Dari Tambak ke Piring Anak Negeri: Menautkan MBG dengan Produk Perikanan Lokal

Wait 5 sec.

Ilustrasi ikan di pasar. Foto: savitskaya iryna/ShutterstockProgram Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digulirkan pemerintah menjadi salah satu strategi penting memperkuat ketahanan pangan sekaligus memperbaiki kualitas gizi anak sekolah. Skema ini sejalan dengan visi besar Indonesia menghadapi bonus demografi dan ancaman stunting. Namun, dibalik optimisme itu, ada peluang besar yang kerap luput disorot: Bagaimana MBG bisa menjadi pintu bagi hasil perikanan lokal, khususnya udang dari tambak rakyat, masuk ke rantai pasok pangan nasional?Selama ini, narasi ketahanan pangan lebih banyak dikaitkan dengan beras, jagung, atau kedelai. Padahal, sektor perikanan budi daya menyimpan potensi strategis sebagai sumber protein hewani bergizi tinggi, kaya omega-3, dan relatif ramah lingkungan. Udang, misalnya, adalah komoditas unggulan ekspor yang juga berpeluang mengisi meja makan anak-anak sekolah di dalam negeri. Tantangannya adalah bagaimana mengaitkan kebutuhan pangan publik melalui MBG dengan rantai produksi perikanan lokal, tanpa terjebak pada masalah mutu, sanitasi, maupun logistik.Terkait Kebijakan: MBG dan Pangan LokalKebijakan MBG bukan hanya soal distribusi makanan gratis, tetapi juga instrumen strategis dalam penguatan rantai pasok pangan lokal. Menurut FAO (2023), kebijakan pangan publik yang terintegrasi dengan produk lokal terbukti meningkatkan keberlanjutan gizi sekaligus menggerakkan ekonomi desa. Indonesia punya peluang besar jika MBG diposisikan sebagai jembatan antara sekolah dengan produsen pangan rakyat.Olahan menu MBG yang beragam setiap harinya yang diolah SPPG Cikaret. Foto: Dok. SPPG CikaretNamun, jika tidak ada mekanisme audit kebijakan yang jelas, program ini rawan hanya bergantung pada pemasok besar dengan akses logistik mapan. Padahal, petambak udang lokal di sentra produksi berbagai daerah bisa menjadi pemasok jika diberikan kanal distribusi resmi. Dengan kata lain, audit kebijakan MBG perlu memasukkan parameter keterlibatan produsen lokal. Apakah benar program ini membuka ruang bagi mereka, atau sekadar menambah peluang bagi korporasi besar?Peluang Link-and-Match dengan PetambakPeluang link-and-match antara program MBG dan tambak udang lokal cukup besar. Data Badan Pusat Statistik (BPS, 2024) menunjukkan produksi udang nasional mencapai lebih dari 1,1 juta ton per tahun, dan sebagian besar berasal dari tambak rakyat. Namun ironisnya, pasar domestik udang masih belum tergarap optimal karena orientasi ekspor.Di sinilah MBG bisa mengambil peran. Jika sekolah menjadi konsumen tetap melalui skema pembelian kolektif, petambak rakyat akan mendapatkan kepastian pasar domestik. Mekanisme ini tidak hanya menekan risiko fluktuasi harga global, tetapi juga memperkuat kedaulatan pangan lokal.Pedagang sayur melayani pembeli di Pasar Induk Rau, Serang, Banten Foto: ANTARA FOTO/Asep FathulrahmanContohnya, beberapa daerah sudah memulai model serupa. Program Home Grown School Feeding di Afrika Sub-Sahara, misalnya, sukses menyerap hingga 40% produk pangan dari petani dan nelayan lokal (World Food Programme, 2022). Indonesia bisa mengadaptasi pendekatan serupa, khususnya di wilayah pesisir dengan basis tambak udang intensif.Persyaratan Mutu dan LogistikMeski peluang terbuka, ada tantangan serius di lapangan. Produk udang termasuk pangan yang cepat rusak dan membutuhkan standar rantai dingin (cold chain) yang baik. Tanpa logistik yang terjaga, sulit membayangkan udang tambak bisa masuk ke kantin sekolah dengan aman.Selain itu, standar sanitasi juga harus diperhatikan. Peraturan Pemerintah No. 86/2019 tentang Keamanan Pangan sudah menegaskan pentingnya penerapan Good Aquaculture Practices (GAP) dan Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP). Jika tambak rakyat belum terlatih atau