Big Data dan Statistik Konvensional: Bersaing atau Saling Melengkapi?

Wait 5 sec.

Ilustrasi big data (freepik.com)Bayangkan apa yang terjadi di dunia digital dalam satu menit. Sebanyak 5,9 juta orang melakukan pencarian di Google, 3,4 juta video diputar di YouTube, 362 ribu jam tayangan ditonton di Netflix, dan 251 juta email terkirim ke seluruh dunia. Itu belum termasuk jutaan pesan singkat, unggahan di media sosial, hingga transaksi belanja daring yang terus bertambah setiap detiknya. Infografis yang dirilis DOMO (Data Never Sleeps 12.0) menunjukkan betapa derasnya arus data di era digital. Fenomena inilah yang dikenal dengan istilah big data, sebuah konsep yang kini mungkin sudah tidak terdengar asing di telinga banyak orang.Banyaknya data digital yang dihasilkan dalam tiap menitnya, menandakan bahwa kita kini hidup di era yang kerap disebut the age of data. Sumber data tidak lagi terbatas dari kegiatan sensus dan survei tetapi juga lahir dari aktivitas sederhana sehari-hari. Saat seseorang berkomentar di media sosial, berbelanja di marketplace, menyalakan GPS saat bepergian, atau sekadar menonton tayangan secara daring, jejak digital otomatis akan tercipta dan terekam.Dilansir dari UNStat, istilah big data merujuk pada kumpulan data yang ukurannya sangat besar, kecepatannya yang tinggi, dan sangat bervariasi. Tidak hanya berupa angka dalam tabel, big data juga mencakup teks, gambar, video, audio, hingga data lokasi. Karakter inilah yang membuat big data berbeda dari sumber data konvensional: volumenya masif, variasinya beragam, dan perubahannya berlangsung secara real-time.Secara umum, big data mempunyai banyak manfaat penting di era saat ini. Pertama, big data memungkinkan pengambilan keputusan yang lebih cepat dan tepat karena data tersedia hampir secara real-time. Kedua, big data dapat membantu mengidentifikasi pola, tren, dan hubungan antarvariabel yang sebelumnya sulit terlihat dengan metode konvensional. Ketiga, big data dapat digunakan untuk mendukung inovasi dalam suatu perusahaan (Tsaniyah et al., 2025). Sedangkan, dalam dunia statistik, big data dapat meningkatkan akurasi, ketepatan waktu, dan relevansi official statistik, sekaligus menekan biaya yang biasanya diperlukan dalam pelaksanaan survei atau sensus yang dilakukan dengan cara konvensional.Sebagai lembaga penyedia data resmi di Indonesia, Badan Pusat Statistik (BPS) sudah lama menjajaki big data untuk memperkuat kualitas informasi yang disajikan kepada publik. BPS telah mempublikasikan publikasi berjudul kajian terkait big data sebagai pelengkap statistik ekonomi dan sosial. Dalam kedua publikasi tersebut, BPS menerapkan teknik web scrapping pada berbagai situs, seperti lowongan pekerjaan, e-commerce, penerbangan, hotel, properti dan masih banyak lagi untuk memperkaya informasi statistik yang dihasilkan.Di balik potensinya yang besar, pemanfaatan big data untuk official statistik menghadapi sejumlah tantangan mendasar. Dirangkum dari Landefeld (2014), Uses of Big Data for Official Statistics: Privacy, Incentives, Statistical Challenges, and Other Issues (United Nations Statistics Division, International Conference on Big Data for Official Statistics, Beijing, 28–31 Oktober 2014) tantangan pemanfaatan big data adalah sebagai berikut: pertama, soal aksesibilitas. Kepemilikan dan pengelolaan big data saat ini masih tersebar di berbagai pihak, baik pemerintah maupun swasta. Untuk memperolehnya sering kali dibutuhkan upaya dan biaya yang tidak kecil.Kedua, terkait keragaman pengelolaan dan kualitas data. Setiap institusi memiliki sistem dan metode yang berbeda-beda dalam mengelola data, sehingga tidak ada satu pun institusi yang memiliki data yang lengkap dalam satu bidang tertentu. Akibatnya, jika ingin digunakan untuk official statistik, data harus dikombinasikan dari berbagai sumber. Tantangan muncul karena kualitas data tersebut seringkali belum sesuai dengan kaidah statistik karena perbedaan metodologi yang digunakan, sehingga rawan menimbulkan bias.Ketiga, masalah kompleksitas metode pengolahan. Banyak pendekatan big data yang bergantung pada model ekonometrika atau algoritma prediktif yang rumit. Namun, secara umum model yang terlalu kompleks justru tidak selalu lebih akurat dibandingkan metode sederhana seperti tren historis. Selain itu, kompleksitas dapat menurunkan transparansi bagi pengguna data, menyulitkan penilaian hasil, dan mengurangi kapasitas analisis lebih rinci (drill down) terhadap indikator strategis.Terakhir, isu privasi dan keamanan data. Big data pada dasarnya bersumber dari jejak digital individu maupun data internal perusahaan yang seringkali berisi informasi sensitif. Untuk individu, kekhawatiran meliputi risiko terbukanya data medis, finansial, atau hukum, serta potensi penggunaan yang diskriminatif. Sementara itu, bagi perusahaan, risiko utamanya adalah terbukanya data strategis seperti informasi pasar, biaya, atau keuntungan kepada publik maupun pesaing. Jika tidak diatur dengan baik, pemanfaatan big data juga berpotensi disalahgunakan untuk kepentingan investigasi, perpajakan, atau politik.Big data memang menawarkan kelimpahan, kecepatan, dan variasi yang sulit ditandingi oleh metode konvensional. Namun, itu tidak serta-merta menjadikannya pengganti statistik konvensional. Official Statistik yang dihasilkan BPS dengan metode konvensional tetap memiliki keunggulan karena berlandaskan metodologi statistik dan dapat dipertanggungjawabkan, serta diakui secara hukum.Justru yang paling ideal adalah sinergi. Big data bisa berfungsi sebagai sumber informasi tambahan yang melengkapi hasil sensus dan survei, sehingga data yang disajikan kepada publik menjadi lebih cepat, relevan, dan akurat. Oleh karena itu, big data sebaiknya dipandang sebagai mitra yang memperkaya, bukan sebagai pengganti sumber data official statistik.