Gambar kegiatan Sekolah Guru & Murid. Sumber Gambar: Pixabay Coba kita bayangkan, pagi yang dingin di sebuah desa pegunungan Papua. Kabut masih tebal, tapi anak-anak kecil sudah berjalan kaki, menapaki tanah becek, sambil memeluk buku lusuh di dada mereka. Tak ada bus sekolah, seragam baru, apalagi Wi-Fi. Sedangkan di wilayah lain, anak-anak seusia mereka sudah duduk di depan laptop dan memiliki banyak akses untuk mengikuti kelas daring dengan jaringan super cepat.Kisah ini datang dari Kabupaten Pegunungan Bintang, Papua. Di salah satu SD di sana, hanya ada dua guru yang mengajar enam kelas. Murid-murid harus berjalan lebih dari lima kilometer melewati bukit, dan kalau hujan turun, jalan itu berubah jadi lumpur. Kadang mereka tak bisa sekolah berhari-hari.Menurut pembacaan salah satu artikel Kumparan (2025) berjudul Ketimpangan Kualitas Pendidikan dan Akses di Daerah 3T, dijelaskan bahwa kualitas sumber daya manusia pendidikan di wilayah Terdepan, Terluar, Tertinggal (3T) masih rendah. Rasio guru dan murid tidak seimbang, sebagian besar guru berstatus honorer dengan pelatihan minim, serta fasilitas sekolah seperti ruang kelas, buku, dan sarana teknologi masih sangat terbatas.Pemerintah telah meluncurkan beberapa program seperti, Guru Garis Depan, Program Indonesia Pintar, sampai Digitalisasi Sekolah di Peloso. Progma-program ini ditujukan untuk meningkatkan pemerataan akses dan kualitas pendidikan di wilayah 3T, sekaligus membuka kesempatan belajar yang lebih layak bagi anak-anak di daerah terpencil. Tapi, banyak dari program itu berhenti di tataran dokumen dan laporan. Di lapangan, guru yang ditugaskan ke daerah terpencil sering merasa sendirian. Ada yang akhirnya mundur karena akses sulit, fasilitas minim, dan gaji yang telat.Padahal menurut data UNICEF tahun 2024, masih ada 4,3 juta anak usia 7–18 tahun di Indonesia yang belum pernah sekolah, dan sebagian besar berasal dari wilayah 3T. Kondisi ini menunjukkan adanya kesenjangan yang masih lebar dalam akses pendidikan. Di satu sisi, anak-anak di perkotaan bisa dengan mudah mendapat akses dan fasilitas untuk mereka belajar serta dapat mengikuti bimbingan belajar (bimbel) untuk mengejar prestasi. Namun di sisi lain, jutaan anak di wilayah 3T bahkan belum pernah merasakan fasilitas mendapat bangku sekolah. Ketimpangan inilah yang perlu menjadi perhatian bersama agar setiap anak, di mana pun mereka tinggal, memiliki kesempatan yang sama untuk belajar dan berkembang.Pentingnya KesempatanSaya pribadi percaya, pendidikan itu bukan sekadar soal memiliki perangkat belajar seperti laptop bersama koneksi internet yang cepat. Sebab inti dari pendidikan itu adalah kesempatan yang sama untuk belajar. Namun sayangnya, kesempatan itu masih belum merata untuk anak-anak di Indonesia, terutama mereka yang tinggal dan hidup di bagian wilayah 3T.Anak-anak tersebut sebenarnya tidak terlalu ingin “dikasihani”, namun mereka hanya ingin mendapat keadilan untuk pendidikan mereka, seperti halnya mereka butuh akses yang adil untuk mereka belajar, butuh guru yang bersedia tinggal bersama mereka, kesediaan buku-buku yang bisa mereka baca, ruang kelas yang tidak bocor, dan kesediaan listrik untuk mereka belajar di malam hari.Masalah pendidikan di wilayah 3T ini bukan hanya soal ekonomi, tapi soal keadilan sosial. Kalau anak-anak di sana terus dibiarkan tertinggal, kita bukan cuma kehilangan generasi penerus, tapi juga kehilangan potensi besar yang bisa ikut membangun negeri ini dari pinggiran.Harapan dari Solidaritas BersamaANTARA News (2024) melaporkan bahwa Pemerintah Provinsi Papua melakukan kolaborasi lintas sektor untuk meningkatkan mutu pendidikan di wilayah 3T. Upaya ini mencakup pelatihan guru, perbaikan sarana belajar, hingga dukungan dari komunitas lokal.Sementara itu, penelitian