Pecinta sepeda ontel yang terkumpul dalam Komunitas Ontel Batavia warnai CFD Bundaran HI, Jakarta Pusat, Minggu (5/10/2025). Foto: Nasywa Athifah/kumparanDi tengah riuhnya Car Free Day (CFD) Bundaran HI Jakarta, seorang pria berambut putih gondrong tampak mencuri perhatian. Namanya Andi Surandi (64), asal Yogyakarta, yang akrab disapa Rendi.Ia mengenakan batik bernuansa kuning dan merah mencolok, kacamata hitam, serta topi anyaman dari jerami yang menambah kesan nyentrik.Hampir setiap Minggu pagi, Rendi mengayuh sepeda ontelnya dari rumahnya di Bintaro menuju kawasan CFD Bundaran HI, Jakarta Pusat. Menempuh puluhan kilometer sudah menjadi rutinitas bagi dirinya. Ia datang bukan sendirian, melainkan bersama komunitasnya: Komunitas Ontel Batavia (KOBA).“Namanya Komunitas Ontel Batavia, disingkat KOBA. Nah, ini berdiri dari tahun 2005, tepatnya tanggal 17 Agustus 2005,” kata Rendi membuka cerita, saat ditemui di CFD, Minggu (5/10).Pecinta sepeda ontel yang terkumpul dalam Komunitas Ontel Batavia warnai CFD Bundaran HI, Jakarta Pusat, Minggu (5/10/2025). Foto: Nasywa Athifah/kumparanDulu, KOBA berawal dari Silang Monas, tempat beberapa pesepeda tua kerap berkumpul santai. Namun, karena dianggap terlalu tertutup, mereka memutuskan pindah ke Bundaran HI, lokasi yang lebih terbuka dan ramai.“Karena di sana itu adanya di dalam, jadi mungkin akhirnya dipindahkan di sini, ganti nama yaitu KOBA, Komunitas Ontel Batavia,” ujar Rendi.Kini, hampir setiap Minggu pagi, deretan sepeda ontel berjejer rapi di sekitar Bundaran HI. Anggotanya datang dari berbagai penjuru: Jakarta Timur, Selatan, Utara, Barat, bahkan Bekasi.“Selalu ada, selalu ada,” kata Rendi soal rutinitas mingguan mereka.Pecinta sepeda ontel yang terkumpul dalam Komunitas Ontel Batavia warnai CFD Bundaran HI, Jakarta Pusat, Minggu (5/10/2025). Foto: Nasywa Athifah/kumparanDari Jakarta–Bali hingga Kostum PapuaSebagai pendiri sekaligus ketua tim touring KOBA, Rendi bukan hanya gowes jarak pendek. Ia dan rekan-rekannya pernah menempuh perjalanan Jakarta–Bali selama 12 hari dengan sepeda ontel.“Jadi kita itu jalan 1 jam, udah 1 jam jalan, kita berhenti 15 menit. Udah berhenti 15 menit, kita langsung jalan lagi 1 jam. Nanti berhenti lagi 15 menit, 1 jam. Sampai Bali begitu terus. Jakarta-Bali itu 12 hari,” kenangnya.Dalam perjalanan seperti itu, mereka selalu berprinsip untuk saling membantu.“Ada yang jatuh, ada yang sakit, ada yang sepedanya rusak, trouble, gitu ada. Tapi kita kan kalau jarak jauh Jakarta-Bali gitu kan ada patwal, ada mobil yang buat angkutnya. Jadi nanti kalau ada rusak tuh dibenerin di dalam mobil,” kata Rendi.Namun, bukan hanya stamina yang membuat komunitas ini istimewa. Mereka juga dikenal karena penampilan nyentrik. Hari itu, selain batik warna-warni, beberapa anggota KOBA tampak mengenakan blangkon hingga kostum veteran.“Makanya kalau mau gabung di klub kita, itu harus syaratnya satu, punya sepeda ontel. Dan pakai baju yang nyentrik. Berpakaian yang aneh-aneh,” jelas Rendi sambil tertawa kecil.Ia mengaku, salah satu penampilannya yang paling unik adalah saat mengenakan pakaian khas Papua.Pecinta sepeda ontel yang terkumpul dalam Komunitas Ontel Batavia warnai CFD Bundaran HI, Jakarta Pusat, Minggu (5/10/2025). Foto: Nasywa Athifah/kumparanSilaturahmi di Atas SepedaKOBA bukan sekadar komunitas sepeda tua. Lebih dari itu, mereka menjadikan sepeda sebagai sarana silaturahmi dan pelestarian sejarah.“Ya, ngangkat sejarah tempo dulu karena dulu kan, sepeda itu untuk berjuang gitu. Nah, terus penerusnya ya ini, supaya nggak sampai punah,” ucap Rendi.Komunitas yang awalnya hanya berisi tujuh orang itu kini berkembang pesat hingga ratusan anggota.“Tadinya cuma paling tujuh orang. Tahu-tahu minggu besok, ‘Kok ada sepeda ontel gini-gini?’ Akhirnya datang lagi, akhirnya gabung lagi ada sampai 20. Tambah terus, tambah terus,” katanya mengenang.Dalam masa jayanya, KOBA pernah mencatat 900 anggota, dan kini sekitar 200–300 orang masih aktif. Mereka sering diundang ke berbagai daerah, bahkan ikut kegiatan touring ke luar kota.“Kalau sebetulnya kalau yang tercatat itu, waktu zaman dulu ya, waktu baru-barunya 2005 sampai 2009, itu sampai 900-an anggotanya. Sekarang yang aktif kurang lebih 200-300,” jelas Rendi.Pecinta sepeda ontel yang terkumpul dalam Komunitas Ontel Batavia warnai CFD Bundaran HI, Jakarta Pusat, Minggu (5/10/2025). Foto: Nasywa Athifah/kumparanMengikuti perkembangan zaman, komunitas ini sekarang dapat diikuti pesepeda jenis apapun, tak hanya ontel.“Jadi sepeda ontel itu dulu bentuknya begini. Itu dari sini sampai ujung sana, itu bisa 800 sepeda. Sepeda ontel semua. Dulu, sepeda yang biasa begini enggak boleh gabung. Suruh keluar,” kata Rendi.“Kalau sekarang mah udah, karena peminatnya udah ini (menyesuaikan generasi) akhirnya udah, gabung semuanya. Model apa aja yang penting kita ngumpul,” lanjutnya.Tahun depan, komunitas ini berencana menghadiri gelaran komunitas ontel sedunia di Candi Prambanan yang akan diikuti peserta dari 33 negara.Bagi Rendi, usia hanyalah angka. Selama masih bisa mengayuh pedal, ia akan terus hadir di CFD setiap Minggu pagi. Tentunya dengan sepeda ontel tua dan kostum nyentrik yang jadi ciri khasnya.“Sepeda itu cuma sarana. Yang utama silaturahminya,” ujarnya pelan, sambil merapikan topinya dan menatap jalanan yang semakin ramai.