Ilustrasi orang tua, sekolah, dan negara. Foto: Dokumentasi PribadiSetiap kali muncul persoalan tentang perilaku anak—mulai dari kekerasan di sekolah, krisis literasi, hingga gangguan kesehatan mental.Pertanyaan lama kembali mengemuka: Siapa yang paling bertanggung jawab mendidik anak? Orang tua, sekolah, atau negara? Sayangnya, perdebatan ini sering berakhir pada saling menyalahkan, bukan pada pembagian peran yang jujur dan proporsional.Di ruang publik, sekolah kerap dijadikan kambing hitam. Guru dituntut mendidik karakter, menanamkan nilai moral, membangun kecerdasan emosional, sekaligus mengejar target akademik.Ketika anak dianggap “gagal”, sorotan segera mengarah ke ruang kelas. Padahal, sekolah hanya bertemu anak dalam porsi waktu yang terbatas dan dalam konteks yang sangat formal.Ilustrasi kursi dan meja sekolah. Foto: ShutterstockNamun, membebaskan sekolah dari tanggung jawab juga keliru. Sekolah adalah institusi pendidikan yang dirancang secara sistematis. Di sanalah anak belajar berpikir kritis, berinteraksi sosial, dan memahami nilai-nilai kebangsaan.Guru bukan sekadar pengajar mata pelajaran, melainkan juga figur otoritas yang memberi teladan. Sekolah memiliki tanggung jawab besar, terutama dalam membangun lingkungan yang aman, inklusif, dan mendukung tumbuh kembang anak.Lalu, bagaimana dengan negara? Negara sering diposisikan sebagai wasit—hadir ketika masalah muncul, absen ketika proses berjalan. Padahal, peran negara justru fundamental. Negara menentukan arah kurikulum, kualitas guru, anggaran pendidikan, hingga regulasi perlindungan anak.Ketimpangan akses pendidikan, beban administratif guru, dan lemahnya layanan konseling di sekolah adalah buah dari kebijakan yang kurang berpihak pada anak. Dalam konteks ini, negara bukan sekadar fasilitator, melainkan juga penentu ekosistem pendidikan.Ilustrasi pendidikan Foto: kumparanMeski demikian, satu pihak yang sering luput dari sorotan kritis adalah orang tua. Padahal, orang tua adalah pendidik pertama dan utama. Nilai, kebiasaan, dan cara anak memandang dunia dibentuk pertama kali di rumah.Sekolah dan negara hanya melanjutkan—atau memperbaiki—fondasi yang sudah diletakkan keluarga. Ketika orang tua menyerahkan sepenuhnya urusan pendidikan kepada sekolah, sesungguhnya terjadi kekosongan peran yang tidak bisa ditutup oleh institusi manapun.Realitas sosial hari ini memang tidak sederhana. Tekanan ekonomi membuat banyak orang tua minim waktu untuk mendampingi anak. Teknologi mengambil alih ruang pengasuhan. Gawai menjadi “guru” baru, sering tanpa kontrol dan pendampingan. Dalam situasi ini, menyalahkan orang tua secara moral juga tidak sepenuhnya adil. Namun, memahami keterbatasan bukan berarti menghapus tanggung jawab.Maka, menjawab pertanyaan "Siapa yang paling bertanggung jawab mendidik anak?" seharusnya tidak berhenti pada memilih satu pihak. Namun, jika harus menimbang bobot, orang tua tetap memegang peran paling menentukan.Ilustrasi anak belajar baca, tulis, dan berhitung (Calistung). Foto: Odua Images/ShutterstockSekolah dan negara berfungsi optimal ketika keluarga menjalankan perannya. Pendidikan karakter tidak bisa dititipkan sepenuhnya pada kurikulum dan nilai-nilai tidak bisa ditanamkan lewat kebijakan semata.Yang dibutuhkan adalah kejujuran kolektif. Orang tua perlu berhenti menjadikan sekolah sebagai tempat penitipan nilai. Sekolah perlu keluar dari jebakan pendidikan yang hanya mengejar angka dan peringkat. Negara harus berhenti memandang pendidikan sebagai proyek lima tahunan, bukan investasi jangka panjang manusia.Anak-anak tidak tumbuh dalam ruang hampa. Mereka adalah hasil dari relasi yang saling terkait antara rumah, sekolah, dan negara. Ketika satu pihak absen, yang lain akan kewalahan. Dan pada akhirnya, yang paling dirugikan bukan institusi, melainkan anak itu sendiri.Mendidik anak bukan soal siapa yang paling berjasa, melainkan siapa yang berani mengambil tanggung jawab sejak awal—dan konsisten menjalaninya hingga akhir.