Marginalisasi Ruang Hidup Nelayan Tambaklorok Semarang Tahun 1970–2000

Wait 5 sec.

Foto: Dokumen PribadiKawasan Tambaklorok merupakan daerah pesisir yang berada di dekat Pelabuhan Tanjung Mas kelurahan Tanjung Mas, kecamatan Semarang Utara, Kota Semarang. Sekitar tahun 1940-an Tambaklorok sudah mulai dihuni oleh masyarakat namun hanya 3 keluarga, memasuki tahun 1950-an kawasan tersebut semakin banyak masyarakat yang bermukim di Tambaklorok dan bekerja sebagian besar menjadi nelayan. Seiring berjalannya waktu pemukiman tersebut semakin padat penduduk, sehingga kawasan tersebut digunakan sebagai tambak. Kawasan Tambaklorok juga berbatasan dengan berbagai kawasan lainnya, sebelah Selatan berbatasan dengan Kali Banger, sebelah timur berbatasan dengan Sungai Banjir Kanal Timur, sebelah Utara berbatasan dengan Laut jawa, dan sebelah barat berbatasan dengan Kali Banger.Kawasan Tambaklorok ini berbatasan langsung dengan Laut Jawa, dimana jika hujan terus menerus kawasan tersebut sering terjadi banjir, apalagi dengan adanya banjir rob yang kandang merendam kawasan Tambaklorok. Memasuki tahun 1970-an sejumlah kota Indonesia mulai melakukan pengembangan kawasan industri, perdagangan, pemukiman dan sektor lainnya, salah satunya pembangunan pabrik yang dibangun di kawasan yang berada disekitar pemukiman Tambaklorok. Namun, dengan dibangunnya industri-industri di sekitar pesisir ruang tradisional nelayan yang ada di Tambaklorok mulai termarginalisasi dan tersingkirkan, dimana akses strategis untuk ke laut terbatas, serta kawasan tersebut kerap dijadikan sebagai area pembuangan sampah maupun limbah.Perjalanan Marginalisasi yang Terjadi secara PerlahanSeiring pembangunan di Semarang Utara pada 1970 hingga 1990-an, Tambaklorok sudah merasakan perubahan yang tidak keseluruhan berpihak pada masyarakat pesisir. Tempat yang dulu dikenal sebagai aktivitas ruang hidup nelayan lambat lain kehilangan fungsinya sebagai kampung bahari. Saluran air yang padat, tumpukan sedimentasi, sampai hilangnya jalur masuk-keluar kapal kecil membuat aktivitas kelautan semakin rumit.Pada waktu yang sama, pabrik-pabrik dan tempat industri yang tumbuh di kawasan pelabuhan mulai memperbesar area operasionalnya. Area kosong yang pada mulanya menjadi akses tradisional nelayan menuju laut Jawa dialihkan menjadi lahan produksi, pagar tempat industri, sampai tempat parkir kontainer. Akses nelayan tertutup, sementara perahu kecil yang menjadi sumber hidupnya warga kerap dipaksa berlabuh di sudut-sudut kesempitan yang ada.Ironisnya, jejak industri ini tidak sekadar menggerus ruang fisik, namun juga ruang sosial. Sungai kecil yang bermuara ke laut lambat laun beralih menjadi jalur pembuangan limbah. Air yang menghitam serta bau menyengat menjadi pemandangan sehari-hari. Nelayan di Tambaklorok tak sekadar kehilangan jalur laut, namun juga harus penyusutan kualitas ekosistem laut menjadi sumber utama mata pencaharian warga.Walau demikian, warga Tambaklorok tetap bertahan. Mereka tidak berpindah, meski rob mengguncang semakin tinggi dan banyak lahan semakin sempit. Di tengah tantangan pembangunan yang semakin masif, warga berusaha menjaga identitas mereka sebagai identitas nelayannya, sebuah perjuangan sunyi yang kurang diketahui di sebuah kerlap-kerlip modernisasi kota Semarang.Transformasi Sosial-Ekonomi dalam Tekanan Perubahan RuangPerubahan