Ilustrasi Pemilihan Tidak Langsung. Source: GeminiWacana pemilihan tidak langsung kembali mengemuka sebagai respons atas mahalnya biaya politik, maraknya politik uang, dan meningkatnya polarisasi publik. Sistem ini sering diposisikan sebagai solusi rasional, lebih efisien, dan dianggap mampu memperkuat demokrasi perwakilan. Namun, di balik narasi tersebut, pemilihan tidak langsung menyimpan persoalan serius yang berpotensi mempersempit makna demokrasi itu sendiri.Dalam demokrasi, pemilihan bukan sekadar mekanisme administratif untuk menghasilkan pemimpin. Ia adalah simbol kedaulatan rakyat dan instrumen utama akuntabilitas kekuasaan. Ketika mekanisme ini diubah, dampaknya tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga sosial dan psikologis.Kedaulatan Rakyat yang MenyusutPemilihan tidak langsung memindahkan keputusan paling strategis, yakni penentuan pemimpin eksekutif, dari tangan publik ke tangan segelintir elite politik. Rakyat tetap memilih wakilnya, tetapi pada titik paling menentukan, suara mereka tidak lagi berperan langsung.Situasi ini menciptakan jarak antara pemimpin dan warga. Legitimasi politik tidak lagi bertumpu pada mandat langsung rakyat, melainkan pada kesepakatan politik di antara elite. Dalam jangka panjang, jarak ini berisiko melemahkan rasa memiliki publik terhadap pemerintahan.Efisiensi yang Menguatkan OligarkiArgumen bahwa pemilihan tidak langsung menekan politik uang terdengar masuk akal secara teoritis. Namun dalam praktik, politik uang tidak menghilang. Ia hanya berubah bentuk dan menjadi lebih terpusat. Dengan jumlah pemilih yang terbatas, transaksi politik justru lebih mudah dilakukan dan semakin sulit diawasi publik.Kompetisi gagasan di ruang terbuka perlahan tergeser oleh lobi tertutup, kompromi elite, dan pertukaran kepentingan. Dalam konteks ini, efisiensi bukan melahirkan pemerintahan yang lebih bersih, tetapi memperlancar kerja oligarki.Akuntabilitas yang BergeserPemilihan menentukan kepada siapa pemimpin merasa bertanggung jawab. Dalam pemilihan langsung, pemimpin bergantung pada kepercayaan pemilih. Dalam pemilihan tidak langsung, ketergantungan itu berpindah ke partai, fraksi, atau elite politik yang menentukan akses kekuasaan.Konsekuensinya nyata. Kebijakan publik lebih rentan disandera kepentingan koalisi politik. Ketika kinerja buruk terjadi, rakyat kehilangan instrumen koreksi yang paling efektif, yakni sanksi elektoral langsung.Representasi Bukan LegitimasiSering kali diasumsikan bahwa wakil rakyat dapat sepenuhnya menggantikan suara publik. Asumsi ini problematis. Wakil rakyat dipilih untuk fungsi legislasi dan pengawasan, bukan untuk mengambil alih hak rakyat dalam menentukan pemimpin eksekutif.Ketika fungsi tersebut disatukan, kualitas keduanya justru melemah. Wakil rakyat memikul mandat berlebih, sementara legitimasi pemimpin kehilangan basis langsung dari rakyat.Risiko Apatisme PolitikDampak paling berbahaya dari pemilihan tidak langsung adalah apatisme. Ketika warga merasa suaranya tidak lagi menentukan, partisipasi politik kehilangan makna. Sinisme tumbuh, kepercayaan terhadap demokrasi menurun, dan ruang publik menjadi semakin kosong dari keterlibatan warga.Demokrasi yang kehilangan partisipasi bukan demokrasi yang stabil. Ia hanya tampak tenang, tetapi rapuh di dalam.PenutupPemilihan tidak langsung mungkin menawarkan efisiensi prosedural, tetapi mengorbankan substansi demokrasi. Dalam konteks politik yang masih sarat patronase dan dominasi elite, sistem ini lebih berisiko memperkuat oligarki daripada memperbaiki kualitas kepemimpinan.Masalah demokrasi tidak diselesaikan dengan mengecilkan peran rakyat. Ia hanya bisa diperbaiki dengan memperkuat institusi, meningkatkan integritas politik, dan memperluas partisipasi publik. Tanpa itu, pemilihan tidak langsung adalah langkah mundur yang dibungkus dengan bahasa rasionalitas.