Overmultitasking: Ketika Terlalu Sibuk Justru Membuat Kita Kehilangan Arah

Wait 5 sec.

kesibukan masyarakat indonesia saat bekerja , sumber : foto aldridge christian seubelanKita hidup di zaman di mana kecepatan menjadi kebajikan. Kalender yang penuh dianggap tanda dedikasi. Notifikasi yang tak pernah berhenti dianggap bukti relevansi. Bahkan rasa lelah sering dipakai sebagai identitas: "Aku capek, berarti aku penting." Setelah pandemi berakhir, perilaku kita pun berubah, kita merasa semua bisa di kerjakan secara paralel karena perkembangannya teknologi seperti online meeting maupun AI, kita juga merasa jika tidak multitasking, maka kita akan ketinggalan dengan yang lain.Namun di balik semua itu, ada kegelisahan yang jarang dibicarakan. Banyak orang tidak benar-benar kelelahan karena pekerjaan yang berat, melainkan karena hidup yang tidak pernah diberi ruang untuk bernapas. Hari-hari terasa penuh, tetapi hampa. Banyak aktivitas, sedikit kehadiran. Banyak pencapaian kecil, namun kehilangan rasa arah.Overmultitasking lahir dari dunia yang tidak memberi kita waktu untuk selesai dengan satu hal sebelum diminta berpindah ke hal lain. Ia bukan sekadar kebiasaan kerja, tetapi refleksi budaya - budaya yang mengagungkan kecepatan lebih tinggi daripada proses maupun orang tersebut.Dari Multitasking ke Overmultitasking , Saat Otak Dipaksa Melewati BatasMultitasking pernah dijual sebagai skill unggulan. Resume modern bahkan pernah menjadikannya nilai tambah. Tapi sains berbicara sebaliknya. Otak manusia tidak dirancang untuk fokus pada banyak hal sekaligus. Yang terjadi bukan multitasking, melainkan continuous partial attention - perhatian yang terpecah dan tidak pernah utuh.Penelitian dari University of California Irvine menunjukkan bahwa dibutuhkan rata-rata 23 menit untuk kembali fokus setelah satu distraksi. Ketika distraksi datang puluhan kali sehari, fokus tidak pernah benar-benar pulih. Microsoft Work Trend Index (2024) mencatat bahwa pekerja modern menerima lebih dari 250 notifikasi per hari dan berpindah konteks kerja setiap 2–4 menit.Inilah titik ketika multitasking berubah menjadi overmultitasking: kondisi di mana otak dipaksa bekerja terus-menerus tanpa kesempatan menyelesaikan satu siklus berpikir secara mendalam. Akibatnya bukan hanya penurunan produktivitas, tetapi penurunan kualitas keputusan, empati, dan kreativitas.Overmultitasking sebagai Gejala Krisis PersonalJika ditarik lebih dalam, overmultitasking bukan hanya masalah manajemen waktu, tetapi krisis personal. Kesibukan sering menjadi cara manusia menghindari pertanyaan besar tentang hidup. Ketika kita berhenti, kita dipaksa berhadapan dengan kelelahan, ketidakpastian, dan mungkin kekecewaan terhadap diri sendiri.Maka kita terus bergerak. Terus mengisi. Terus menunda keheningan. Padahal keheningan sering kali bukan musuh, melainkan cermin. Dunia modern mengajarkan kita untuk terus berlari, tetapi jarang mengajarkan ke mana sebenarnya kita menuju.Tren Dunia Kerja: Ketika Kesibukan Tidak Lagi Sama dengan ValueSecara global, dunia kerja sedang berada dalam paradoks. Di satu sisi, teknologi menjanjikan efisiensi. Di sisi lain, justru menciptakan tuntutan kehadiran konstan. Slack, Teams, WhatsApp, email, semuanya hadir bersamaan, tanpa jeda yang jelas.Namun tren mulai bergeser. Perusahaan-perusahaan progresif mulai menyadari bahwa produktivitas sejati lahir dari kejelasan, bukan kesibukan. Muncul pendekatan seperti deep work culture, asynchronous collaboration, dan pembatasan meeting. Google , misalnya, mulai menguji kebijakan kerja yang memberi ruang fokus tanpa gangguan.Meski demikian, realita di banyak organisasi masih tertinggal. Budaya "selalu online" masih dianggap loyalitas. Padahal, semakin tinggi posisi seseorang, semakin besar kebutuhan untuk berpikir strategis dan semakin berbahaya jika ia terjebak dalam overmultitasking.Dampak Nyata: Dari Burnout hingga Decision FatigueWorld Health Organization menyebut burnout sebagai fenomena pekerjaan global. Namun yang sering luput adalah akar penyebabnya. Banyak orang burnout bukan karena volume kerja semata, tetapi karena otak mereka tidak pernah diberi kesempatan untuk memulihkan diri.Deloitte Millennial & Gen Z Survey (2024) menunjukkan bahwa mayoritas profesional merasa kelelahan mental kronis akibat tekanan konstan untuk responsif. Overmultitasking juga memicu decision fatigue, kondisi di mana kemampuan mengambil keputusan menurun drastis karena terlalu banyak keputusan kecil yang harus diambil setiap hari.Dalam jangka panjang, ini berdampak pada kepemimpinan, relasi, dan bahkan spiritualitas. Orang menjadi reaktif, bukan reflektif.Fokus Menjadi Hal Yang Penting Saat IniDi tengah dunia yang semakin bising, fokus justru menjadi keunggulan yang langka. Profesional yang mampu menjaga kejernihan berpikir, menetapkan batas, dan bekerja dengan kedalaman akan jauh lebih bernilai dibanding mereka yang sekadar sibuk. Organisasi masa depan tidak lagi hanya mencari kecepatan, tetapi clarity under pressure. Dan clarity tidak lahir dari overmultitasking, melainkan dari keberanian untuk berkata "cukup".Solusi overmultitasking bukanlah menambah tools atau sistem baru, melainkan mengembalikan ritme hidup yang manusiawi. Ritme yang memberi ruang untuk fokus, istirahat, dan refleksi.Manusia tidak dirancang untuk terus aktif tanpa henti. Bahkan dalam alam, ada musim kerja dan musim beristirahat. Menghargai ritme bukan tanda kelemahan, melainkan kebijaksanaan.Diam yang Menguatkan, Bukan MelemahkanMazmur 46:10 mengingatkan, "Berdiam dirilah dan ketahuilah bahwa Akulah Allah." Diam dalam konteks ini bukan pasif, melainkan aktif secara rohani. Diam berarti menyerahkan kontrol, mengakui keterbatasan, dan mempercayai bahwa hidup tidak harus digerakkan sepenuhnya oleh usaha manusia.Yesus sendiri sering menarik diri dari keramaian untuk berdoa. Jika Sang Guru memilih jeda, mengapa kita merasa harus selalu bergerak?Mungkin dunia akan terus menuntut lebih cepat, lebih banyak, lebih responsif. Tapi kebijaksanaan sering muncul ketika kita berani berjalan melawan arus.Pertanyaannya bukan lagi, "Seberapa banyak yang bisa aku lakukan?"Melainkan, "Apa yang sungguh perlu aku lakukan dengan utuh?"Overmultitasking mengajarkan kita satu hal penting: hidup bukan tentang mengisi setiap detik, tetapi tentang menghadirkan diri sepenuhnya di momen yang tepat. Dan sering kali, di situlah damai dan makna ditemukan.