Mensos Saifullah Yusuf atau Gus Ipul meninjau dapur umum Kemensos di Prabu Rifa Residence, Kuala Simpang, Kabupaten Aceh Tamiang, Provinsi Aceh, Kamis (4/12/2025). Foto: Dok. KemensosPernyataan Menteri Sosial Saifullah Yusuf (Gus Ipul) bahwa pemerintah tidak melarang masyarakat menggalang dana untuk korban banjir bandang dan longsor di Sumatera menjadi klarifikasi penting di tengah kegaduhan publik beberapa hari terakhir.“Silakan, siapa saja boleh. Kita tidak menghalangi,” kata Mensos di Jakarta, Rabu (10/12/2025). Ia menegaskan bahwa pemerintah justru mengapresiasi inisiatif warga, komunitas, yayasan, hingga kreator digital yang bergerak cepat membantu penyintas.Sikap pemerintah ini—bila dibaca dalam konteks tanggap darurat—menunjukkan bahwa negara memahami urgensi di lapangan. Dalam situasi bencana, waktu adalah faktor penentu.Kendaraan melintas di jalan yang berada di antara lahan pertanian yang rusak akibat terendam banjir dan lumpur banjir bandang di Pidie Jaya, Aceh, Senin (8/12/2025). Foto: Irwansyah Putra/ANTARA FOTOKetika akses jalan terputus dan bantuan resmi belum menjangkau semua titik terdampak, solidaritas warga sering kali menjadi penolong pertama. Oleh karena itu, kebijakan yang memberi ruang bagi publik untuk bergerak tanpa hambatan administratif adalah langkah yang tepat.Regulasi Penggalangan DanaNamun pernyataan tersebut tidak boleh mengaburkan kenyataan bahwa penggalangan dana publik tetap berada dalam kerangka regulasi. Sejak lama, aktivitas penghimpunan dana sosial diatur oleh Undang-Undang No. 9/1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang (PUB). UU ini mewajibkan setiap penggalangan dana untuk tujuan sosial memperoleh izin dari pemerintah, baik di tingkat daerah maupun pusat, sesuai cakupan kegiatan. Selain itu, Permensos No. 8/2021 tentang Penyelenggaraan Pengumpulan Uang atau Barang. Aturan ini memperjelas bahwa penyelenggara PUB harus berbadan hukum. Selain itu, terdapat kewajiban pelaporan dan audit, terutama jika dana yang terkumpul besar atau melibatkan lintas wilayah.Ilustrasi donasi. Foto: ShutterstockSelain dari dua regulasi tersebut, terdapat kewajiban audit. Dalam hal ini, Kemensos mewajibkan audit internal untuk donasi di bawah Rp500 juta dan audit eksternal untuk dana di atas itu. Laporan penggalangan dan distribusi harus disampaikan kepada pemerintah.Di luar aturan pokok tersebut, terdapat prinsip umum bahwa setiap kegiatan filantropi harus memenuhi unsur transparansi, akuntabilitas, dan pertanggungjawaban publik. Di titik inilah muncul persoalan yang harus dijawab bersama: Bagaimana menjamin tata kelola donasi yang rapi tanpa mematikan spontanitas solidaritas warga?Kebijakan yang disampaikan Menteri Sosial—bahwa izin dan laporan dapat menyusul setelah penyaluran bantuan di masa darurat—merupakan bentuk fleksibilitas administratif yang seharusnya diadopsi secara konsisten. Model seperti ini penting agar regulasi tidak menjadi hambatan kemanusiaan.Panitia Natal Nasional 2025 masih terus menyalurkan bantuan untuk warga terdampak banjir dan longsor di Sumatera Barat. Foto: Bakom RINamun fleksibilitas tidak berarti abai. Justru di masa bencana, pengawasan dibutuhkan agar tidak muncul penipuan berkedok donasi, penyalahgunaan akun pribadi, atau distribusi dana yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Fenomena-fenomena seperti ini pernah muncul sebelumnya dan menggerus kepercayaan publik.Oleh karena itu, negara perlu memperkuat mekanisme pendaftaran cepat bagi penggalang dana, misalnya melalui platform daring resmi Kemensos atau pemerintah daerah. Tanpa menunggu verifikasi panjang, penyelenggara cukup memberikan identitas, tujuan penggalangan, serta rekening khusus. Setelah masa tanggap darurat lewat, audit dan pelaporan dapat dilakukan secara lebih sistematis.Era Digital, Regulasi TradisionalRealitas lain yang harus diakui adalah bahwa regulasi Indonesia—terutama UU PUB tahun 1961—sudah terlalu tua untuk mengatur pola filantropi era digital. Donasi kini banyak digerakkan oleh influencer, komunitas daring, kanal crowdfunding, hingga konten kreator individu. Banyak yang bukan badan hukum, tetapi justru sangat efektif menjangkau publik.Ilustrasi kebijakan pemerintah. Foto: SsCreativeStudio/ShutterstockDalam konteks ini, pembaruan regulasi menjadi kebutuhan. Pemerintah semestinya tidak memaksakan aturan yang lahir enam dekade lalu untuk model partisipasi sosial yang sangat berbeda. Yang dibutuhkan adalah aturan yang lebih adaptif, lebih mudah diakses, tetapi tetap berorientasi pada akuntabilitas.Transparansi merupakan jantung kepercayaan publik. Masyarakat tak keberatan membantu, asalkan yakin bahwa setiap rupiah yang disumbangkan tidak hilang di tengah jalan. Platform digital dapat dilibatkan untuk melakukan verifikasi, mencantumkan label “terdaftar”, atau menyediakan ruang laporan publik yang dapat dipantau secara real-time.Namun peran negara tidak berhenti pada memberi izin moral semacam itu. Negara harus memastikan bahwa setiap bantuan yang dihimpun masyarakat tersalurkan dengan benar, disertai laporan yang dapat diuji, serta berada dalam sistem yang melindungi publik dari potensi penyimpangan.Ilustrasi masyarakat. Foto: Dmitry Nikolaev/ShutterstockSolidaritas warga adalah kekuatan terbesar bangsa ini. Namun, tanpa tata kelola yang baik, solidaritas itu bisa dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.Karena itu, yang dibutuhkan sekarang bukan sekadar kebebasan menggalang dana, melainkan kerangka hukum yang mempermudah kerja kemanusiaan, tanpa menanggalkan akuntabilitas.Bencana memang merenggut banyak hal, tetapi jangan sampai merenggut kepercayaan publik terhadap gerakan solidaritas. Hanya dengan menjaga keduanya; empati dan transparansi. Kita dapat memastikan bahwa gotong royong tidak hanya tumbuh cepat, tetapi juga tumbuh benar.