Ilustrasi banner iklan di jalan. Foto: Melly Meiliani/kumparanPerkembangan iklan digital terutama di Instagram dan TikTok telah mengubah pola belanja generasi muda, khususnya Gen Z (15–24 tahun). Di platform ini, iklan bukan hanya mengenalkan produk, tetapi juga memproduksi tren yang mendorong perilaku konsumtif. Melalui influencer marketing, pesan promosi terasa lebih dekat dan relevan sehingga mudah menarik perhatian anak muda. Kebiasaan belanja spontan dan ikut-ikutan tren (FOMO) menguat seiring intensitas paparan iklan; penawaran terbatas dan diskon sering menggoda mereka membeli barang yang sebenarnya tidak prioritas. Tanpa kontrol, pola tersebut berisiko mengganggu kesehatan finansial pribadi dan membentuk kebiasaan konsumsi yang merugikan di kemudian hari.Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis teknik persuasi yang diterapkan dalam iklan, seperti penggunaan emosi, aspirasi, dan stereotip, serta bagaimana elemen-elemen ini mempengaruhi perilaku konsumtif generasi muda, terutama dalam hal pembelian impulsif dan fenomena FOMO (Fear of Missing Out). Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan mengkaji literatur dari jurnal nasional yang relevan (2020-2025), dengan fokus pada analisis logika iklan dan dampaknya terhadap perilaku konsumtif generasi muda (15-24 tahun). Sumber utama data berasal dari jurnal yang membahas strategi pemasaran, pengaruh iklan digital, dan pola konsumsi. Selain itu, analisis konten iklan, seperti iklan produk kecantikan atau gadget, digunakan untuk menggali lebih dalam tentang teknik persuasi dan framing yang diterapkan. Metode analisis mencakup evaluasi terhadap logika iklan dan pengaruhnya terhadap persepsi serta keputusan pembelian konsumen muda, dengan merujuk pada jurnal dan teori perilaku konsumen (Ansyar, 2023).Logika Iklan dan Teknik PersuasifnyaIlustrasi anak muda terjebak iklan dan belanja. Foto: ShutterstockLogika iklan merujuk pada strategi yang diterapkan untuk meyakinkan konsumen agar melakukan tindakan tertentu, seperti membeli suatu produk. Pada iklan yang ditujukan kepada generasi muda, terutama mereka yang berusia 15-24 tahun, teknik persuasi yang sering digunakan meliputi pemanfaatan emosi, aspirasi gaya hidup, dan stereotip. Emosi seperti rasa takut (fear) atau keinginan (desire) sering digunakan untuk membangkitkan urgensi atau keinginan yang kuat terhadap produk. Iklan produk kecantikan, seperti yang dilakukan oleh merek seperti Wardah dan Avoskin, sering mengangkat gambaran gaya hidup ideal, di mana kecantikan dipandang sebagai simbol kesuksesan dan penerimaan sosial. Dengan narasi seperti "cantik ideal", iklan-iklan ini menargetkan Gen Z untuk mencapai standar kecantikan yang digambarkan melalui produk mereka. Stereotip kecantikan, yang menghubungkan penampilan dengan harga diri dan prestasi, memperkuat tekanan sosial untuk mengonsumsi produk kecantikan secara berlebihan (Karunarathne & Thilini, 2022).Pengaruh Iklan terhadap Perilaku Konsumtif Generasi MudaIklan di media sosial memberi pengaruh kuat pada perilaku konsumtif generasi muda, terutama untuk produk yang sedang naik tren. Riset Taqwa dan Mukhlis (2023) menegaskan adanya hubungan: makin sering terpapar iklan, makin besar kemungkinan untuk membeli. Dampak ini tampak jelas pada kalangan mahasiswa yang mudah tergoda produk fesyen dan gawai populer akibat arus iklan yang intens, khususnya di Instagram dan TikTok. Beberapa faktor yang mendorong perilaku konsumtif di kalangan generasi muda yaitu psikologis. Perilaku ini dapat terjadi karena adanya tekanan sosial dan keinginan untuk mendapatkan pengakuan diri menjadi dorongan utama, di mana generasi muda merasa perlu mengikuti tren atau gaya hidup yang dipromosikan dalam iklan. Berikutnya adalah karena adanya perkembangan teknologi yang memudahkan akses ke platform e-commerce seperti Shopee dan Tokopedia, serta adanya promosi diskon, meningkatkan pembelian impulsif. Selain itu, faktor sosial juga berperan besar dalam tumbuhnya perilaku konsumtif pada generasi muda. Diketahui bahwa peran influencer sangat signifikan dalam mempengaruhi keputusan belanja di antara generasi muda, sekitar 68% mahasiswa mengaku membeli produk yang dipromosikan oleh influencer.Namun, dampak negatif dari perilaku konsumtif ini perlu diperhatikan. Dari sisi finansial, perilaku konsumtif yang tidak terkendali sering kali mengarah pada utang kartu kredit dan pengeluaran berlebih, yang dapat menyebabkan kesulitan keuangan jangka panjang. Secara psikologis, generasi muda dapat mengalami stres akibat ketidakpuasan diri atau perbandingan sosial, yang terjadi pada 62% dari mereka yang terlibat dalam pembelian impulsif Di platform seperti Instagram dan TikTok, pemasaran yang menonjolkan emosi, citra gaya hidup, dan stereotip mendorong konsumsi pada Gen Z (15–24 tahun). Paparan iklan yang intens, dukungan influencer, serta godaan diskon memicu belanja impulsif dan FOMO, berdampak pada tekanan finansial dan beban psikologis. Sekitar 62% anak muda melaporkan ketidakpuasan diri setelah mengikuti tren. Tanpa intervensi, pola ini cenderung menguat dan dapat menggerus stabilitas keuangan serta kesehatan mental generasi muda.Untuk mengurangi dampak buruk iklan terhadap perilaku konsumtif generasi muda, disarankan untuk meningkatkan literasi media dan keuangan melalui program pendidikan di sekolah dan universitas, serta mengadakan kampanye digital yang mengajarkan cara mengenali manipulasi emosional dalam iklan. Hal ini dapat mengurangi impulsivitas pembelian hingga 30-40%. Pemerintah juga perlu menetapkan kebijakan iklan yang lebih etis, seperti membatasi konten influencer yang mempromosikan konsumsi berlebihan dan mengawasi algoritma platform untuk mengurangi paparan iklan yang ditargetkan. Selain itu, intervensi perilaku seperti konseling keuangan dan promosi alternatif seperti investasi digital dapat membantu menciptakan pola konsumsi yang lebih berkelanjutan bagi Gen Z.