belum memiliki sertifikasi mutu, mereka bisa terpinggirkan.Ilustrasi Koperasi Foto: ANTARA/R. RekotomoOleh karena itu, pemerintah daerah perlu memfasilitasi pelatihan dan insentif sertifikasi bagi petambak yang ingin masuk rantai pasok MBG. Model koperasi tambak atau BUMDes Pangan bisa menjadi agregator, mengumpulkan hasil dari beberapa petambak lalu menyalurkannya sesuai standar logistik dan sanitasi yang ditentukan.Dampak Kebijakan MBG terhadap Permintaan PerikananSecara makro, implementasi MBG berpotensi menciptakan permintaan tambahan signifikan untuk produk perikanan lokal. Jika program ini misalnya menjangkau 50 juta anak sekolah—dengan asumsi konsumsi 50 gram protein ikan per anak per hari—kebutuhan mencapai 2.500 ton ikan per hari. Angka ini bisa menjadi katalis luar biasa bagi industri perikanan budi daya dalam negeri.Bagi petambak udang, permintaan domestik yang stabil akan menciptakan diversifikasi pasar. Selama ini, mereka sangat tergantung pada ekspor yang rentan gejolak harga dan hambatan non-tarif negara tujuan. Dengan masuk ke pasar MBG, petambak memiliki basis pasar domestik yang lebih resilien.Tambak budidaya udang berbasis kawasan (BUBK) milik Kementerian Kelautan dan Perikanan di Kebumen, Jawa Tengah, memasuki masa panen setelah resmi beroperasi pada awal Maret 2023 Foto: Dok. KKPNamun, peluang ini hanya akan terwujud jika kebijakan MBG disusun dengan paradigma keberpihakan tentang bagaimana menyusun regulasi yang tidak mempersulit petambak kecil, tetapi tetap menjaga keamanan pangan bagi anak sekolah.Alternatif Solusi: Menjembatani Kebijakan dan Realitas LapanganUntuk memastikan MBG benar-benar menautkan tambak dan meja makan anak sekolah, ada beberapa alternatif solusi yang bisa dipertimbangkan. Pertama, skema koperasi atau hub pangan lokal. Pemerintah dapat memfasilitasi terbentuknya koperasi tambak atau seafood hub di tingkat kabupaten. Hub ini berfungsi sebagai agregator, melakukan proses sortasi, pengolahan ringan (misalnya udang beku atau naget udang sehat), dan distribusi ke sekolah.Kedua, program sertifikasi kolektif. Alih-alih mewajibkan sertifikasi per tambak (yang mahal), pemerintah bisa memfasilitasi sertifikasi kolektif melalui asosiasi atau koperasi. Model ini sudah dipraktikkan pada sertifikasi organik pertanian di berbagai negara (IFOAM, 2021). Selanjutnya, diversifikasi produk udang untuk MBG. Udang tidak selalu harus disajikan dalam bentuk segar. Produk olahan sederhana seperti bakso udang, naget rendah garam, atau abon udang sehat bisa menjadi alternatif yang lebih tahan lama dan sesuai preferensi anak.Ilustrasi udang beku. Foto: ShutterstockKemudian, insentif fiskal untuk rantai dingin. Pemerintah bisa memberi insentif pajak atau subsidi peralatan cold chain bagi koperasi tambak yang memasok MBG. Dengan begitu, standar mutu bisa terjamin, tanpa membebani petambak kecil. Terakhir, kolaborasi multi-pihak. Link-and-match hanya bisa berjalan jika ada kolaborasi antara pemerintah daerah, sekolah, koperasi tambak, perguruan tinggi (untuk riset dan inovasi produk), dan sektor swasta. Tanpa ekosistem kolaboratif, kebijakan MBG akan sulit terhubung dengan tambak rakyat.Menautkan Pangan dengan KedaulatanPada akhirnya, program MBG bukan sekadar intervensi gizi, tetapi juga kebijakan strategis untuk menautkan ketahanan pangan nasional dengan kedaulatan ekonomi lokal. Menjadikan udang tambak sebagai bagian dari rantai pasok MBG akan membawa manfaat ganda: anak-anak sekolah mendapatkan gizi berkualitas tinggi, sedangkan petambak rakyat memperoleh pasar domestik yang stabil.Seperti kata FAO (2024), ketahanan pangan sejati bukan hanya soal cukup makan, tetapi juga tentang siapa yang memberi makan. Dengan keberanian regulasi yang berpihak, Indonesia bisa memastikan bahwa anak-anak negeri tidak hanya kenyang, tetapi juga tumbuh sehat dari hasil laut dan tambak bangsanya sendiri.