Ilustrasi gambar gotong royong oleh: AIIndonesia dikenal sebagai bangsa yang besar; bukan hanya wilayahnya, melainkan juga nilai budayanya. Salah satu nilai budaya yang paling sering dibanggakan adalah gotong royong. Dari desa sampai kota, dari acara hajatan sampai kerja bakti, gotong royong bukan sekadar aktivitas, melainkan cara hidup bangsa Indonesia. Sayangnya, budaya gotong saat ini pelan pelan terasa asing, terutama di kehidupan perkotaan.Gotong royong lahir dari kesadaran sederhana: hidup tidak bisa dijalankan sendirian. Saat satu orang kesulitan, yang lain hadir tanpa diminta. Tidak ada hitung-hitungan, tidak ada bayaran, apalagi kontrak kerja, semua bergerak karena rasa kebersamaan. Orang tua—melalui cerita zaman dahulu—menggambarkan bentuk gotong royong dalam kegiatan bersama, seperti membangun rumah, membersihkan lingkungan, dan panen sawah. Tentunya sangat melelahkan, tetapi terasa ringan karena dijalani bersama-sama.Namun, sekarang situasinya berubah. Hidup makin individualistis. Pintu rumah tertutup rapat, tetangga hanya saling sapa seperlunya. Di kota besar, orang bisa tinggal bertahun-tahun tanpa benar-benar mengenal siapa yang tinggal di sebelahnya. Jika ada masalah, solusi pertama bukan lagi tetangga, melainkan jasa berbayar: Butuh bersih-bersih, panggil layanan, pindahan, atau sewa tenaga. Semuanya terkesan praktis, tapi pelan-pelan mengikis rasa kebersamaan.Tentunya, perubahan ini tidak datang tanpa sebab. Kesibukan, tekanan ekonomi, dan gaya hidup modern membuat orang fokus pada urusan masing-masing. Seakan-akan waktu menjadi barang mahal. Gotong royong dianggap merepotkan, memakan waktu, dan tidak efisien. Padahal, yang hilang bukan sekadar kegiatan fisik, melainkan juga nilai sosial di dalamnya: empati, solidaritas, dan rasa memiliki terhadap lingkungan sekitar.Polisi, TNI, dan sejumlah warga gotong royong bersih-bersih Museum Tamansiswa Dewantara Kirti Griya, Jumat (9/6/2023). Foto: Arfiansyah Panji/kumparanYang lebih mengkhawatirkan, generasi muda mulai mengenal gotong royong hanya sebagai istilah di buku pelajaran. Ia terdengar seperti konsep ideal, bukan kebiasaan nyata. Banyak yang paham definisinya, tetapi jarang mengalaminya dalam situasi nyata. Tanpa pengalaman, budaya akan sulit bertahan. Ia hanya jadi simbol, bukan praktik.Namun, bukan berarti gotong royong benar-benar mati. Ia hanya berubah bentuk. Di era digital, gotong royong muncul dalam wujud lain: penggalangan dana online, komunitas relawan, atau gerakan sosial berbasis media sosial. Orang-orang—yang bahkan tidak saling kenal—dapat saling membantu. Ini membuktikan bahwa nilai gotong royong masih hidup dan hanya berpindah ruang.Sekarang, tantangannya adalah bagaimana mengembalikan semangat gotong royong dalam kehidupan sehari-hari, bukan hanya di layar ponsel. Mulai dari hal kecil: peduli dengan lingkungan sekitar, saling membantu tanpa pamrih, dan tidak selalu mengukur segalanya dengan uang. Gotong royong tidak harus selalu besar; kadang, ia dapat direalisasikan dengan kehadiran dan kepedulian yang cukup.Budaya bukan sesuatu yang statis. Ia hidup selama dijalankan. Jika gotong royong terus ditinggalkan, ia akan benar-benar menjadi cerita masa lalu. Namun, jika gotong royong masih dipraktikkan—sekecil apa pun bentuknya—budaya itu tetap bernapas. Di tengah dunia yang makin sibuk dan individual, gotong royong justru menjadi pengingat bahwa kita adalah manusia yang masih saling membutuhkan satu sama lain.