Data Kemenperin: 90% Bahan Baku Obat Impor, Ancaman Bagi Ketahanan Nasional

Wait 5 sec.

Ilustrasi obat paracetamol. Karya: Revanda Alfathir SetiawanKetersediaan paracetamol sering dianggap sebagai indikator paling sederhana dari akses kesehatan masyarakat. Obat pereda nyeri ini tersedia secara luas, murah, dan menjadi lini pertahanan pertama bagi keluhan kesehatan dasar. Namun, persepsi publik mengenai keamanan pasokan obat ini sering kali terbiaskan oleh label produksi dalam negeri pada kemasannya.Di balik kenyamanan akses tersebut, terdapat kerentanan struktural serius dalam arsitektur industri farmasi nasional. Industri ini tampak ekspansif secara fisik, tetapi sejatinya mengalami dependensi akut terhadap rantai pasok global. Realitas ini menempatkan sistem kesehatan nasional dalam posisi rapuh di tengah dinamika geopolitik yang kian tidak menentu.Ketimpangan Fundamental di Sektor HuluData lapangan menyingkap ketimpangan fundamental dalam struktur produksi farmasi Indonesia. Berdasarkan paparan Kementerian Perindustrian di hadapan DPR RI pada Juli 2024, ketergantungan impor Bahan Baku Obat (BBO) nasional secara persisten berada di angka lebih dari 90%. Secara nominal, ketergantungan ini menelan devisa yang sangat besar. Tercatat nilai impor BBO mencapai US$ 509 juta dengan volume 35.890 ton pada tahun 2022.Struktur pasokan ini sangat rapuh karena terpusat pada dua negara hegemon. Tiongkok menguasai 45% dan India 27% dari total pasokan bahan baku tersebut. Angka ini menjadi indikasi kuat bahwa industri farmasi dalam negeri mengalami fenomena deindustrialisasi di sektor hulu. Pabrik yang berdiri megah di kawasan industri nasional praktis hanya menjalankan fungsi hilir terbatas pada formulasi bahan kimia impor dan pengemasan produk akhir.Posisi Asimetris Indonesia dalam Rantai Nilai GlobalObat-obatan yang dijual di salah satu apotek di Jakarta Selatan, Sabtu (3/5/2025). Foto: Alya Zahra/kumparan Dalam perspektif ekonomi politik internasional, posisi Indonesia terperangkap di lapisan terbawah Global Value Chain. Fenomena ini dapat disebut sebagai industrialisasi semu di mana Indonesia berperan sebagai perakit atau assembler yang menyerap nilai tambah minimal. Hal ini menyebabkan proses formulasi dan pengemasan di dalam negeri memiliki kompleksitas teknologi yang jauh lebih rendah dibandingkan produksi bahan baku di hulu.Sementara itu, penguasaan teknologi inti, hak kekayaan intelektual, dan kendali produksi zat aktif tetap berada di tangan negara produsen bahan baku. Kondisi ini melanggengkan struktur hubungan pusat dan pinggiran yang asimetris. Negara produsen di hulu dapat mendikte harga dan kuota, sedangkan Indonesia di hilir hanya menjadi penerima harga.Akibatnya, keuntungan industri farmasi nasional terus tergerus oleh fluktuasi kurs dan harga bahan baku global, membuat kita sulit melakukan reinvestasi untuk riset dan pengembangan. Indonesia menyediakan pasar besar bagi produk bahan baku asing tanpa memiliki kapasitas untuk mandiri secara substansial.Akar permasalahan ini juga dapat ditelusuri pada dominasi logika pasar dalam perumusan kebijakan industri kesehatan selama beberapa dekade terakhir. Secara perhitungan yang berbasis keunggulan komparatif, keputusan untuk mengimpor bahan baku dari Tiongkok memang rasional karena harganya jauh lebih kompetitif dibandingkan produksi lokal.Ilustrasi pabrik obat di China. Foto: STR / AFPNamun, pendekatan teknokratis ini mengabaikan dimensi politik dan keamanan. Negara tidak dapat disamakan dengan entitas korporasi yang hanya mengejar efisiensi biaya. Negara memikul tanggung jawab konstitusional untuk menjamin keamanan dan keselamatan warganya dalam situasi apa pun.Risiko Keamanan yang NyataKetergantungan rantai pasok yang terpusat pada satu atau dua negara menciptakan risiko keamanan nyata atau yang disebut sebagai Weaponized Interdependence. Kita sudah merasakan pahitnya kondisi ini saat pandemi COVID-19.Kala itu, India sebagai pemasok membatasi ekspor bahan baku obat vital demi mengamankan stok domestik mereka. Akibatnya, ketersediaan obat di Indonesia terganggu dan harga melambung tinggi. Ini bukti empiris bahwa obat-obatan dasar telah bertransformasi dari sekadar komoditas dagang menjadi aset strategis. Risiko ini akan bereskalasi jika terjadi konflik geopolitik terbuka, misalnya ketegangan di Laut China Selatan. Negara produsen dapat menggunakan kontrol mereka atas rantai pasok obat sebagai alat koersi politik atau senjata diplomasi.Ilustrasi pabrik obat di China. Foto: STR / AFPJika ekspor BBO ditutup total, dampaknya bukan sekadar inflasi harga, melainkan kelumpuhan sistem kesehatan nasional. Pelayanan rumah sakit bisa terhenti, penyakit infeksi tidak tertangani, dan angka kematian dapat melonjak dalam hitungan minggu. Ketiadaan bahan baku di dalam negeri menjadikan kerentanan ini ancaman bagi pertahanan negara.KesimpulanOleh karena itu, diperlukan pergeseran paradigma dalam tata kelola industri farmasi nasional. Pemerintah perlu menempatkan kedaulatan kesehatan sebagai prioritas keamanan nasional, setara dengan ketahanan energi atau pangan. Intervensi negara diperlukan untuk mengoreksi kegagalan pasar yang selama ini menghambat tumbuhnya industri bahan baku obat lokal.Kebijakan afirmatif seperti insentif fiskal, kewajiban penyerapan tingkat komponen dalam negeri (TKDN), dan perlindungan bagi industri hulu harus diterapkan secara konsisten. Selain melepaskan diri dari jerat impor, hilirisasi ini akan menciptakan lapangan kerja bagi ribuan tenaga ahli farmasi dan kimia di tanah air.Indonesia tidak boleh selamanya terjebak dalam peran sebagai perakit dalam ekosistem farmasi global. Kemandirian produksi bahan baku obat merupakan prasyarat mutlak bagi kedaulatan bangsa yang sesungguhnya.