Kampanye Run Your Way 2025 (Dok. New Balance) JAKARTA - Menurut riset konsumer dari brand olahraga global, New Balance, 70% dari generasi produktif (Gen Z dan Gen Millennials) diseluruh dunia berlari minimal sekali dalam seminggu, dengan intensitas dan tujuan berbeda. 20% dari mereka mengaku punya tujuan latihan yang spesifik, seperti mencapai target jarak atau waktu, sementara 50% lainnya mengaku lari untuk tujuan kesehatan secara umum. Sejak tahun 2023, melalui kampanye “Run Your Way”, New Balance terus mendorong terciptanya persepsi lari yang lebih inklusif. Olahraga ini bukan hanya milik elite runners, tetapi juga untuk semua orang, termasuk para pemula.Berikut empat mitos di kalangan olahraga lari yang harus diubah seperti dirangkum dari siaran resmi New Balance Run Your Way.1. “Aku nggak bisa lari!” ❌Setiap orang yang lari adalah pelari. Tidak perlu menempuh jarak jauh, berlari cepat, atau memiliki kemampuan atletis tertentu untuk disebut pelari. Bahkan, sekarang sedang tren konsep stroller run, yaitu orang tua yang berlari sambil mendorong stroller bayi. Faktanya, lari adalah olahraga paling inklusif secara gender dan usia, karena intensitas dan jarak lari bisa fleksibel disesuaikan untuk setiap orang.Daniel Mananta public figure, (Dok. New Balance)“Jika baru pertama kali lari dan mengalami reaksi tubuh seperti lemas, pusing, atau nyeri otot, itu adalah reaksi tubuh yang wajar karena tubuh sedang beradaptasi, bukannya tidak bisa lari. Bagi yang baru mulai mindset-nya jangan dulu fokus di jarak dan pace, fokus di membangun kebiasaan dulu dengan berlari 1-2 kali seminggu, baru pelan-pelan perhatikan form larinya,” ujar Daniel Mananta public figure, marathoner, sekaligus Brand Ambassador New Balance.2. “Lari itu soal pace!” ❌Run Your Way → Lari bukan cuma soal kecepatan. Banyak pelari merasa minder dengan pace yang lambat. Padahal, banyak indikator keberhasilan lari yang bisa dimonitor sebagai progress daripada menit per kilometer saja. Misalnya, heart rate yang semakin stabil, angka Vo2 (kemampuan tubuh menyerap oksigen) yang semakin besar, jarak yang semakin panjang, durasi yang semakin lama, bahkan waktu recovery yang semakin singkat. “Tiga bulan sebelum Berlin, saya bahkan baru virgin marathon di Jakarta. Waktu itu finish hampir 5 jam. Tapi dengan latihan konsisten, di Berlin saya bisa pecahin personal best. Jadi menurut saya, setiap orang bisa lari dengan caranya sendiri. Nggak harus jauh atau cepat dulu, yang penting mulai dan nikmati prosesnya.” jelas Dr. Tirta, Dokter sekaligus pelari maraton.3. “Lari itu mahal!” ❌Faktanya, dibandingkan dengan cabang olahraga lain, lari adalah olahraga dengan equipment paling minimum, dengan sepatu lari sebagai investasi utama. Trek lari di ruang publik juga umumnya gratis. Yang terpenting, sesuaikan pengeluaran dengan komitmen lari. Bagi pemula, satu sepatu lari multifungsi sudah cukup untuk berbagai jenis latihan, mulai dari easy run, interval, dan tempo. Secara teori, sepatu lari rata-rata bisa dipakai sepanjang 480-800 KM, tentu tergantung dengan faktor penyimpanan dan penggunaan. “Mahal atau murahnya lari itu kita yang ngatur, jangan sampai terpengaruh social pressure. Pastiin semua pengeluaran kita ada tujuannya, dan manfaatnya bisa kita rasain langsung buat diri sendiri. Contoh, kalau kamu tipe yang nggak bisa latihan sendiri, lebih baik uangnya dialokasikan buat hire coach sampai kamu bisa mandiri, dibandingkan spending buat gear dipakai atlet elite.” ujar Daniel Mananta public figure, marathoner, sekaligus Brand Ambassador New Balance.4. “Lari itu cuma FOMO aja!” ❌Lari karena FOMO tetap lebih baik dibandingkan tidak lari sama sekali. Faktanya, studi dalam Journal of the American College of Cardiology (JACC) menunjukkan, berlari seminggu sekali sudah bisa menurunkan risiko penyakit jantung hingga 47% dibandingkan orang yang tidak rutin berlari. Jadi meskipun ada yang mulai karena ingin ikut teman atau sekadar terlihat “keren” di media sosial, tubuh tetap mendapatkan manfaat kesehatan. Dr. Tirta, Dokter sekaligus pelari maraton“Menjadi pelari rekreasional yang berlari seminggu sekali saja manfaatnya sudah banyak. Selain kardiovaskular, di aspek metabolik dapat melancarkan sirkulasi gula darah dan meningkatkan sensitivitas insulin. Sementara di aspek muskoskeletal, dapat memperkuat otot, sendi, dan tulang, serta mengurangi risiko penyakit osteoporosis. Harapannya kan, dari FOMO sekali, lama-lama bisa konsisten jadi gaya hidup, dan perilaku ini harus kita dukung bukan di-judge,” jelas Dr. Tirta, Dokter sekaligus pelari maraton.