Ilustrasi Informasi Biaya/Tarif di Indonesia (AI-Generated Image)Pernahkah Anda melihat pengumuman di kantor pelayanan publik bertuliskan “Biaya/Tarif: Rp 0”? Atau sebaliknya, menemukan tarif yang terasa “mengada-ada” tanpa penjelasan? Fenomena ini bukan sekadar soal angka, tetapi mencerminkan persoalan mendasar yaitu penyelenggara pelayanan publik mencampuradukkan makna biaya dan tarif karena regulasi yang kurang sempurna. Padahal, pemisahan keduanya bukan hanya soal istilah, tetapi menyangkut transparansi dan akuntabilitas. Perbedaan Biaya dan TarifSecara sederhana, biaya adalah kebutuhan keuangan penyelenggara untuk menyelenggarakan pelayanan, seperti gaji pegawai, listrik, peralatan, pencetakan, rapat, dan operasional lainnya. Sementara, tarif adalah jumlah tertentu yang dibebankan kepada penerima pelayanan. Tarif bisa lebih rendah, lebih tinggi, bahkan nol, tergantung kebijakan. Sayangnya, istilah ini sering digabung menjadi “Biaya/Tarif” di media informasi yang menampilkan standar pelayanan publik, sehingga publik bisa mengira biaya internal sama dengan tarif yang harus mereka bayar.Disparitas RegulasiUndang-Undang No 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik mewajibkan penyelenggara mencantumkan komponen Biaya/Tarif dalam standar pelayanan publik dan mempublikasikannya. Namun, UU inilah yang menggabungkan kata Biaya dan Tarif menjadi “Biaya/Tarif” serta tidak menjelaskan perbedaan keduanya secara rinci. Ditambah, Permenpanrb No 15 Tahun 2014 menyatakan bahwa biaya adalah ongkos yang dikenakan kepada penerima pelayanan. Akibatnya, saat ini banyak penyelenggara menggabungkan tulisan biaya dan tarif dalam standar pelayanan publik, namun merujuk berberapa aturan hukum yang lebih muda justru menegaskan pemisahan biaya dan tarif.Pertama, Pasal 8 Undang-Undang No 9 Tahun 2018 Tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak menjelaskan bahwa penyusunan tarif mempertimbangkan kemampuan masyarakat, biaya penyelenggaraan, aspek keadilan, dan kebijakan pemerintah.Kedua, Undang-Undang No 1 Tahun 2022 Tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah secara umum menjelaskan bahwa tarif dikenakan kepada penerima pelayanan dan biaya dipikul oleh penyelenggara.Ketiga, Pasal I angka 14 Permenkeu No 202/PMK.05/2022 dan Pasal 81 Permendagri No 79 Tahun 2018 mengatur bahwa tarif disusun dengan memperhitungkan seluruh biaya yang dikeluarkan oleh Badan Layanan Umum (BLU)/Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) untuk menghasilkan barang/jasa.Dari berbagai aturan hukum tersebut, dapat disimpulkan secara sederhana bahwa tarif diperuntukan untuk penerima pelayanan sedangkan biaya untuk penyelenggara.RisikoMenyamakan konsep biaya dan tarif berpotensi menimbulkan dua risiko. Pertama adalah risiko transparansi. Publik hanya tahu tarif yang ditetapkan tanpa bisa menelusuri besaran biaya di baliknya, sehingga sulit menilai kewajaran dan efisiensinya. Kedua adalah risiko akuntabilitas. Penyelenggara akan cenderung tidak menghitung biaya pelayanan secara rinci dan ketika menampilkan tarif pelayanan “gratis”, akan menimbulkan kesan tidak ada biaya operasional padahal biayanya dibebankan pada APBN atau APBD. Pola ini dapat mengaburkan tanggung jawab penyelenggara dalam mengelola dana publik.Langkah PerbaikanSebagai langkah perbaikan tentu saja perlu memformulasi ulang peraturan-peraturan yang tidak relevan. Selain itu, penyelenggara perlu melakukan perhitungan biaya hingga satuan terkecil. Artinya, setiap komponen pengeluaran harus dihitung secara rinci dan kemudian dibagi berdasarkan jumlah pelayanan yang dihasilkan. Dengan cara ini, masyarakat dapat mengetahui berapa biaya riil yang diperlukan untuk setiap pelayanan. Misalnya, dalam pelayanan pembuatan KTP, jika total biaya operasional per tahun mencapai 30 miliar dan jumlah KTP yang diproses sebanyak 1 juta kartu, maka biaya per KTP adalah Rp30.000. Dengan demikian, informasi yang perlu disediakan pada standar pelayanan publik adalah Biaya per KTP yang ditanggung penyelenggara adalah Rp30.000 dan tarif yang dibayar oleh penerima pelayanan adalah Rp0 (gratis). Informasi seperti ini penting untuk menunjukkan bahwa meskipun tarif yang dikenakan kepada publik adalah nol rupiah, pelayanan tersebut tetap memiliki biaya yang ditanggung oleh APBN atau APBD. Transparansi semacam ini tidak hanya meningkatkan kepercayaan publik, tetapi juga memudahkan pengawasan terhadap efisiensi penggunaan anggaran.PenutupTransparansi dan akuntabilitas biaya dan tarif dapat menjadi salah satu kunci agar kebijakan pemotongan anggaran atau perubahan tarif tidak merugikan masyarakat. Penyelenggara perlu memastikan penganggaran pelayanan publik dilakukan secara tepat, sementara publik juga harus aktif mengawasi. Dengan kesesuaian informasi biaya dan tarif, publik bisa menilai apakah 'efisiensi' anggaran atau kenaikan tarif pada pelayanan tertentu wajar atau justru berisiko menurunkan kualitas pelayanan. Jika 'efisiensi' atau perubahan tarif dilakukan dengan transparan dan akuntabel, kepercayaan publik terhadap penyelenggara negara akan berpotensi meningkat.