Tidur Cukup, Tapi Tetap Lelah: Realita Insomnia Mahasiswa

Wait 5 sec.

Ilustrasi seseorang yang sedang tertidur karena lelah. Sumber: Unsplash.comAlarm berbunyi tepat pukul enam pagi. Mata terbuka, tetapi tubuh terasa sangat berat seolah belum tidur sama sekali. Kepala pusing, konsentrasi mulai buyar, dan rasa lelah pun masih melekat meski malam sebelumnya sudah berbaring cukup lama. Bagi banyak mahasiswa, kondisi ini bukan hanya terjadi sesekali, melainkan rutinitas yang terus berulang setiap harinya.Fenomena tidur yang tak benar-benar memberi istirahat menjadi suatu hal yang umum di kalangan mahasiswa. Tugas menumpuk, jadwal kuliah yang padat, kebiasaan begadang yang sering dilakukan, hingga waktu menatap layar yang cukup panjang membuat malam terasa semakin pendek. Tidur seringkali dipandang hanya sebagai jeda singkat sebelum kembali memulai aktivitas, bukan sebagai kebutuhan tubuh yang harus dijaga.Secara ilmiah, kondisi ini berkaitan dengan gangguan tidur yang kerap disebut insomnia. Namun, insomnia tidak selalu berarti sulit untuk memejamkan mata. Banyak orang tetap bisa tidur selama enam hingga tujuh jam, tetapi kualitas tidurnya masih buruk. Tubuh tidak akan mencapai fase tidur dalam yang optimal, sehingga proses pemulihan fisik dan mental tidak berjalangan dengan optimal.Ilustrasi penggunaan ponsel sebelum tidur. Sumber: PexelsSalah satu faktor utama yang mempengaruhi kualitas tidur adalah hormon melatonin. Hormon ini berperan sebagai “penanda waktu” bagi tubuh untuk beristirahat. Ketika malam tiba dan suasana gelap, melatonin dilepaskan untuk memberi kode bahwa tubuh siap tidur. Masalahnya, cahaya buatan terutama cahaya biru dari layar ponsel dan laptop dapat menghambat produksi hormon ini. Akibatnya, tubuh merasa lebih cepat lelah tetapi otak tetap terjaga. Hal ini juga ditunjukkan dari hasil penelitian oleh Charles Czeisler dari Harvard Medical School bahwa paparan cahaya biru dari layar gawai pada malam hari dapat menekan produksi melatonin, hormon yang berperan sangat penting dalam proses tidur.Kebiasaan mahasiswa yang masih aktif menatap layar hingga larut malam juga dapat membuat jam biologis tubuh menjadi berantakan. Pola ini akan bekerja seperti jam internal yang mengatur tubuh kapan harus terjaga dan kapan harus beristirahat. Saat pola tersebut terganggu, tubuh kehilangan pola alaminya. Tidur pun tidak lagi memberi rasa segar ketika bangun. Selain faktor cahaya, beban akademik juga berperan besar. Deadline, ujian, dan tekanan untuk selalu produktif terkadang dapat membuat pikiran sulit untuk benar-benar tenang. Meski tubuh sudah terbaring di kasur, otak terkadang masih sibuk memikirkan tugas yang masih belum selesai atau yang baru direncana akan dikerjakan pada keesokan hari. Dalam kondisi ini, bisa dikatakan bahwa tubuh berada pada mode waspada, bukan mode istirahat.Dampaknya tidak bisa langsung dianggap sepele. Kurang tidur berkualitas dapat menurunkan kemampuan konsentrasi, mengganggu kemampuan pemahaman, dan mempengaruhi stabilitas emosi. Mahasiswa menjadi lebih mudah lelah, sensitif, bahkan kehilangan motivasi. Dalam jangka panjang, gangguan tidur juga berisiko mempengaruhi kesehatan fisik dan mental.Ilustrasi seseorang tertidur lelap di tempat tidur. Sumber: PexelsTanpa disadari banyak orang, kondisi ini masih sering kali dianggap wajar. Begadang kerap sekali dipandang sebagai bagian dari ”perjuangan” mahasiswa. Rasa lelah menjadi sesuatu yang dinormalisasi, bahkan dibanggakan. Padahal, tubuh pasti memiliki batas yang tidak selalu bisa dikesampingkan. Tidur seharusnya menjadi proses pemulihan, bukan sekedar rutinitas.Ketika tidur tidak lagi memberi ruang istirahat, tubuh sebenarnya sedang mengirim tanda bahwa ada yang perlu diperbaiki. Dalam situasi tuntutan akademik yang tinggi dan gaya hidup modern, memahami pentingnya kualitas tidur menjadi langkah awal untuk menjaga kesehatan diri. Pada akhirnya, produktivitas bukan hanya soal seberapa lama tubuh kita terjaga, tetapi seberapa baik kita dapat memberi waktu bagi tubuh kita untuk benar-benar istirahat.