhan karya. Dan, teks itu dikombinasikan dengan audio, video, dan animasi yang dirancang hingga terbentuk kerja sama yang harmonis antarelemen tersebut di layar.Dengan demikian, pembaca dapat mendengarkan musik yang menjadi latarnya, menonton GIF yang bergerak, atau mengeklik objek animasi agar cerita terungkap. Contoh puisi kinetik, dengan kata-kata yang bergerak dan berubah di layar. Atau, novel web yang melengkapi performa dengan ilustrasi dinamis pada setiap bab.Selanjutnya, ada Codework dan Sastra Generatif. Ini varian bentuk sastra digital yang paling radikal dan menantang. Codework merupakan sastra generatif yang terekspresikan dengan bahasa pemrograman (kode) sebagai bagian teks. Beroperasi dengan cara komputer memproses bahasa. Secara karakteristik, sastra generatif melibatkan algoritma yang memproduksi teks yang sudah berada di tangan pemrograman sang penulis.Saban kali karya mendapat sentuhan pengaksesan, teksnya mungkin bisa sedikit berlainan. Realitas ini mempertanyakan peran “penulis” manusia. Contohnya puisi yang dikreasikan secara acak oleh bot (program perangkat lunak yang berinteraksi di platform media sosial untuk meniru aktivitas manusia), seperti Twitter bots. Atau, proses kreatif yang mengintegrasikan sintaksis kode komputer (if/else statements) ke dalam prosa puitis.Varian selebihnya, yakni Sastra Jejaring Sosial (Networked/Social Literature), yang memanfaatkan sifat alami media sosial dan platform dalam jaringan untuk bercerita secara kolektif atau berseri. Suatu cerita dapat dikreasikan oleh banyak penulis secara bareng-bareng (sastra kolaboratif). Atau, penyebaran sebuah narasi utuh melalui pelbagai akun media sosial yang berbeda. Contohnya proyek penulisan kolaboratif di forum online. Atau, kisah horor singkat yang viral di platform seperti Reddit (subreddits r/nosleep).Sastra digital boleh terbilang sebagai arena eksperimentasi yang terus berkembang. Para penulis mengekspresikan kemampuannya bersastra dan berkesenian melampaui halaman yang statis. Bermula dari hiperteks nonliterer, fiksi interaktif yang memungkinkan pembaca mengubah alur cerita, hingga puisi kinetik yang bergerak di layar monitor. Semua itu merupakan dimensi anyar jagat sastra digital yang mempersembahkan pengalaman membaca dan sekaligus menulis yang sarat dengan keasyikan nan menantang. ***