Kondisi pemukiman warga pasca banjir yang melanda Kabupaten Pidie Jaya, Aceh, Selasa (09/12/25). Foto: Ahmad Nawawi (Sudah Diizinkan). Sumber: Dokumentasi Pribadi, dikirim via WABagi sebagian besar penduduk bumi, Desember mungkin identik dengan liburan, lampu warna-warni, dan hitung mundur menuju pergantian tahun. Namun, bagi kami di Aceh, bulan kedua belas memiliki rasa yang berbeda.Desember di Tanah Rencong bukanlah bulan pesta. Ia adalah bulan "memori". Setiap tahunnya, menjelang tanggal 26 Desember, langit Aceh seolah ikut murung, mengajak kami menunduk mendoakan ratusan ribu jiwa yang dipanggil pulang oleh gelombang dahsyat Tsunami 2004 silam. Luka itu memang sudah mengering, tapi bekasnya tak akan pernah hilang dari ingatan kami.Dan tahun ini, Desember kami terasa semakin berat.Belum sempat kita khusyuk memanjatkan doa mengenang 21 tahun Tsunami, air bah kembali datang. Bahkan, awan mendung itu kini menaungi langit Pulau Andalas secara luas. Kabar duka tak hanya datang dari gampong-gampong di Aceh, tetapi juga mengalir deras dari saudara serumpun di Sumatera Utara hingga Sumatera Barat yang turut dikepung bencana longsor dan banjir.Rentetan musibah yang mengepung wilayah Sumatra ini seolah ingin menegaskan satu hal: bahwa Desember kali ini ditakdirkan sebagai bulan untuk bertafakur, bukan berhura-hura.Tanpa Larangan Pun, Hati Kami Tak Ingin PestaDi Aceh, sudah menjadi kearifan lokal bahwa perayaan malam tahun baru masehi—dengan terompet dan kembang api—dirasa kurang sejalan dengan nafas keislaman dan adab di tanah ini. Pemerintah dan ulama pun tak lelah mengingatkan agar momen pergantian tahun disikapi dengan bijak; dilalui dengan suasana tenang, menjauhi hingar bingar yang melalaikan, dan lebih baik digunakan untuk merefleksikan diri.Namun, kondisi hari ini melampaui sekadar kepatuhan pada imbauan tersebut.Tanpa perlu diingatkan pun, rasanya tak ada warga Aceh yang tega menyalakan kembang api tahun ini. Bagaimana mungkin ada hati yang ingin bersorak sorai, ketika di bagian Aceh yang lain, saudara kita sedang menggigil kedinginan di pengungsian?Rasanya terlalu egois jika kita memaksakan adanya gemuruh pesta. Sebab di saat yang sama, batin kami justru dihantui oleh bayangan lain yang jauh lebih memilukan: derasnya air bah yang meluluhlantakkan rumah dan harapan saudara-saudara kita di sana.Islam mengajarkan kita untuk peka. Dalam sebuah hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim, Rasulullah Saw. mengingatkan bahwa perumpamaan orang mukmin itu bagaikan satu tubuh. Jika satu bagian sakit, maka seluruh tubuh ikut merasakannya. Konsep tolong-menolong jauh lebih dibutuhkan saat ini daripada sekadar perayaan seremonial.Ketegaran yang Menggetarkan HatiSebagai seorang Penyuluh Agama, hati saya bergetar setiap kali membaca kabar atau melihat kiriman video dari wilayah terdampak. Meski raga ini tidak berada di tengah pusaran bencana, namun ikatan persaudaraan (ukhuah) membuat rasa sakit itu menjalar hingga ke sini.Namun, di balik duka itu, saya kembali teringat pada karakter asli "Ureung Aceh" yang mentalnya telah ditempa oleh sejarah panjang ujian. Orang Aceh adalah pembelajar yang tangguh. Kita pernah bangkit dari luluh lantaknya Tsunami, dan insyaallah, saudara-saudara kita di lokasi banjir pun akan mampu melewati ujian ini dengan sabar.Bencana ini menjadi pengingat keras bagi kita yang berada di wilayah aman. Bahwa nikmat keamanan dan kenyamanan yang kita rasakan saat ini adalah titipan yang bisa diambil kapan saja. Maka, cara terbaik mensyukurinya adalah dengan empati.Pesan untuk Saudara SebangsaTulisan ini adalah ungkapan hati dari kami di ujung barat.Kami tidak meminta kembang api. Kami tidak merindukan panggung hiburan. Desember kami adalah bulan doa. Doa untuk mereka yang hilang ditelan ombak dua dekade lalu, dan doa untuk mereka yang kini bertahan di tengah kepungan banjir.Jika Anda di luar sana ingin "merayakan" sesuatu bersama kami, rayakanlah solidaritas. Kirimkan doa terbaik, atau sisihkan sedikit rezeki untuk membantu memulihkan dapur-dapur umum di lokasi bencana.Biarlah Desember di Aceh sunyi dari suara terompet, asalkan langitnya riuh oleh doa-doa yang mengetuk pintu rahmat Allah Swt. Semoga badai ini segera berlalu, dan matahari kembali bersinar hangat di Serambi Mekkah.