Ma’ruf Amin, Ulama dan mantan Wakil Presiden Republik Indonesia (Foto: Kumparan.com)Ma’ruf Amin mengajukan surat pengunduran diri dari jabatan Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (Wantim MUI) sekaligus dari struktur Dewan Syuro Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) langsung menyedot perhatian publik. Nama Ma’ruf Amin bukan sekadar nama tokoh agama, melainkan simbol persilangan antara ulama, negara, dan politik kekuasaan di Indonesia.Secara resmi, alasan yang disampaikan terdengar sederhana: faktor usia dan keinginan untuk mengurangi aktivitas struktural. Ma’ruf Amin memilih istilah uzlah, menepi secara sadar dari jabatan formal. Dalam tradisi Islam, uzlah sering dipahami sebagai upaya menjaga kejernihan batin dan kebijaksanaan, terutama di usia lanjut. Dalam konteks personal, alasan ini masuk akal dan patut dihormati.Namun dalam politik Indonesia, keputusan tokoh sebesar Ma’ruf Amin jarang dibaca secara tunggal. Apakah ini benar-benar murni pilihan personal, atau ada dinamika lain yang belum sepenuhnya terungkap?Figur Besar, Institusi yang BergantungMa’ruf Amin selama puluhan tahun menjadi figur sentral dalam berbagai institusi penting. Dari NU, MUI, hingga puncaknya sebagai Wakil Presiden RI, ia bukan hanya pemegang jabatan, tetapi juga penentu arah. Posisi ini menjadikannya rujukan moral sekaligus simbol legitimasi politik, khususnya bagi kalangan Islam tradisional.Masalahnya, ketika figur terlalu dominan, institusi sering kali tumbuh tidak seimbang. Ketergantungan pada satu tokoh membuat regenerasi kepemimpinan berjalan lambat dan rapuh. Karena itu, pengunduran diri Ma’ruf Amin justru menguji satu hal penting: seberapa kuat MUI dan PKB sebagai institusi, bukan sekadar sebagai panggung figur.Bagi MUI, jabatan Wantim bukan sekadar formalitas. Ia berfungsi sebagai penjaga arah, penimbang kebijakan, sekaligus simbol otoritas keulamaan. Jika proses transisi tidak dikelola secara terbuka dan akuntabel, kekosongan kepemimpinan bisa memicu spekulasi, bahkan konflik internal. Regenerasi memang perlu, tetapi tanpa tata kelola yang jelas, regenerasi bisa berubah menjadi perebutan.PKB dan Tantangan Lepas dari Bayang-bayang UlamaDi PKB, pengunduran diri Ma’ruf Amin dari Dewan Syuro membawa pesan yang lebih politis. Sebagai partai yang lahir dari basis pesantren dan warga NU, PKB selama ini identik dengan figur ulama karismatik. Namun di era politik elektoral yang semakin pragmatis, partai tidak bisa terus-menerus bergantung pada simbol.Pernyataan bahwa Ma’ruf Amin tetap akan membantu PKB secara nonstruktural menunjukkan adanya transisi peran: dari aktor formal menjadi mentor moral. Ini sekaligus sinyal bahwa PKB dituntut lebih mandiri sebagai partai modern yang berbasis gagasan, kaderisasi, dan kerja organisasi, bukan sekadar legitimasi tokoh.Jika PKB gagal melakukan transformasi ini, setiap mundurnya tokoh besar akan selalu dibaca sebagai krisis. Padahal, partai yang matang justru ditandai oleh kemampuannya tetap stabil meski figur sentral menepi.Lebih jauh, langkah Ma’ruf Amin membuka kembali diskusi lama tentang relasi ulama dan kekuasaan. Sejarah Indonesia menunjukkan ulama berperan besar dalam membangun bangsa. Namun dalam praktik kontemporer, keterlibatan ulama dalam politik praktis sering memunculkan dilema: di mana batas antara peran moral dan kepentingan kekuasaan?Ketika ulama terlalu dekat dengan kekuasaan, suara kritis berisiko melemah. Pandangan keagamaan mudah dipersepsikan sebagai pembenaran politik, bukan sebagai rambu etika. Dalam konteks ini, pengunduran diri dari jabatan struktural bisa dibaca sebagai upaya menata ulang jarak yang lebih sehat.Justru di luar struktur formal, otoritas moral ulama sering kali lebih kuat. Tidak terikat jabatan, tidak terbebani loyalitas politik, dan lebih bebas berbicara atas nama kepentingan umat.Antara Fakta dan PrasangkaTentu, publik tidak boleh berhenti bertanya. Namun penting juga membedakan antara analisis kritis dan prasangka. Hingga kini, tidak ada bukti kuat yang menunjukkan bahwa pengunduran diri ini dipicu konflik internal atau tekanan politik tertentu. Membaca keputusan ini sebagai konspirasi tanpa dasar justru memperkeruh ruang publik.Yang lebih mendesak adalah memastikan transparansi. MUI dan PKB perlu menjelaskan secara terbuka mekanisme transisi kepemimpinan dan arah kelembagaan ke depan. Tanpa kejelasan, ruang kosong akan selalu diisi oleh spekulasi.Di tengah budaya politik yang kerap mengagungkan jabatan dan enggan melepas kekuasaan, langkah Ma’ruf Amin justru terasa kontras. Mundur bukan selalu tanda kelemahan. Dalam banyak kasus, mundur justru bentuk tanggung jawab dan kesadaran etis.Kini, makna pengunduran diri ini tidak lagi sepenuhnya berada di tangan Ma’ruf Amin. Ia berada pada cara MUI dan PKB mengelola transisi: apakah menjadikannya momentum penguatan institusi dan regenerasi sehat, atau sekadar pergantian nama tanpa perubahan arah.Bagi publik, peristiwa ini mengingatkan satu hal penting: dalam demokrasi yang sehat, yang harus bertahan bukan figur, melainkan nilai dan sistem yang menopangnya.