Ilustrasi perempuan menatap langit. Foto: sukiyaki/ShutterstockMasyarakat yang berbeda memandang keheningan dengan cara berbeda, tergantung pada nilai budaya mereka, yang menentukan bagaimana keheningan diartikan. Chinmoku dalam komunikasi Jepang memiliki ciri khas tertentu yang menentukan bagaimana keheningan berfungsi dalam komunikasi di masyarakat Jepang.Chinmoku sendiri terdiri dari dua kanji, yaitu, 沈 dan 黙. 沈 (chin) yang berarti tenggelam, karam, sedangkan, 黙 (moku) yang berarti diam, bungkam. 沈黙 (Chinmoku) berarti diam, bungkam, hening, “silence” dalam bahasa Inggris.Pemaknaan etimologis dari kanji 沈黙 menegaskan bahwa diam dalam budaya Jepang bukanlah kondisi kosong, melainkan keadaan “tenggelam” dalam kesadaran kolektif dan “membungkam” diri demi menyeimbangkan relasi sosial. Diam atau hening ini terjadi dalam komunikasi ketika seseorang tidak memiliki hal yang ingin dikatakan atau sebagai bentuk menghormati perasaan lawan bicara dengan tidak berbicara secara berlebihan untuk mencegah konflik. Hal ini digambarkan dalam pepatah: “Paku yang menonjol akan dipukul masuk” (deru kui wa utareru). Dalam masyarakat Jepang, orang biasanya mengidentifikasi diri terutama sebagai anggota kelompok tertentu, bukan sebagai individu. Ilustrasi Harmonis. Foto: Shutter StockKeheningan berperan penting dalam menciptakan harmoni dan menghindari konflik langsung. Orang yang memaksakan pendapatnya sebelum kelompok mencapai konsensus dianggap egois. Dengan demikian, diam memiliki fungsi simbolik yang jauh lebih kompleks, yaitu menegaskan pentingnya keselarasan, menahan diri dari sikap individualistis, dan menjaga hubungan sosial agar tetap harmonis.Sebaliknya, di Indonesia, diam sering dibicarakan dalam kerangka konsep “malu” dan “budaya diam”. Menurut Roöttger-Rössler (2019), rasa malu di banyak komunitas Indonesia merupakan mekanisme sosial yang kuat untuk menahan ekspresi diri dan mengatur hubungan interpersonal.Namun, berbeda dengan Jepang yang mengidealkan diam sebagai bentuk komunikasi positif; diam di Indonesia sering dipahami sebagai bentuk keterbatasan atau respons terhadap tekanan sosial. Hal ini menunjukkan bahwa diam tidak universal, melainkan dibentuk oleh nilai, sejarah, tekanan sosial, dan konteks budaya masing-masing.Dalam masyarakat Indonesia, diam sering kali hadir bukan sebagai pilihan bebas, melainkan sebagai hasil dari norma yang membatasi ruang untuk menyuarakan pendapat. Diam menjadi bentuk kepatuhan terhadap tatanan sosial yang menekan individu agar tidak menonjol, tidak melawan, atau tidak keluar dari kebiasaan yang berlaku.Ilustrasi foto refleksi. Foto: Priyank Dhami/ShutterstockDalam banyak kasus, diam bukanlah ekspresi kesadaran reflektif, melainkan hasil internalisasi norma yang membatasi ruang kebebasan. Hal ini terlihat, misalnya, dalam interaksi antara generasi muda dan orang tua, antara bawahan dan atasan, atau antara warga dengan aparat negara di mana diam menjadi strategi aman untuk menghindari risiko sosial maupun sanksi simbolik.Di Jepang, diam sering diposisikan secara positif sebagai bagian dari etika komunikasi. Dalam konteks rapat kerja, karyawan junior biasanya lebih banyak diam; bukan karena pasif, melainkan untuk menunjukkan penghormatan terhadap senior.Bentuk estetis diam juga tecermin dalam kesenian tradisional Jepang, seperti teater Noh dan Kabuki, serta dalam praktik shodō (kaligrafi) dan kadō (seni merangkai bunga) di mana hening menjadi ruang kontemplasi yang penting bagi penikmat maupun pelakunya. Namun, mekanisme ini tidak selalu bernilai positif.Penelitian Kashino (2024)—tentang pelecehan seksual dalam dunia kerja Jepang—memperlihatkan bagaimana norma diam dapat berubah menjadi bentuk represi karena banyak korban memilih bungkam demi mempertahankan harmoni kelompok dan menghindari stigma.Ilustrasi perempuan korban kekerasan seksual. Foto: Cat Box/ShutterstockDi Indonesia, diam juga memiliki lapisan makna yang serupa dengan Jepang. Dalam kerangka positif, diam sering dipahami sebagai tanda sopan santun dan pengendalian diri. Akan tetapi—sebagaimana di Jepang—diam juga dapat berfungsi secara negatif dengan memperkuat ketidakadilan sosial. Studi Psychometrics of Social Norm and Beliefs on Gender-Based Violence in Indonesia (Budury et al., 2021) menunjukkan bahwa norma sosial sering mendorong perempuan korban kekerasan untuk tidak bersuara karena takut dianggap melanggar kesopanan atau membawa aib bagi keluarga.Hal ini diperkuat dalam 40 Years of Silence: Generational Effects of Political Violence and Childhood Trauma in Indonesia (Lemelson et al, 2021), yang menggambarkan bagaimana diam menjadi mekanisme bertahan hidup dalam menghadapi represi politik maupun trauma kolektif.Ilustrasi self healing. Foto: U__Photo/ShutterstockDari kedua konteks tersebut, terlihat bahwa baik Jepang maupun Indonesia memiliki dua lapisan pemaknaan terhadap diam. Lapisan pertama memandang diam sebagai nilai kultural yang menjaga harmoni, kesopanan, dan relasi sosial.Lapisan kedua menempatkan diam sebagai bentuk represi yang menormalkan ketidakadilan dan melemahkan keberanian individu untuk bersuara.Oleh karena itu, memahami budaya diam secara kritis menjadi penting agar tidak terjebak dalam kesalahpahaman antarbudaya maupun dalam penerimaan pasif terhadap ketidakadilan sosial.