Dadu Gurak dalam Bingkai Ritual Adat

Wait 5 sec.

Permainan dadu gurak umum dijumpai saat Wara (upacara kematian) di Barito Timur. (Ilustrasi/Fahruddin Fitriya)Kopi di Tamiang Layang, Barito Timur, punya cara unik menghitamkan malam: pekat, manis, dan ampasnya menuntut kesabaran yang sama besarnya dengan menghadapi birokrasi perizinan.Di teras panggung yang kayunya sudah kenyang asam garam zaman, saya duduk bersila menghadap Pak Mantir. Hubungan kami sudah melampaui sekat formalitas kaku wartawan dan narasumber.Beliau bukan lagi sekadar lumbung kutipan berita; beliau adalah sosok ayah yang saya temukan di sela-sela liputan keras perantauan. Pak Mantir tipe orang yang akan bertanya, “Sudah makan, Nak?” sebelum saya sempat bertanya, “Bagaimana kronologinya, Pak?”. Sebuah perhatian kecil yang seringkali luput dari kejamnnya deadline.Malam itu, asap rokok kretek Pak Mantir mengepul malas, membentuk siluet abstrak di udara, seolah sedang mengajukan dissenting opinion [1] atas polusi udara di Ibu Kota. Suasana hening, hanya suara jangkrik yang terdengar seperti sedang mengajukan mosi tidak percaya. [2]“Pak,” buka saya, mencoba memecahkan keheningan dengan manuver investigasi tipis-tipis, layaknya agen rahasia yang salah kostum pakai kemeja flanel. “Sebenarnya, legal standing [3] perjudian di acara adat ini gimana, sih? Kalau pakai kacamata KUHP, ini jelas masuk unsur Pasal 303. Ancaman penjaranya bisa bikin orang tobat sambel.”Saya sengaja melempar istilah hukum. Bagi jurnalis yang biasa ‘nge-pos’ bolak-balik Polda sampai pengadilan, melihat dadu gurak [4] diputar di tengah upacara sakral itu rasanya seperti melihat contradictio in terminis: [5] ibadah kok judi? Itu seperti melihat Sinterklas naik ojek online.Pak Mantir terkekeh. Tawanya berat, khas orang yang sudah kenyang makan asam garam kehidupan, bukan asam lambung karena kebanyakan ngopi dan begadang mengejar headline seperti saya. Dia menuangkan sedikit kopinya ke lepek, isyarat kearifan lokal yang menolak kepraktisan gelas.“Nak,” katanya lembut, panggilan yang selalu berhasil melunturkan ego pers saya yang sok idealis. “Kamu ini bicaranya hukum negara terus. Di sini, di tanah ini, hukum adat itu napas. Negara itu baju. Kadang bajunya kekecilan, jadi sesak kalau dipakai.”Pak Mantir memperbaiki posisi duduknya. Wajahnya berubah serius, seolah sedang memberikan keterangan pers eksklusif yang hanya boleh saya kutip on the record. [6]“Dulu, leluhur kita tidak kenal yang namanya judi buat kaya,” ucap Pak Mantir. “Dalam ritual besar seperti Wara (upacara kematian) atau Balian, [7] kita butuh orang banyak. Kita butuh keramaian. Roh-roh leluhur itu senang kalau cucu-cicitnya berkumpul, bergembira. Semakin ramai, semakin sah acaranya.”“Jadi, ini soal crowd control [8] ya, Pak? Manajemen massa?” tanya saya sambil mencatat dalam ingatan, mencoba melabeli kearifan lokal dengan istilah manajerial Jakarta.“Ini soal Hante,” [9] koreksinya cepat, menggunakan istilah lokal untuk pesta besar atau keramaian agung. “Bayangkan, keluarga yang berduka atau yang punya hajat harus memotong kerbau, babi, ayam. Biayanya mahal. Siapa yang bantu? Ya orang-orang yang datang itu.”Pak Mantir menjelaskan filosofi yang sering luput dari kacamata hukum positif yang kaku, yang cuma kenal debit dan kredit, bukan kasih dan bakti. Dalam tradisi lama, permainan—yang kini kita sebut judi—adalah mekanisme sosial. Uang yang diputar di sana bukan semata-mata kapitalisme meja judi, melainkan bentuk gotong royong terselubung.“Ada jatah untuk tuan rumah. Cukai, kalau bahasamu,” lanjut Pak Mantir. “Uang itu dipakai buat beli beras, gula, kopi, buat kasih makan orang sekampung yang datang melayat selama berhari-hari. Supaya keluarga tidak bangkrut sendirian hanya karena ingin menghormati jenazah.”Saya manggut-manggut. Dalam hati saya membatin, ini konsep restorative justice [10] yang sangat pragmatis. Pelakunya senang (karena main), korbannya (tuan rumah) terbantu. Tidak ada mens rea (niat jahat) untuk memperkaya diri sendiri secara ilegal, pikir saya, mencoba mencari celah angle berita andai kasus ini meledak di media nasional.“Tapi Pak,” sanggah saya, naluri skeptis wartawan saya menyala, seperti lampu strobo yang tiba-tiba hidup. “Zaman sekarang kan beda. Orang datang bawa modal, pulang pengen bawa motor baru. Itu bukan gotong royong, itu unjust enrichment (memperkaya diri secara tidak sah).”Pak Mantir menghela napas panjang. Asap rokoknya kali ini terasa lebih melankolis, seperti awan mendung yang siap menangis. Dia mengakui, ada degradasi nilai yang terjadi.