Ilustrasi: Melaporkan protes politik dengan smartphone lewat medsos menembus dunia. (Foto: Yousef Salhamoud, under the Unsplash License)Kemajuan teknologi—yang semula diyakini menjadi alat pembebasan dan perluasan ruang partisipasi publik—kini menghadirkan paradoks besar bagi dunia demokrasi. Di satu sisi, teknologi digital memperluas akses informasi dan membuka peluang bagi masyarakat untuk bersuara. Namun di sisi lain, ia juga menimbulkan distorsi baru terhadap cara manusia memahami realitas politik.Thomas B. Edsall dalam tulisannya di The New York Times (14 Oktober 2025) menyoroti bagaimana bukan hanya media sosial, melainkan juga kecerdasan buatan (AI) yang mana AI telah mengubah pola komunikasi publik, akses terhadap informasi, serta cara opini dibentuk dan dipertahankan. Ia menyebut bahwa kombinasi antara kecepatan informasi, algoritma cerdas, dan perilaku pengguna yang impulsif menciptakan ruang politik yang semakin rapuh.Dalam konteks ini, media sosial menjadi laboratorium besar bagi polarisasi. Pesan-pesan politik kini tidak lagi disebarkan melalui diskursus panjang, tetapi lewat potongan video singkat, meme, dan narasi emosional yang viral. Informasi yang dangkal sering kali mengalahkan analisis mendalam. Hasilnya, masyarakat yang hidup dalam arus informasi fragmentaris dan mudah diprovokasi.Ilustrasi informasi digital. Foto: Shutter StockFenomena “gelembung informasi” memperparah keadaan. Algoritma media sosial bekerja seperti cermin yang hanya memantulkan apa yang ingin dilihat penggunanya. Seseorang tidak lagi diuji oleh perbedaan pandangan, tetapi dikurung dalam ruang yang memperkuat keyakinannya sendiri. Dari sinilah bias konfirmasi tumbuh subur dan perdebatan publik kehilangan esensi rasionalnya.Thomas B. Edsall dalam esainya “The Rise of the Smartphone and the Fall of Western Democracy”, The New York Times, 14 Oktober 2025, menegaskan bahwa krisis ini bukan sekadar persoalan komunikasi digital, melainkan ancaman langsung terhadap fondasi demokrasi Barat. Ia melihat bagaimana kecepatan teknologi melampaui kemampuan institusi politik untuk beradaptasi. Ketika lembaga legislatif, pemilu, dan media tradisional kehilangan kepercayaan publik, legitimasi politik pun runtuh dari dalam.Penurunan kepercayaan ini diperparah oleh membanjirnya “narasi alternatif” yang tak selalu berdasar fakta. Di era pascakebenaran, yang penting bukan apa yang benar, melainkan apa yang terasa benar bagi kelompok tertentu. Politik menjadi ajang kompetisi emosi, bukan argumentasi. Demokrasi pun kehilangan satu unsur paling vitalnya: rasionalitas publik.Ilustrasi media digital. Foto: sdecoret/ShutterstockSosiolog Jürgen Habermas, dalam teori “Public Sphere”-nya, menjelaskan bahwa demokrasi hanya dapat bertahan bila warga negara memiliki ruang diskursif yang sehat untuk bertukar gagasan secara terbuka. Namun di era digital, ruang publik itu digantikan oleh algoritma yang memecah, bukan menyatukan. Pandangan Habermas ini menemukan relevansinya dalam apa yang kini terjadi di Barat, di mana percakapan publik justru dikendalikan oleh mesin yang bekerja di balik layar.Edsall juga menyoroti sisi kultural dari disrupsi ini. Teknologi, katanya, memperkuat pertarungan nilai: identitas, ras, nasionalisme, dan agama. Isu-isu yang seharusnya dibicarakan dengan empati kini dijadikan bahan bakar politik populis. Dengan bantuan media sosial, isu tersebut menyebar dengan kecepatan yang menakjubkan dan mengguncang tatanan sosial yang sudah rapuh.Polarisasi ini menjadi lahan subur bagi pemimpin populis yang pandai memainkan emosi massa. Donald Trump, misalnya, adalah contoh bagaimana politik digital menciptakan figur karismatik yang hidup dari kegaduhan. Dengan smartphone, setiap orang bisa merasa dan menjadi bagian dari “gerakan”, tanpa perlu memahami isi gerakan itu sendiri.Mengabadikan sejarah demokrasi Abraham Lincoln di Monumen Lincoln Memorial dengan smartphone. (Foto: Jp Valery, under the Unsplash License)Dalam konteks teori komunikasi politik, fenomena ini sejalan dengan pandangan Manuel Castells dalam The Network Society, yang menyebut bahwa kekuasaan kini berpindah dari institusi ke jaringan. Siapa yang menguasai arus informasi, dialah yang menguasai opini publik. Demokrasi yang dulunya berdiri di atas deliberasi rasional kini bergeser menjadi demokrasi algoritmik.Implikasinya bagi praktik demokrasi Barat sangat serius. Kecepatan teknologi menciptakan kelelahan politik dan mempersempit ruang refleksi publik. Partai politik kehilangan peran sebagai jembatan ideologi, media kehilangan fungsi verifikatif, sementara warga kehilangan kepercayaan terhadap proses representasi. Hasilnya adalah stagnasi politik dan meningkatnya sinisme terhadap demokrasi.Apakah demokrasi Barat bisa bertahan dalam era smartphone ini? Edsall tidak memberikan jawaban pasti, tetapi pertanyaannya mengandung pesan mendalam: demokrasi akan melemah jika masyarakat tidak mampu menyeimbangkan kebebasan digital dengan tanggung jawab sosial. Teknologi tidak salah; yang bermasalah adalah cara manusia menggunakannya tanpa kesadaran etis dan kritis.Ilustrasi bermain Smartphone. Foto: DisobeyArt/ShutterstockDari situ, ada pelajaran penting bagi demokrasi Indonesia. Negara ini juga tengah menghadapi banjir informasi, polarisasi identitas, dan politik digital yang penuh emosi. Jika kita tidak segera membangun literasi digital yang kuat serta memperkuat media independen dan ruang publik yang sehat, demokrasi kita bisa jatuh ke jurang yang sama seperti yang kini dihadapi Barat.Maka, tantangan demokrasi abad ke-21 bukan lagi pada pemilu yang curang atau partai yang korup, melainkan pada kemampuan warga negara berpikir kritis di tengah lautan informasi palsu. Demokrasi hanya akan hidup jika warganya mampu membedakan antara kebebasan berbicara dan kebebasan untuk menyesatkan.Pada akhirnya, masa depan demokrasi—baik di Barat maupun di Indonesia—terletak di ujung jari kita sendiri. Smartphone yang kita genggam bisa menjadi alat pembebasan, atau sebaliknya, pintu kejatuhan. Pilihannya tergantung pada seberapa bijak kita menggunakannya.