Foto Dokumentasi PribadiAkhir-akhir ini dunia pendidikan sedang tidak baik-baik saja. Sebut saja misalnya tentang anak yang merokok di sekolah. Belum selesai masalah rokok, kita sudah dihadapkan dengan pemberitaan yang kesannya menyudutkan sebuah institusi bernama pesantren. Sikap dan tindak laku santri dianggap media sebuah tindakan yang terkesan feodal.Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, menjelaskan bahwa pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan, keterampilan, Kesehatan jasmani dan rohani, dan rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan (Mahmudi, 2022).Untuk membentuk kepribadian yang berbudi pekerti luhur tentu bukan perkara yang mudah. Di dalamnya terdapat sebuah proses yang panjang dan tidak instan. Guru menampar murid karena merorok atau seorang santri yang mencium tangan kiai bukan merupakan tindakan yang aneh seperti feodal dan kekerasan. Namun bentuk proses penciptaan manusia-manusia yang berbudi luhur.Proses-proses ini perlu diterapkan terus menerus sebagai bagian pembiasaan bagi siswa hingga ke masa selanjutnya. Melihat proses itu, saya jadi teringat apa yang ditulis oleh sastrawan Mahbub Djunaidi berjudul “Sogok” yang dimuat di Kompas 5 Juli 1987, “SMA Jalan Budi Utomo Jakarta tahun 50-60-an semua muridnya bersepeda. Tak peduli anak Perdana Menteri Natsir, Menteri Dalam Negeri Moh. Roem, Menteri Pertahanan Sarjan, Mendikbud Priyono , Menteri Agama Saifudin Zuhri, atau anak bekas Menteri Sunaryo Kolopaking atau Koesnan atau Wahid Hasyim. Tak kecuali anak Walikota Jakarta Raya Sjamsurizal. Waktu itu memang belum ada anjuran hidup sederhana, tapi orang sudah dengan sendirinya begitu” (Subakti, 2021).Seperti diketahui bersama, Boedoet atau SMA 1 Jakarta sejak dahulu atau mungkin hingga hari ini dikenal sebagai “ikon” tawuran pelajar di Jakarta. Namun, di satu sisi ternyata ada nilai yang bisa dipetik dari kehidupan pelajar saat itu, sebagaimana yang ditulis Mahbub, yakni kesederhanaan. Pendidikan pada dasarnya bukan hanya perkara kecerdasan, melainkan sebagaimana dikatakan oleh Sayyed hosein Nasr bahwa pendidikan berarti melatih pikiran dan jiwa, tidak memisahkan antara pelatihan pikiran dari pelatihan jiwa dan keseluruhan pribadi seutuhnya.Proses pendidikan yang terjadi tidak hanya melalui akal guru kepada akal murid, melainkan dari batin guru kepada batin murid. Itulah mengapa dalam konsep ini tidak hanya akal yang menjadi objek dalam pendidikan tetapi hati sehingga tidak hanya melahirkan ilmuwan yang ahli melainkan juga yang bermoral (Azizah, 2018).Dalam istilah Arab setidaknya terdapat empat konsep yang berkaitan dengan pendidikan, yakni: (Izzan, 2015)1. Kata “tarbiyat” merupakan proses menyeluruh yang dilakukan terhadap manusia, baik jiwa dan raganya. Tarbiyat merupakan proses kegiatan, bukan sesuatu yang bersifat materi. Aktivitas ini meliputi perhatian, pengarahan, dan pemberian bantuan untuk memformasi perilaku individu, dan membantu pula tubuh, sosial, kejiwaan, dan akhlak.2. Kata “at-ta’lim” merupakan proses pemberitahuan dan penjelasan tentang sesuatu yang meliputi isi dan maksudnya secara berulang, bertahap, menggunakan cara-cara yang mudah diterima menurut adab-adab tertentu, bersahabat dan berkasih sayang. Sehingga muta’alimin mengetahui dan memahami.3. Kata “at-tahzib” memiliki arti sebagai pembinaan akhlak yang dilakukan seorang muhadzib (guru) terhadap mutahadzib (murid) untuk membersihkan dan memperbaiki perilaku dan hati nurani dengan sesegera mungkin karena adanya penyimpangan atau kekhawatiran akan adanya penyimpangan.4. Kata “at-ta’dib” mempunyai pengertian sebagai penanaman, pembinaan, dan pengokohan akhlak pada diri anak dengan syariat Allah dan cara yang baik agar muta’adib berhati bersih, berperilaku baik, beriman, dan beramal soleh.Oleh karena itu, antara pendidikan dan pembentukan akhlak sejatinya merupakan proses satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Sebagaimana dalam Quran “Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan”. Dalam pengertiannya yang luas, kita tidak boleh terpaku hanya pada makna tekstual, tetapi ditambah dengan pemahaman kontekstual dalam kehidupan sehari-hari, seperti kesederhanan, adab, dan sopan santun.