“Itulah yang Bapak sedihkan,” suaranya merendah. “Sekarang, banyak orang datang bukan karena Hiyang (leluhur), tapi karena uang. Dulu, dadu gurak diputar supaya orang tidak mengantuk menjaga jenazah. Sekarang? Jenazahnya belum dimakamkan, orangnya sudah ribut soal utang piutang di meja judi.”Saya tersenyum kecut. Ternyata, Pak Mantir pun menyadari adanya abuse of power [11] dalam praktik adat ini. Adat seringkali dijadikan tameng, sebuah immunity rights [12] sepihak agar polisi tidak membubarkan lapak, seolah adat adalah jaket tebal yang kebal peluru pasal.“Mereka berlindung di balik kain adat untuk memuaskan nafsu duniawi,” sambung Pak Mantir. “Filosofinya sudah luntur. Yang tinggal hanya kulitnya. Kalau dulu tujuannya Mambangun (membangun kebersamaan), sekarang tujuannya Mangaut (mengeruk keuntungan).”Malam semakin larut. Kopi di gelas kami tinggal separuh, senasib dengan filosofi adat yang mulai terkikis zaman. Diskusi ini menyadarkan saya: hukum negara seringkali gagap membaca konteks, sementara hukum adat mulai gagap menghadapi modernitas dan keserakahan manusia.“Jadi, kalau besok ada razia, Bapak mau bilang apa sama Polisi? Saya bisa kutip ini on the record?” [13] goda saya. “Jangan lupa, Pak, fiksi hukum [14] menganggap semua orang tahu undang-undang. Bapak nggak bisa bilang 'saya tidak tahu Pasal 303'.”Pak Mantir menepuk pundak saya dan berucap, “Bapak akan bilang sama Polisinya: 'Pak, silakan tangkap kalau ini murni kejahatan. Tapi kalau ini cara kami menghibur keluarga yang sedang menangis, tolong pakai rasa, jangan cuma pakai pasal'.”Skakmat! Itu adalah pembelaan (pledoi) lisan terbaik yang pernah saya dengar. Tidak ada yurisprudensi [15] dari Mahkamah Agung yang bisa mengalahkan kearifan lokal yang diucapkan dengan ketulusan seorang tetua yang hatinya remuk melihat tradisi luhur tercemar.Saya menyeruput sisa kopi terakhir. Di Barito Timur, di teras rumah ayah angkat saya ini, saya belajar bahwa batas antara ‘kearifan’ dan ‘pelanggaran’ terkadang setipis kulit bawang. Dan sayangnya, tidak ada mata kuliah Jurnalistik ataupun Hukum yang mengajarkan cara menghukum niat baik yang salah jalan.“Sudah, jangan bahas pasal terus. Kamu itu kayak jaksa yang salah masuk kantor berita,” tutup Pak Mantir sambil tertawa. “Ayo masuk, Bapak sudah siapkan kamar. Besok kita ke ladang.”Dan malam itu, kartu pers dan KUHP saya lipat rapi, saya simpan di dalam tas. Di sini, di rumah Pak Mantir, hukum yang berlaku adalah hukum kasih sayang dan kopi yang tak boleh dingin.Catatan kaki;[1] Dissenting opinion: Pendapat resmi dari hakim yang tidak setuju dengan putusan mayoritas majelis.[2] Mosi Tidak Percaya: Bentuk penolakan atau keberatan yang sah.[3] Legal standing: Kedudukan hukum adalah hak seseorang atau badan untuk mengajukan gugatan ke pengadilan.[4] Dadu gurak: Istilah lokal, umum digunakan di wilayah Kalimantan Tengah dan sekitarnya, untuk menyebut jenis permainan judi yang menggunakan dadu.[5] Contradictio in terminis: Frasa bahasa Latin yang secara harfiah berarti kontradiksi dalam istilah atau pertentangan dalam kata-kata.[6] On the record: Istilah dalam jurnalisme yang berarti informasi atau pernyataan dari narasumber dapat dipublikasikan dengan menyebutkan nama atau identitas sumbernya secara jelas.[7] Balian: Serangkaian ritual atau tarian sakral yang dilakukan oleh suku Dayak dengan tujuan tertentu untuk meminta berkah dari Ranying Hatalla (Tuhan Yang Maha Esa dalam agama Kaharingan).[8] Crowd control: Manajemen logistik dan finansial dari keramaian agung atau pesta besar yang dihadiri oleh banyak orang.[9] Hante: Istilah lokal (umum di Kalimantan) untuk pesta besar atau keramaian agung.[10] Restorative justice: Penyelesaian masalah di luar hukum formal yang justru memperkuat ikatan komunitas melalui saling menguntungkan.[11] Abuse of power: Penyalahgunaan legitimasi adat untuk kepentingan pribadi, yang menyimpang dari tujuan luhur tradisi yang sebenarnya.[12] Immunity rights: (Hak imunitas) merupakan klaim perlindungan sepihak berdasarkan hukum adat untuk menghindari penegakan hukum nasional atau intervensi polisi.[13] Off the record: Kebalikan dari On the record.[14] Fiksi hukum: Asas formal yang menganggap setiap warga negara tahu hukum, sehingga ketidaktahuan bukan alasan untuk bebas tuntutan pidana.[15] Yurisprudensi: Putusan hakim terdahulu yang telah berkekuatan hukum tetap dan kemudian diikuti oleh hakim lain dalam kasus yang serupa.