Ketika Metal Menjadi Bahasa Duka

Wait 5 sec.

Foto alat drum. Sumber: pixabay.com“Look at my face, you pierce with a blank stareNo dream could prepare a heart for a lifeless friendHe's gone, nothing will take back timeI need him back, but nothing will take back time”Potongan lirik lagu I Won't See You Tonight Part 2 ini sudah dilantunkan sejak tahun 2003 oleh band metal asal Amerika Serikat, Avenged Sevenfold (A7X). Sudah belasan tahun saya mendengarkan, bahkan kadang ikut menyanyikan lagu ini. Dulu lirik ini sudah terasa kuat, tapi hanya sebatas kata-kata yang terusun indah. Baru beberapa bulan terakhir, potongan lirik ini terasa jauh lebih dalam, mungkin karena saya baru saja kehilangan seorang teman yang sangat dekat.Dari beberapa sumber, lagu ini merupakan luapan amarah M. Shadow dan personel A7X lainnya akibat percobaan bunuh diri Justin Sane, mantan anggota band tersebut. Lagu ini dibawakan dengan alunan gitar yang terdistorsi, hentakan drum yang keras dan cepat dan vokal yang penuh jeritan. Ya, itulah cara A7X mengekspresikan kesedihan sekaligus kekesalan mereka atas musibah yang menimpa teman terdekatnya.Sebetulnya, itu juga yang saya alami. Rasa sedih bercampur kemarahan dan kebingungan bergejolak dalam diri, meronta untuk keluar. Namun, karena kondisi kepergian yang tidak biasa dan besarnya perhatian khalayak, saya lebih memilih untuk bersedih dalam diam. Raungan ratapan dan penyesalan saya tenggelamkan dengan lantunan lagu yang lebih keras. Ada sedikit rasa iri yang saya rasakan. A7X bisa mengekspresikan duka mereka melalui media yang kreatif dan produktif.Enam tahun kemudian, pada 2009, A7X kembali dilanda kesedihan luar biasa. James Owen Sullivan atau yang lebih dikenal sebagai The Rev, drummer sekaligus salah satu pendiri A7X, meninggal dunia. Dalam kedukaan itu, mereka justru melahirkan album Nightmare pada tahun 2010. Sebagian besar lagunya didedikasikan untuk The Rev, dan jadi cara mereka mengekspresikan diri melalui berbagai tahap kehilangan. Mulai dari penolakan, amarah, keputusasaan, penerimaan hingga rasa bersalah. Dalam album itu juga terdapat lagu Fiction yang merupakan ucapan selamat tinggal The Rev untuk rekan-rekannya.Bagi saya pribadi, lagu Victim dari album itu adalah yang paling mengguncangkan hati. Sebagai pendengar saja, mata saya bisa berkaca-kaca, terutama ketika ikut menyanyikan liriknya yang menyayat. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan A7X ketika menulis atau merekam lagu itu. Dan ternyata benar saja, dari beberapa forum penggemar, disebutkan bahwa lagu Victim tidak pernah dibawakan secara live karena terlalu personal bagi mereka, dan mungkin memang tidak akan pernah.Berbeda dengan stereotip yang sering melekat, band metal ternyata memiliki sisi yang lembut dan manusiawi. Ya, cara mereka menyampaikan emosi memang keras, tapi kejujurannya terasa. A7X tidak pernah meromantisasi kematian, melainkan jujur tentang rasa kehilangan dan cara menghadapi duka lewat musik metal.Sebagai penggemar A7X dan musik metal, saya belajar bahwa kesedihan tidak selalu harus disembunyikan atau dijelaskan dengan kata-kata. Melalui lagu-lagunya, saya menemukan cara untuk mengekspresikan banyak hal yang tak mungkin saya ucapkan di ruang publik. Mungkin itulah kekuatan music, ia bisa menjadi tempat bernaung ketika kata-kata gagal.Sebagai penutup, kutipan lirik dari Victim ini merangkum semua perasaan saya, dan mungkin juga mereka yang sedang menghadapi kehilangan serupa:“Well nothing lasts foreverFor all good things, it's trueI'd rather trade it allWhile somehow saving youIt must have been the seasonThat threw us out of lineOnce I stood so tallNow I'm searching for a signSo don't need your salvationWith promises unkindAnd all the speculationSave it for another time'Cause we all need a reasonA reason just to staySome just can't be botheredTo stick around another day”Bagi saya, baris-baris itu bukan sekadar lirik, tapi pengingat bahwa kehilangan tidak selalu berarti akhir, melainkan perjalanan yang akan dihadapi semua orang.