IPK Tinggi, Mental Rapuh: Ada yang Salah dengan Cara Kita Mengukur Sukses

Wait 5 sec.

sumber gambar dari AIDi lingkungan kampus, satu pertanyaan hampir selalu muncul di awal perkenalan: *“IPK kamu berapa?”*Seolah-olah satu angka sudah cukup untuk merangkum seluruh perjalanan, usaha, dan nilai seseorang. Kita tumbuh dalam sistem yang meyakinkan bahwa IPK tinggi adalah tiket menuju masa depan yang aman. Namun, ironisnya, di balik transkrip nilai yang rapi, banyak mahasiswa justru menyimpan kegelisahan yang tidak pernah tercatat.Saya melihat sendiri—dan mungkin juga merasakannya—bagaimana IPK perlahan berubah dari alat evaluasi akademik menjadi tolok ukur harga diri. Saat nilainya tinggi, kita merasa layak dan aman. Namun, ketika turun sedikit saja, muncul rasa gagal, cemas, bahkan malu. Seakan-akan keberhasilan hidup bisa runtuh hanya karena satu semester yang tidak berjalan sempurna.Padahal, sejak awal IPK diciptakan untuk mengukur capaian akademik, bukan ketahanan mental, empati, atau kemampuan bertahan ketika hidup tidak berjalan sesuai rencana. Sayangnya, sistem pendidikan kita terlanjur menyempitkan makna sukses menjadi sesuatu yang bisa dihitung dan dibandingkan. Akibatnya, proses belajar perlahan kehilangan makna. Yang dikejar bukan lagi pemahaman, melainkan angka.Tekanan ini tidak datang dari kampus semata. Lingkungan sekitar turut berperan. Orang tua, dengan niat baiknya, sering kali menaruh harapan besar pada nilai. Masyarakat pun memuja gelar dan IPK sebagai simbol keberhasilan. Tanpa disadari, kita menciptakan ruang yang minim toleransi terhadap kegagalan. Gagal bukan lagi bagian dari proses belajar, melainkan sesuatu yang dianggap memalukan dan harus disembunyikan.Tidak mengherankan jika banyak mahasiswa dengan IPK nyaris sempurna justru merasa kosong. Mereka terbiasa memenuhi standar, tetapi jarang diberi ruang untuk mengenali diri sendiri. Kelelahan dianggap hal biasa, burnout dianggap wajar, selama nilai tetap berada di zona aman. Mental yang rapuh seolah menjadi harga yang harus dibayar demi predikat “berprestasi”.Yang sering luput adalah kenyataan bahwa kehidupan setelah lulus tidak berjalan dengan sistem penilaian seperti di kampus. Dunia nyata tidak menanyakan IPK setiap hari, tetapi menuntut kemampuan beradaptasi, berkomunikasi, serta bangkit setelah gagal. Nilai-nilai ini tidak tercantum dalam transkrip akademik, tetapi justru sangat menentukan bagaimana seseorang bertahan dan berkembang.Saya tidak mengatakan bahwa IPK tidak penting. Ia tetap relevan dan layak diperjuangkan. Namun, ketika IPK dijadikan satu-satunya definisi sukses, kita sedang menciptakan generasi yang cerdas secara akademik, tetapi rapuh secara emosional. Kita berisiko menghasilkan lulusan yang takut salah, enggan mencoba hal baru, dan terus dihantui rasa tidak cukup.Sudah saatnya kita mengubah cara pandang. Sukses seharusnya tidak mengorbankan kesehatan mental. Pendidikan semestinya membantu manusia bertumbuh secara utuh, bukan sekadar unggul di atas kertas. Kampus, keluarga, dan masyarakat perlu mulai menghargai proses, bukan hanya hasil.Mungkin keberhasilan sejati bukan tentang seberapa tinggi IPK yang kita raih, melainkan seberapa utuh kita menjalani hidup setelahnya. Jika sebuah sistem mampu menghasilkan angka yang indah, tetapi meninggalkan manusia yang lelah dan kehilangan arah, maka ada yang perlu kita pertanyakan—bukan pada mahasiswanya, melainkan pada cara kita mendefinisikan sukses itu sendiri.