Sejumlah relawan mengacungkan dua jari saat Konsolidasi TKD Prabowo - Gibran Provinsi Jawa Barat di The House Convention Hall, Bandung, Jawa Barat, Sabtu (25/11/2023). (ANTARA/M Agung Rajasa/YU/aa)JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menolak gugatan terkait syarat calon presiden dan wakil presiden minimal berpendidikan sarjana atau S1. Putusan MK menjadi dilema, karena di satu sisi butuh pendidikan tinggi untuk menjadi pejabat publik, namun di sisi lainnya Indonesia memiliki slogan wajib sekolah 12 tahun.Adalah Hanter Oriko Siregar yang mengajukan gugatan agar MK mengubah syarat capres-cawapres dari minimal SMA menjadi S1. Namun, gugatan dengan nomor perkara 154/PUU-XXIII/2025 ini ditolak MK. Ini adalah kedua kalinya gugatan Hanter ditolak MK dengan perkara yang sama.Dalam sidang yang digelar di Ruang Sidang MK pada 29 September lalu, Ketua MK Suhartoyo menegaskan “menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya”.Dalam pertimbangan hukum Mahkamah yang dibacakan Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur, Mahkamah menilai syarat capres-cawapres minimal S1 dikategorikan sebagai kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang yang tetap dinilai konstitusional.Hal ini dapat berlaku sepanjang tidak melanggar moralitas, tidak melanggar rasionalitas, bukan ketidakadilan yang intolerable, dan tidak melampaui kewenangan pembentuk undang-undang. “Menurut Mahkamah, persyaratan yang demikian dapat diatur, sepanjang tidak mengandung unsur diskriminatif," kata Ridwan.Hanter Oriko Siregar, pemohon pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilihan Umum, hadiri sidang pengucapan putusan MK, Kamis (17/7/2025). (Humas Mahkamah Konstitusi)Itu artinya, untuk mencalonkan diri sebagai capres maupun cawapres hanya perlu minimal lulus SMA. Putusan MK ini menjadi polemik di masyarakat. Di satu sisi, persyaratan pendidikan minimal SMA untuk mencalonkan capres dan cawapres dinilai tidak relevan dengan situasi sekarang.Apalagi, rakyat juga membandingkan dengan banyak perusahaan yang memberikan syarat pendidikan minimal S1 di setiap lowongan pekerjaan. Di sisi lain, persyaratan pendidikan minimal S1 untuk mencalonkan diri capres maupun cawapres dinilai mempersempit hak warga negara dalam mencalonkan diri.Putusan DilematisPengamat politik sekaligus Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah berpandangan, secara umum putusan ini dilematis karena mengubah syarat minimal pendidikan capres dan wapres akan bersinggungan dengan undang-undang lain soal pendidikan. Selama ini, di Indonesia hanya memiliki slogan wajib sekolah 12 tahun.“Itu artinya kewajiban hanya sampai SMA, tetapi ini juga hanya slogan, bukan UU. Sehingga berdampak pada syarat hak publik, termasuk untuk mencalonkan diri sebagai pejabat publik,” kata Dedi.“Maka sudah benar apa yang yang diputuskan oleh MK, meski desakan untuk membuat syarat minimum sarjana itu penting, tetapi bukan mendesak MK, melainkan DPR karena di sanalah produsen UU,” kata dia menambahkan.Dedi pun membandingkan situasi ini dengan ketika MK mengabulkan ambang batas usia capres cawapres pada 2023. Waktu itu, MK memutuskan siapa pun boleh mencalonkan diri meski belum berusia 40 tahun, dengan syarat pernah terpilih melalui pemilu, baik sebagai DPR/DPD, gubernur, atau wali kota.“Itu tetap kita anggap keliru, karena seharusnya bukan kewenangan MK untuk memutus UU,” ucap Dedi.