pesisir Semarang sejak 1970 an tidak hanya meninggalkan jejak pada lanskap fisik Tambaklorok, tetapi juga merembes hingga ke struktur sosial dan ekonomi masyarakatnya. Ketika kawasan industri dan perluasan pelabuhan mulai mendominasi ruang-ruang pesisir, keberadaan nelayan tradisional makin kehilangan pijakan. Pendapatan nelayan yang tadinya dapat diandalkan perlahan menurun. Operasi kapal modern berskala besar yang menjangkau wilayah tangkap lebih luas memaksa nelayan Tambaklorok yang masih mengandalkan perahu kecil dan alat tangkap tradisional menghadapi kompetisi yang tidak seimbang.Ketidakstabilan hasil tangkapan menyebabkan keluarga nelayan harus mencari strategi ekonomi baru. Banyak istri nelayan mengisi kesenjangan pendapatan dengan pekerjaan tambahan, seperti buruh pengupas hasil laut, pedagang kecil, atau pekerja harian lepas. Anak-anak muda pun lebih memilih pekerjaan di sektor informal perkotaan ketimbang melanjutkan profesi orang tua mereka yang semakin tidak menentu. Dari sini terlihat adanya pergeseran identitas: profesi nelayan tidak lagi dipandang sebagai sumber kebanggaan komunal, tetapi semakin diasosiasikan dengan kerentanan hidup.Arah Pembangunan Kota dan Ketimpangan dalam Pengelolaan RuangDalam dokumen pembangunan Semarang era 1980 - 2000, terlihat dengan jelas bahwa orientasi kota lebih condong pada pengembangan industri, jasa pelabuhan, dan rencana pariwisata pesisir. Namun, pola perencanaan tersebut cenderung meminggirkan keberadaan komunitas lokal. Kawasan pesisir sering diperlakukan sebagai “ruang cadangan” yang dapat dialihfungsikan kapan saja sesuai kepentingan ekonomi kota.Keterlibatan masyarakat Tambaklorok dalam perencanaan ruang hampir tidak pernah menjadi prioritas. Keputusan tata ruang seperti reklamasi, perluasan pelabuhan, hingga pembangunan jalur transportasi logistic lebih banyak ditentukan oleh kepentingan modal dan institusi pemerintah. Sementara itu, komunitas nelayan hanya mengetahui dampaknya ketika ruang yang mereka gunakan selama puluhan tahun berubah fungsi atau tertutup aksesnya.Ketimpangan kuasa inilah yang memperkuat proses marginalisasi. Aktor-aktor besar memiliki kemampuan memengaruhi arah pembangunan, sedangkan masyarakat nelayan hanya berposisi sebagai penerima akibat, bukan penentu arah kebijakan. Situasi ini berlangsung terus menerus dan menjadi salah satu sumber utama hilangnya ruang hidup masyarakat Tambaklorok.Foto: Dokumen PribadiKrisis Ekologis: Antara Rob, Abrasi, dan Limbah IndustriMarginalisasi Tambaklorok tidak bisa dilepaskan dari kondisi ekologis yang semakin memburuk. Kombinasi antara penurunan muka tanah, banjir rob, dan abrasi membuat kawasan ini masuk dalam lingkaran kerentanan yang terus berulang. Rob yang pada mulanya bersifat musiman, pada akhir 1990 an berubah menjadi genangan rutin yang merendam rumah warga berhari-hari.Kondisi ini diperparah oleh pembuangan limbah dari aktivitas industri di sekitar pelabuhan. Air sungai yang seharusnya membantu aliran air ke laut, berubah menjadi saluran yang mengangkut endapan dan limbah, mengganggu kualitas ekosistem pesisir. Habitat biota laut yang menjadi sumber tangkapan nelayan pun semakin menyusut. Tidak lagi sekadar sulit mencari ikan, nelayan juga harus menghadapi risiko kesehatan yang ditimbulkan oleh air tercemar.Degradasi lingkungan inilah yang membuat krisis