Alfiatunnur (2024) yang berjudul Social Solidarity Collaborative Action for Equality in Education and Poverty Reduction Post Conflict and Disaster in Aceh, Indonesia menemukan bahwa solidaritas sosial dan kerja sama antar-komunitas dapat memperkuat pemerataan pendidikan, bahkan di daerah yang pernah terdampak konflik dan bencana. Dua contoh ini menunjukkan bahwa kolaborasi lintas sektor dan semangat berempati bisa menjadi sumber harapan baru bagi masa depan pendidikan di daerah-daerah tertinggal IndonesiaHal-hal kecil seperti ini mungkin terlihat sederhana, tapi dari sinilah perubahan mulai tumbuh. Semangat kecil yang menular inilah yang perlahan membentuk kekuatan besar. Seperti yang ditunjukkan di Papua dan Aceh, kerja sama dan empati nyata dari banyak pihak bisa membuka jalan baru bagi pendidikan yang lebih setara. Karena di balik setiap langkah kecil, selalu ada harapan yang tumbuh diam-diam, menunggu untuk menjadi perubahan besar.Sudah Saatnya Kita Turun TanganPerlu kolaborasi aksi di berbagai pihak untuk saling mendukung dan mengeksekusi solusi dari berbagai masalah pendidikan ini. Pendidikan di ujung negeri yang seringkali seakan jadi “anak tiri” juga butuh dukungan dari masyarakat. Ombudsman RI (2025) mencatat bahwa hingga kini masih banyak tantangan dalam pemerataan pendidikan, terutama di wilayah 3T.Hambatan geografis, akses transportasi, serta keterbatasan infrastruktur membuat anak-anak di daerah pedalaman sulit menikmati pendidikan yang layak. Namun dari artikel yang di tulis oleh Eben Haezer Gulo yang berjudul Menyalakan Lentera Di Ujung Negeri: Membangun Generasi Cerdas Dan Berkarakter Di Wilayah 3T, menambahkan bahwa masyarakat juga berperan besar dalam mendukung pendidikan. Mereka menciptakan lingkungan yang aman untuk belajar meskipun dengan fasilitas yang sederhana, mereka juga bergotong royong untuk memperbaiki bangunan sekolah dan menyediakan ruang belajar di rumah warga.Hal itu sejalan dengan temuan dari Septiana, Solfema, dan Putri (2024) dalam jurnal penelitian Nalanda yang berjudul Upaya dalam Pemerataan Pendidikan di Daerah Terpencil. Mereka menunjukkan bahwa ketika kurangnya keterlibatan masyarakat justru menjadi salah satu faktor utama yang menghambat pemerataan akses pendidikan di wilayah terpencil. Artinya, partisipasi publik bukan hanya pelengkap, tapi bagian penting dari solusi.Sejalan dengan itu, dalam artikel berjudul Peran Masyarakat Dalam Meningkatkan Pendidikan di Indonesia (2025) yang ditulis oleh Shevila Salsabila Al Aziz menyebut bahwa pendidikan bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga tanggung jawab bersama antara masyarakat, komunitas, dan dunia usaha. Oleh karena itu, selama anak‑anak di ujung negeri masih berjuang untuk bersekolah, kita pun seharusnya ikut berjuang agar perjuangan mereka tidak sia‑sia.Pendidikan bukan hadiah bagi mereka yang mampu, melainkan hak yang semestinya dimiliki setiap anak Indonesia dari Sabang sampai Merauke, dari kota besar hingga pelosok yang jauh di pedalaman. Namun, di banyak tempat, hak itu masih terasa seperti kemewahan. Masih banyak anak-anak di daerah 3T harus berjalan jauh, melewati jalan setapak, menyeberangi sungai, bahkan belajar di bawah atap seadanya hanya demi bisa membaca dan menulis.Pada akhirnya, pendidikan bukan hanya urusan pemerintah, tetapi tanggung jawab kita bersama. Di tengah kenyamanan yang kita nikmati, masih banyak anak di pelosok negeri yang berjuang keras demi hak yang sama untuk belajar. Karena itu, sekecil apa pun langkah yang kita ambil seperti berdonasi buku, menjadi relawan, atau menyebarkan kisah perjuangan mereka tetap berarti besar. Pendidikan tidak akan tumbuh hanya dari kebijakan, tetapi juga dari empati, kepedulian, dan langkah kecil yang dilakukan bersama dengan tindakan nyata.