Saat Cara Perempuan Mencintai Disebut Berlebihan

Wait 5 sec.

Sumber dari AIDi banyak relasi, perempuan tidak pernah benar-benar berada di posisi aman. Ketika mencintai sepenuh hati, mereka dituduh berlebihan. Namun ketika memilih diam dan menjaga jarak, mereka dicap tidak peduli. Di antara dua label itu, perempuan dipaksa terus menyesuaikan diri bukan demi relasi yang sehat, melainkan demi kenyamanan orang lain.Istilah “berlebihan” terdengar sederhana, bahkan seolah netral. Namun dalam praktiknya, kata ini kerap digunakan sebagai alat untuk menghakimi cara perempuan merasakan, mengekspresikan, dan memperjuangkan cintanya. Ia bukan sekadar penilaian, melainkan penertiban emosional, sebuah cara halus untuk mengatakan bahwa perasaan perempuan terlalu banyak, terlalu dalam, dan terlalu merepotkan.Dalam keseharian, tudingan ini hadir dalam berbagai bentuk. Perempuan yang peduli dianggap posesif. Mereka yang bertanya tentang masa depan dinilai menuntut. Perempuan yang menginginkan kejelasan disebut tidak sabar. Bahkan kesedihan dan kecemasan pun sering direduksi sebagai drama. Seolah-olah cinta hanya boleh hadir selama ia tidak mengganggu ritme dan kebebasan pihak lain.Padahal, cara perempuan mencintai sering kali berangkat dari keterlibatan emosional yang utuh. Banyak perempuan mencintai dengan perhatian, konsistensi, dan keinginan untuk membangun kedekatan yang aman. Mereka tidak hanya mencintai sebagai perasaan, tetapi juga sebagai tanggung jawab. Dalam relasi, perempuan kerap mengambil peran sebagai penjaga emosi, perawat luka, dan penopang stabilitas kerja yang melelahkan, tetapi jarang dihitung sebagai kontribusi.Ironisnya, kerja emosional inilah yang sering menjadi sumber masalah. Ketika cinta perempuan mulai membutuhkan timbal balik kehadiran yang konsisten, komunikasi yang jujur, atau komitmen yang jelas ia dianggap terlalu berat. Pada titik ini, cinta tidak lagi dirayakan, melainkan dihindari. “Berlebihan” pun menjadi dalih untuk menjauh tanpa harus bertanggung jawab.Budaya patriarkal turut memperkuat ketimpangan ini. Perempuan dibesarkan untuk peka, empatik, dan peduli terhadap perasaan orang lain. Namun di saat yang sama, mereka diharapkan tetap rasional, tenang, dan tidak emosional. Kontradiksi ini membuat perempuan berada dalam jebakan sosial, diminta merasakan lebih, tetapi dihukum ketika perasaannya terlihat.Akibatnya, ekspresi emosi perempuan sering kali tidak dianggap sah. Tangis dipandang sebagai kelemahan. Amarah dicurigai sebagai ketidakstabilan. Kecemasan dianggap berlebihan. Label-label ini bukan hanya meremehkan pengalaman emosional perempuan, tetapi juga membangun narasi bahwa perasaan perempuan selalu perlu dikoreksi, diredam, atau disederhanakan.Dalam relasi yang timpang, istilah “berlebihan” jarang muncul ketika cinta perempuan menguntungkan. Ia muncul ketika cinta itu mulai meminta ruang, kejelasan, dan keseriusan. Dengan kata lain, “berlebihan” bukan soal kadar cinta, melainkan soal siapa yang merasa terganggu. Ketika perempuan berhenti menjadi penyesuai, label itu pun digunakan sebagai alat kontrol.Dampaknya tidak kecil. Banyak perempuan tumbuh dengan kebiasaan meragukan emosinya sendiri. Mereka belajar meminta maaf atas perasaan yang seharusnya sah. Mereka menahan tangis, mengecilkan kebutuhan, dan membungkam luka semata-mata agar tidak dicap terlalu sensitif. Dalam jangka panjang, relasi semacam ini tidak hanya melukai, tetapi juga mengikis harga diri.Cinta lalu dipahami secara keliru, bukan sebagai ruang aman untuk tumbuh bersama, melainkan sebagai arena kompromi sepihak. Perempuan diminta mencintai dengan sepenuh hati, tetapi tidak boleh menuntut apa pun sebagai balasan. Ketika cinta menjadi sepihak seperti ini, yang disebut berlebihan sebenarnya bukan perasaan, melainkan ketimpangan.Padahal, intensitas emosi bukanlah musuh dari kedewasaan. Relasi yang dewasa bukan relasi yang sunyi dari perasaan, melainkan relasi yang mampu menampung emosi tanpa menghakimi. Cinta yang sehat tidak meminta seseorang untuk terus menyesuaikan diri, melainkan memberi ruang agar kedua pihak dapat hadir secara utuh.Sudah saatnya cara pandang ini digeser. Kita perlu berhenti memaknai cinta dari seberapa pandai seseorang menahan diri, dan mulai menilainya dari seberapa adil relasi tersebut memperlakukan emosi. Perempuan tidak mencintai secara berlebihan, merekalah yang selama ini diminta mencintai dalam batas yang ditentukan orang lain.Menyebut cara perempuan mencintai sebagai berlebihan tanpa memahami konteksnya hanya akan melanggengkan ketimpangan emosional. Yang perlu dikoreksi bukanlah kedalaman cinta perempuan, melainkan standar relasi yang terus memihak pada kenyamanan sepihak. Sebab cinta, pada hakikatnya, tidak pernah berlebihan yang sering berlebihan adalah tuntutan agar perempuan terus mengecilkan dirinya demi dianggap wajar.