ruang hidup semakin akut. Ruang fisik menyempit, sementara lingkungan sebagai sumber penghidupan kehilangan daya dukungnya.Isu Lingkungan dan Krisis Spasial Komunitas NelayanPeriode antara tahun 1970 hingga 2000 menandai fase krusial dalam sejarah Tambaklorok, Semarang, di mana komunitas nelayan pesisir menghadapi tekanan ganda dari degradasi lingkungan alami dan implikasi pembangunan perkotaan yang tidak terencana. Isu lingkungan bukan hanya sekadar catatan kerusakan alam, melainkan sebuah krisis spasial dan keberlanjutan hidup yang secara sistematis memarginalisasi komunitas nelayan dari ruang hidup tradisional mereka. Tekanan ini pada dasarnya berakar dari dua sumber utama: kerentanan geografis yang diperparah oleh rob (banjir pasang) dan abrasi, serta kekumuhan parah yang muncul akibat infrastruktur sanitasi yang minim dan pencemaran industri.Secara geografis, Tambaklorok adalah wilayah dataran rendah yang sangat rentan terhadap fenomena rob. Intensitas rob cenderung meningkat signifikan seiring dengan masifnya pengambilan air tanah di kawasan Semarang Utara dan pembangunan infrastruktur di pesisir, yang mengakibatkan penurunan muka tanah. Banjir pasang ini tidak hanya merendam jalanan dan fasilitas umum, tetapi juga secara permanen menggenangi area permukiman, memaksa penduduk untuk meninggikan lantai rumah secara terus-menerus. Siklus adaptasi vertikal ini meninggikan rumah adalah manifestasi fisik dari perjuangan nelayan mempertahankan ruang hunian mereka. Setiap kali rob datang, ruang hidup mereka menyusut, dan biaya hidup untuk adaptasi meningkat, menciptakan beban ekonomi tambahan yang berat.Di sisi lain, kekumuhan menjadi masalah lingkungan krusial di periode ini. Kepadatan penduduk yang tinggi di permukiman nelayan tidak diimbangi dengan penyediaan sarana prasarana dasar yang memadai. Akses terbatas terhadap air bersih dan sanitasi layak menyebabkan pembuangan limbah rumah tangga, termasuk tinja, dilakukan secara semi-terbuka ke lingkungan sekitar, termasuk ke kanal atau langsung ke perairan dangkal. Kondisi ini menciptakan lingkungan yang sangat tidak sehat, menjadi sumber penyakit, dan sekaligus mempercepat pencemaran perairan pesisir yang merupakan sumber mata pencaharian nelayan. Degradasi kualitas air laut ini, ditambah dengan adanya limbah dari kegiatan industri atau pelabuhan di sekitarnya, secara langsung mengancam keberlanjutan stok ikan dan komoditas perikanan lain yang menjadi tumpuan ekonomi masyarakat.Abrasi pantai turut mempersempit ruang gerak nelayan. Lenyapnya hutan bakau alami yang seringkali dikonversi atau rusak karena pembangunan menghilangkan benteng alam pelindung pantai. Abrasi mengikis daratan, membawa air laut lebih jauh ke darat, dan merusak lokasi penambatan perahu tradisional. Bagi komunitas nelayan, ruang pesisir adalah ruang kerja, ruang hunian, dan ruang sosial yang terintegrasi. Kerusakan lingkungan yang masif dan multidimensi ini secara efektif mengurangi kapasitas adaptasi masyarakat, mendesak mereka ke area yang semakin sempit, dan memperkuat stigma kekumuhan, sehingga proses marginalisasi spasial dan sosial-ekonomi semakin terinstitusionalisasi pada akhir dekade 1990-an.Daya Bertahan Komunitas dan Upaya Menjaga Identitas BahariDi tengah tekanan yang datang bertubi-tubi, masyarakat Tambaklorok tetap menunjukkan ketangguhan sosial yang