Kredit: Foto ibu dan anak. Foto oleh kontributor PxHere (CC0 – Public Domain)Bayangkan ada seorang anak berusia tujuh tahun yang selalu berusaha keras agar ibunya bangga. Ia belajar dengan giat, selalu juara kelas, bahkan membantu pekerjaan rumah tanpa disuruh. Tapi entah kenapa, ibunya tampak tidak pernah puas. Tidak ada pelukan hangat, tidak ada pujian tulus. Yang ada hanya komentar menyakitkan: “kakakmu lebih pintar”, “Kok masih salah?”, atau “jangan cengeng”.Bertahun-tahun kemudian, anak itu tumbuh menjadi orang dewasa yang terus-menerus merasa tidak cukup baik. Ia jadi orang yang perfeksionis dan mudah cemas, selalu butuh pujian dari orang lain, dan sulit membangun hubungan yang sehat. Tanpa sadar, ia mewarisi luka emosional Bernama “mother wound”, luka psikologis yang tertanam sejak kecil karena ibunya tidak bisa memberikan dukungan emosional yang dibutuhkan si anak.Apa itu Mother Wound?Istilah mother wound memang tidak tercantum resmi dalam buku diagnosis psikiatri. Namun, konsep ini banyak digunakan untuk menggambarkan trauma yang membuat anak merasa tidak dicintai, ditinggalkan, tidak berharga, dan mati rasa terhadap perasaannya sendiri. Menurut Dr. Kate Truitt, psikolog klinis, mother wound adalah luka mental, emosional yang terbentuk ketika kebutuhan emosional anak tidak terpenuhi secara konsisten. Bukan berarti sang ibu jahat atau sengaja menyakiti, melainkan karena pola asuh yang keliru, tekanan hidup, atau luka pribadi sang ibu yang belum sembuh.Ironisnya, luka ini kerap tumbuh di keluarga yang terlihat “baik-baik saja”. Anak dirawat, diberi makan, dan disekolahkan. Namun, saat ia sedih, marah, atau kecewa, perasaannya diabaikan, diremehkan, atau dianggap berlebihan. Kalimat seperti “jangan cengeng”, “harusnya kamu bisa”, atau “ibu capek” mungkin terdengar sepele. Tetapi bagi anak, pesan yang tertanam bisa lebih dalam dari yang kita kira. Anak bisa merasa “perasaanku tidak penting”.Data Bicara: Tidak Semua Anak Tumbuh dengan Kelekatan AmanHubungan ibu dan anak sering dianggap otomatis hangat. Nyatanya, data menunjukkan hal sebaliknya. Sebuah penelitian besar yang diterbitkan dalam jurnal American Psychological Association (APA) journal Psychological Bulletin (Madigan, et al 2023) terhadap lebih dari 20.000 pasangan ibu dan bayi menemukan bahwa 51,6% memiliki hubungan aman. Sisanya menunjukkan pola hubungan tidak aman:23,5% punya hubungan yang kacau 14,7% cenderung menjauh10,2% bersifat cemas.Artinya, hampir setengah anak tumbuh tanpa pondasi emosional yang aman, padahal hubungan awal ini sangat menentukan pembentukan kepribadian dan kesehatan mental anak jangka panjang.Pola ini tidak berhenti di masa kanak-kanak. Studi nasional di Amerika Serikat menunjukkan bahwa 36,5% orang dewasa membawa pola hubungan tidak sehat yang berakar dari pengalaman masa kecil.Bagaimana Mother Wound terbentuk?Luka ini jarang lahir dari satu kejadian besar. Ia tumbuh pelan-pelan, melalui pengalaman berulang.Pertama, ketika kebutuhan emosional diabaikan. Anak dirawat secara fisik, tetapi tidak ditemani saat sedih atau takut. Kedua, kritik yang terus menerus. Anak belajar bahwa cinta harus dibayar dengan kesempurnaan. Ketiga, rumah yang tidak stabil secara emosional. Anak hidup dalam ketidakpastian; hari ini disayang, besok dimarahi. Keempat, pembalikan peran atau parentifikasi. Anak menjadi tempat curhat dan penopang emosi ibunya. Kelima, kasih sayang bersyarat. Anak dicintai saat patuh, berprestasi, dan tidak merepotkan.Semua pengalaman ini membentuk keyakinan dasar anak tentang dirinya sendiri.Ketika Luka Menyamar Sebagai KepribadianMother wound jarang dikenali sebagai luka. Ia lebih sering menyamar sebagai sifat kepribadian.Ada yang tumbuh menjadi perfeksionis hingga kelelahan sendiri. Ada yang terus mencari validasi. Ada yang takut ditinggalkan, atau justru menghindari kedekatan emosional. Penelitian memperkirakan sekitar 40% individu dewasa memiliki pola hubungan romantik tidak aman. Pola ini berkaitan erat dengan kecemasan, depresi, kesulitan membangun relasi yang sehat, hingga gangguan kesehatan fisik.Dengan kata lain, apa yang kita sebut “kepribadian” sering kali adalah strategi bertahan dari luka emosional yang tidak pernah disadari.Yang lebih mengkhawatirkan, mother wound sering bersifat lintas generasi. Penelitian menunjukkan bahwa ibu dengan trauma yang belum terselesaikan cenderung membangun hubungan emosional yang tidak aman dengan anaknya. Semakin berat trauma yang dialami ibu, semakin besar risiko anak mengalami pengalaman buruk secara emosional..Jalan Pulang: Memutus Rantai LukaKabar baiknya, mother wound bukan vonis seumur hidup. Meski kita tidak bisa mengubah masa lalu, kita bisa mengubah cara kita meresponsnya. Kesadaran adalah langkah pertama. Terapi berbasis relasi dan trauma, latihan refleksi diri, serta keberanian menetapkan batas emosional terbukti membantu individu membangun pola hubungan yang lebih sehat.Mengakui mother wound bukan berarti menyalahkan ibu. Ini adalah upaya jujur memahami diri sendiri agar tidak mengulang pola yang samaPenutupKita tidak bisa memilih bagaimana kita dibesarkan. Namun kita bisa memilih bagaimana luka itu berakhir. Dalam masyarakat yang semakin sadar akan kesehatan mental, memahami mother wound bukan hanya urusan pribadi, tetapi juga langkah penting dalam membangun generasi yang lebih sehat secara emosional. Karena luka yang disadari bisa disembuhkan