Mendalami Keterlibatan Siswa Laki-Laki dalam OSIS: Stereotip dan Realitas

Wait 5 sec.

Logo OSIS. Foto: ShutterstockOrganisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) adalah wadah resmi di tingkat sekolah yang berfungsi menampung aspirasi siswa serta menyelenggarakan kegiatan guna mengembangkan minat dan bakat mereka. Dalam dinamikanya, sering kali ditemukan fenomena dominasi siswi (siswa perempuan) dalam keanggotaan OSIS dibandingkan siswa putra (siswa laki-laki). Pertanyaannya: Mengapa ketidakseimbangan ini terjadi dan bagaimana teori sosiologi menjelaskannya?Faktor-Faktor Penyebab Ketidakseimbangan GenderRendahnya minat siswa putra untuk bergabung dengan OSIS didukung oleh beberapa faktor utama. Pertama, persepsi gender yang kuat di lingkungan sekolah. Lingkungan sekolah sering kali masih memegang teguh stereotip gender yang memengaruhi pilihan organisasi.Siswi cenderung dianggap lebih cocok untuk kegiatan organisasi seperti OSIS karena diasosiasikan dengan sifat teliti, rajin, dan komunikatif. Sebaliknya, siswa putra sering kali lebih condong pada aktivitas yang bersifat fisik dan kompetitif, seperti olahraga atau kegiatan yang dianggap lebih menantang secara fisik.Dokumentasi Pribadi.Kedua, lingkungan sosial dan tekanan teman sebaya. Dukungan sosial dan persetujuan teman sebaya memiliki peran besar dalam pengambilan keputusan siswa. Tak jarang, menjadi anggota OSIS dianggap kurang "maskulin" atau tidak "keren" di kalangan siswa putra, bahkan dicap sebagai "budak sekolah". Kekhawatiran akan penilaian negatif dari kelompok pertemanan (peer group) ini menyebabkan mereka enggan mendaftar, demi menjaga citra atau status sosial di lingkungan pergaulan.Fenomena Melalui Teori SosiologiFenomena ini dapat dijelaskan secara mendalam melalui teori peran sosial yang dicetuskan oleh Ralph Linton dan Talcott Parsons.Teori Peran Sosial Ralph LintonMenurut Linton, setiap individu dalam masyarakat memiliki status yang melekat, dan dari status tersebut diharapkan ada peran yang harus dijalankan. Dalam konteks sekolah, siswa putra secara sosial diharapkan menonjol dalam bidang non-akademik yang membutuhkan kekuatan fisik, seperti olahraga atau kompetisi, sementara siswi diasosiasikan dengan bidang yang menuntut kerapian dan ketelitian—yang dianggap selaras dengan tugas-tugas administratif OSIS. Ketidaksesuaian antara peran gender yang diharapkan dengan tugas OSIS menjadi penghalang bagi siswa putra.Ilustrasi anak SMA perempuan. Foto: ShutterstockTeori Fungsionalisme Struktural Talcott ParsonsParsons memandang masyarakat sebagai sebuah sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian (institusi, kelompok, individu) yang saling terkait dan berfungsi untuk menjaga keteraturan. Dalam sistem sekolah, pembagian peran berdasarkan gender dianggap sebagai bagian dari struktur yang ada. Dominasi siswi di OSIS dapat dilihat sebagai manifestasi dari pembagian peran fungsional yang telah diterima secara sosial di mana peran-peran "pengatur" atau "administratif" cenderung diisi oleh siswi demi menjaga kestabilan sistem.Peran OSIS dalam Mengembangkan Keterampilan Kerja Sama TimTerlepas dari dinamika gender yang ada, OSIS berfungsi sebagai wadah penting yang tidak hanya menampung aspirasi, tetapi juga mengajarkan berbagai keterampilan krusial, salah satunya adalah kemampuan kerja sama tim (teamwork).Ketika siswa bergabung dengan OSIS, mereka memasuki lingkungan yang menuntut kolaborasi intensif. Dalam setiap kegiatan yang diorganisasi, anggota OSIS belajar untuk berbagi ide, mendengarkan secara aktif, dan menyatukan beragam perspektif. Proses ini mengajarkan mereka cara memberikan dan menerima aspirasi secara konstruktif.Ilustrasi pelajar SMA. Foto: Shutter StockMisalnya, saat merencanakan sebuah acara, mereka harus berdiskusi, membagi tugas, dan mencapai kesepakatan bersama. Interaksi ini menanamkan kesadaran bahwa setiap suara memiliki nilai dan setiap kontribusi (sekecil apa pun) dapat memengaruhi hasil akhir.Kolaborasi ini juga melatih siswa untuk menghargai perbedaan. Di dalam tim, mungkin ada anggota yang dominan berbicara dan ada pula yang lebih pendiam. OSIS memberikan ruang agar semua suara didengar, melatih anggota yang lebih aktif untuk membantu mengangkat suara rekan yang kurang percaya diri. Dengan demikian, siswa belajar tentang empati dan toleransi, dua nilai fundamental dalam kerja sama tim.Selain itu, pengalaman di OSIS merupakan lahan subur untuk melatih keterampilan manajerial dan kepemimpinan. Siswa diberi kesempatan untuk mengambil inisiatif, memimpin proyek, dan mengatasi tantangan kolektif. Mereka belajar untuk merencanakan, mengatur, dan melaksanakan tugas sambil memastikan bahwa semua anggota tim terlibat dan berkontribusi.Ilustrasi kursi dan menja sekolah. Foto: ShutterstockKeterampilan berharga ini menjadi kunci sukses; tidak hanya di lingkungan sekolah, tetapi juga di dunia profesional di mana kerja sama tim adalah prasyarat utama untuk mencapai tujuan bersama.Melalui pengalaman berharga ini, siswa tidak hanya mengembangkan keterampilan sosial yang kuat, tetapi juga membangun kepercayaan diri. Mereka menyadari kemampuan mereka untuk bekerja dengan orang lain, menyelesaikan masalah, dan mencapai tujuan kolektif yang lebih besar. Pada saat yang sama, OSIS turut menciptakan ikatan persahabatan yang erat, membangun jaringan sosial yang bermanfaat hingga di luar masa sekolah.Oleh karena itu, keikutsertaan dalam OSIS lebih dari sekadar partisipasi kegiatan sekolah. Ini adalah proses belajar menjadi bagian dari sebuah tim, memahami kekuatan dan kelemahan diri serta orang lain, dan menciptakan dampak yang lebih besar daripada usaha individual. Pengalaman ini membentuk fondasi yang kokoh, mempersiapkan siswa untuk menghadapi tantangan masa depan dengan percaya diri dan keterampilan yang esensial.