kuat. Ikatan kekeluargaan, kelompok kerja antar nelayan, serta tradisi gotong royong menjadi modal utama untuk terus bertahan. Adaptasi dilakukan dengan cara-cara yang sederhana tetapi bermakna: meninggikan lantai rumah, memperbaiki perahu bersama, hingga menciptakan jalur alternatif menuju laut.Tradisi budaya pesisir seperti sedekah laut, doa bersama sebelum melaut, serta ritual-ritual maritim lain terus dipertahankan sebagai pengingat bahwa identitas mereka tidak hilang begitu saja. Tradisi ini bukan semata ritual, tetapi menjadi penegasan bahwa komunitas nelayan masih memiliki ruang untuk menyatakan keberadaan mereka meski modernisasi kota berusaha mengaburkan jejak kehidupan bahari.Ketahanan komunitas nelayan Tambaklorok bertumpu pada modal sosial yang terbentuk melalui ikatan kekeluargaan, gotong royong, dan jaringan kerja antar nelayan. Solidaritas ini berfungsi sebagai penyangga utama saat terjadi krisis akibat rob, abrasi, dan tekanan ekonomi. Praktik saling membantu dalam perbaikan perahu, perbaikan rumah, hingga pembagian hasil tangkapan menciptakan sistem bertahan kolektif yang membuat komunitas tetap eksis meski ruang hidup mereka semakin terdesak.Upaya menjaga identitas bahari diwujudkan melalui pelestarian tradisi maritim seperti sedekah laut, doa sebelum melaut, dan ritual kolektif pesisir. Tradisi ini bukan sekadar praktik budaya, tetapi menjadi sarana mempertahankan rasa memiliki terhadap laut dan menguatkan identitas nelayan sebagai komunitas bahari. Di tengah tekanan industrialisasi dan urbanisasi, budaya tersebut berperan sebagai bentuk perlawanan simbolik terhadap pengaburan identitas maritim.Keberlanjutan daya tahan komunitas nelayan memerlukan dukungan kebijakan yang mengakui hak ruang hidup mereka, melalui perlindungan akses laut, perbaikan sanitasi, serta mitigasi rob dan abrasi. Ketahanan sosial tidak cukup hanya bertumpu pada solidaritas internal, tetapi harus diperkuat oleh kolaborasi antara masyarakat, pemerintah, dan lembaga pendamping agar identitas bahari tidak hanya bertahan secara kultural, tetapi juga terlindungi secara struktural.KesimpulanPenelitian ini menyimpulkan bahwa pada periode 1970-2000 komunitas nelayan pesisir Tambaklorok mengalami marginalisasi ruang hidup akibat perubahan tata ruang dan kebijakan pembangunan kota yang lebih mengutamakan kepentingan industri dan komersial. Alih fungsi kawasan pesisir, reklamasi, dan masuknya permukiman non-nelayan telah mempersempit akses nelayan terhadap ruang tangkap, ruang tinggal, dan ruang sosial yang sebelumnya menjadi basis utama keberlangsungan hidup mereka.Marginalisasi ini tidak hanya berdampak pada melemahnya kondisi ekonomi keluarga nelayan, tetapi juga mengganggu identitas sosial dan budaya masyarakat pesisir yang telah terbangun secara turun-temurun. Hilangnya ruang untuk mempertahankan tradisi bahari dan menurunnya solidaritas komunitas menunjukkan bahwa problem ruang hidup nelayan bersifat multidimensional, bukan sekadar persoalan ekonomi.Dengan demikian, kasus Tambaklorok memperlihatkan bahwa tata kelola wilayah pesisir yang tidak berpihak pada masyarakat lokal dapat menciptakan ketidakadilan struktural. Untuk itu, penataan ruang pesisir seharusnya mengedepankan prinsip keberlanjutan dan partisipasi komunitas nelayan sebagai pihak yang paling terdampak dan paling memahami dinamika ruang hidupnya.