“Memang cukup mengkhawatirkan jika ambang miminum pendidikan calon pemimpin tertinggi hanya SMA, satu sisi kita potensial mendapatkan pemimpin yang belum matang secara intelektual maupun emosional,” ia menegaskan.Menurut BPS, dari seluruh penduduk Indonesia berusia di atas 15 tahun, hanya 10,20 persen di antaranya yang menyelesaikan pendidikan di tahap perguruan tinggi. (Unsplash)Dihubungi terpisah, analis politik sekaligus pendiri Lembaga Survei KedaiKOPI Hendri Satrio tetap memandang positif putusan MK soal pendidikan minimal capres dan cawapres, karena di Indonesia saat ini lebih banyak lulusan SMA dibandingkan S1.“Yang tidak boleh itu ngakal-ngakalin. Jadi misalnya pendidikannya belum sampai (belum lulus), tapi diakalin seolah-seolah sudah. Itu baru tidak boleh. Menurut saya baik-baik saja keputusan ini,” tegasnya.Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan, berdasarkan data BPS tahun 2024 ada 30,85 persen penduduk Indonesia yang berusia di atas 15 tahun memiliki ijazah SMA atau sederajat.Sementara itu, dari seluruh penduduk Indonesia berusia di atas 15 tahun, hanya 10,20 persen di antaranya yang menyelesaikan pendidikan di tahap perguruan tinggi.Kurang Pertimbangkan Kepentingan PublikDekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Prof Iwan Satriawan menghormati putusan MK yang menganggap putusan tersebut untuk melindungi hak warga negara mencalonkan diri. Namun, ia menilai MK kurang mempertimbangkan kepentingan publik dalam memastikan kualitas calon pemimpin bangsa.“Seharusnya MK juga melihat aspek peningkatan kualitas orang-orang yang akan dijadikan calon presiden atau wakil presiden dengan menaikkan standar pendidikan. Itu substansinya,” tegas Iwan.Secara pribadi, Iwan mendukung syarat minimal pendidikan capres-cawapres dinaikkan menjadi S1. Menurutnya, di negara sebesar Indonesia yang memiliki lulusan S1, S2, dan S3 dalam jumlah besar, bukan hal sulit untuk mencari calon pemimpin dengan kualifikasi tersebut.“Untuk melamar pekerjaan saja banyak yang mensyaratkan minimal S1. Presiden adalah top leader yang akan memimpin negara. Bayangkan jika tingkat pendidikan presiden lebih rendah dibanding sebagian rakyatnya, secara psikologis itu bisa menimbulkan persoalan,” ujarnya.Iwan mencontohkan, banyak negara maju dipimpin oleh tokoh yang merupakan lulusan universitas-universitas ternama, mencerminkan visi dan kapasitas yang kuat dalam membangun bangsa.MK dalam putusannya menilai peningkatan syarat pendidikan berpotensi membatasi hak konstitusional warga negara. Namun, Iwan berpandangan berbeda. Ia menilai hak memilih memang sebaiknya diperluas, tetapi hak untuk dipilih harus mempertimbangkan kualifikasi.“Hakim saja minimal S1, tidak ada hakim utama lulusan SMA. Maka seharusnya presiden, sebagai pemimpin tertinggi, memiliki kualifikasi pendidikan yang baik karena ia menjadi teladan,” tambahnya.Lebih lanjut, Iwan menyoroti alasan MK menolak gugatan tersebut. Menurut MK, menaikkan syarat pendidikan adalah ranah legislatif melalui pembentukan undang-undang, bukan kewenangan MK.“MK mengatakan hanya berwenang membatalkan pasal yang bertentangan dengan konstitusi. Jika ingin mengubah norma, itu wilayah DPR, bukan MK,” jelasnya.Meski MK konsisten menolak membuat norma baru dalam hal ini, Iwan menilai substansi putusan tersebut menimbulkan kekhawatiran. Negara berisiko kehilangan kesempatan untuk memastikan calon pemimpin memiliki kualifikasi pendidikan yang lebih tinggi dan sejalan dengan kebutuhan bangsa ke depan.