Ilustrasi- Siswa SMAN 1 Kalirejo Lampung Tengah sedang membawa makanan dari program MBG. ANTARA/Ruth Intan Sozometa Kanafi.BOGOR- Kasus keracunan massal yang menimpa 24 siswa dan 1 guru di SDN 12 Benua Kayong, Ketapang, Kalimantan Barat, akibat mengonsumsi menu berbasis ikan hiu goreng menuai sorotan serius. Pakar gizi menegaskan ikan hiu sangat tidak layak dikonsumsi, terutama oleh anak-anak, karena bahaya kandungan logam berat yang mematikan.Dosen dari Program Studi Manajemen Industri Jasa Makanan dan Gizi, Sekolah Vokasi IPB University, Rosyda Dianah memperingatkan bahwa ikan hiu bukanlah bahan pangan yang aman untuk anak-anak karena kandungan logam berat di dalamnya.Rosyda menjelaskan, hiu berada di puncak rantai makanan sehingga sangat mudah mengakumulasi zat beracun seperti merkuri, arsenik, dan timbal melalui proses yang disebut biomagnifikasi."Hiu adalah predator puncak yang mudah mengakumulasi merkuri, arsenik, dan timbal melalui proses biomagnifikasi. Akumulasi ini menjadikan daging hiu berbahaya jika dikonsumsi manusia," tegas Rosyda dalam keterangannya, dikutip Senin, 6 Oktober 2025.Merkuri, Arsenik, dan Timbal Ancam Saraf AnakMenurut Rosyda, bahaya utama terletak pada metil merkuri yang bersifat toksik. Akumulasi zat ini dapat memicu gejala mual, muntah, sakit kepala, hingga gangguan saraf serius."Anak-anak adalah kelompok yang paling rentan terhadap efek toksik ini," tambahnya.Tak hanya merkuri, sirip hiu juga diketahui menyimpan arsenik dalam kadar tinggi yang berisiko merusak hati, ginjal, kulit, dan paru-paru. Sementara itu, kandungan timbal pada daging hiu berpotensi menyebabkan kejang, koma, bahkan kematian.Rosyda pun secara tegas menilai pemilihan ikan hiu untuk menu program Makan Bergizi Gratis (MBG) adalah keputusan yang salah.“Pemilihan ikan hiu sebagai bahan menu Makan Bergizi Gratis (MBG) jelas tidak tepat, apalagi untuk konsumsi anak sekolah,” tegasnya.Konsep B2SA Wajib Jadi PedomanLebih lanjut, Rosyda menyarankan agar penyusunan menu anak-anak wajib berpedoman pada konsep B2SA, yaitu beragam, bergizi, seimbang, dan aman."Makanan harus dipilih dari bahan yang aman, mudah diterima anak-anak, serta sesuai kemampuan daya beli masyarakat," katanya.Selain pemilihan bahan, Rosyda juga menekankan pentingnya standar kebersihan dapur dan sistem distribusi makanan yang ketat. Ia menyoroti pentingnya dapur sehat yang bebas kontaminasi silang, memiliki fasilitas cuci tangan memadai, dan standar pengendalian hama."Alur kerja yang sistematis, pemisahan bahan mentah dan matang, serta distribusi makanan tepat waktu sangat berpengaruh pada keamanan pangan," jelasnya.Kasus di Ketapang ini, menurut Rosyda, harus menjadi pelajaran berharga. Ia menutup pernyataannya dengan peringatan keras: “Anak-anak tidak boleh dijadikan korban dari kelalaian dalam penyusunan menu dan pengelolaan makanan. Konsep B2SA harus menjadi pedoman utama.”