Dari Bayonet ke Drone: 80 Tahun TNI Menjaga Kemerdekaan Indonesia

Wait 5 sec.

Defile TNI. Sumber Gambar: ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/wpa/tomDi sebuah pos terdepan di perbatasan, sang surya mulai menyapa. Seorang prajurit TNI, dengan mata yang terjaga sepanjang malam, memandang ke arah garis horizon. Di sanalah kedaulatan Indonesia dimulai. Ribuan kilometer dari ibukota, di tengah kesunyian lautan atau di balik rimbunnya hutan perbatasan, ada mereka yang berdiri tegak. Mereka adalah Tentara Nasional Indonesia (TNI), penjaga kesatuan Nusantara yang selama 80 tahun tak pernah lelah mengawal denyut nadi Ibu Pertiwi. Sejak kelahirannya pada 5 Oktober 1945, TNI bukan sekadar institusi militer; ia adalah jiwa yang menyatu dengan rakyat, garda terdepan pembela Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD 1945. Dalam setiap napas perjuangan bangsa, dari medan tempur hingga misi kemanusiaan di dalam dan luar negeri, TNI hadir dengan semangat "manunggal" bersama rakyat.Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 oleh Presiden Sukarno dan Wapres Bung Hatta, ancaman nyata terhadap kemerdekaan langsung muncul. Datangnya tentara sekutu yang dipimpin Inggris datang dengan tujuan utama melucuti senjata tentara Jepang dan memulangkan sisa-sisa tentara Jepang, malahan membawa rombongan Administrasi Sipil Hindia Belanda (NICA) untuk mendirikan ulang pemerintah kolonial Hindia Belanda. Saat itu bangsa muda yang baru saja merdeka terancam layu sebelum berkembang, namun seluruh rakyat Indonesia yang baru saja merdeka menolak tunduk kepada kekuatan penjajah, kolonialis, dan imperialis Belanda dan sekutunya kemudian angkat senjata melawan.Walhasil terbentuklah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada 5 Oktober 1945 demi melawan penjajah Belanda yang di kemudian hari pada 1946 berubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan pada 1947 berubah menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI) hingga sekarang. Hari terbentuknya TKR inilah yang diakui sebagai hari berdirinya TNI. Terbentuknya TNI bukanlah berasal dari kekuatan asing, melainkan dari peluh rakyat yang baru saja memproklamasikan kemerdekaan.Di saat negeri Indonesia masih miskin, penuh luka penjajahan, dan belum punya apa-apa, rakyatlah yang secara sukarela mengangkat senjata. Dari laskar pemuda, bekas tentara PETA, bekas tentara KNIL, hingga petani, buruh, dan santri yang rela meninggalkan sawah dan kitabnya, bahkan berbagai unsur rakyat lintas suku dan agama mereka mengesampingkan perbedaan di antara mereka demi bersatu menjadi tentara rakyat yang siap membela dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.Ada satu kondisi di mana Republik Indonesia hampir bubar, karena kota Yogyakarta sudah diduduki oleh Belanda pada 19 Desember 1948. Di kemudian hari Sukarno dan Hatta ditangkap oleh Belanda, namun TNI tidak menyerah dan tetap bergerilya di bawah komando Jenderal Sudirman di hutan-hutan. Walhasil dibentuklah Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) pada 22 Desember 1948 yang dipimpin oleh Syafruddin Prawiranegara.Dengan takluknya Kota Yogyakarta dan ditangkapnya Sukarno-Hatta, kemudian Belanda dengan sesumbar berani mengatakan bahwa Republik Indonesia sudah tidak ada lagi. Tanpa disangka Belanda terjadi serangan yang menggentarkan Belanda dan membuka mata dunia. Terjadi Serangan Umum 1 Maret 1949 yang dipimpin oleh Letkol Suharto, yang di kemudian hari menjadi Presiden Indonesia. Serangan yang terjadi 6 jam terjadi di Kota Yogyakarta tersebut, kemudian menyalakan kembali nyala api perjuangan kemerdekaan Indonesia di dunia. Walhasil klaim dan kesombongan Belanda berhasil dipatahkan, TNI tidak kalah. Mereka masih bergerilya di hutan-hutan untuk melawan penjajahan Belanda.Hasil dari Serangan Umum 1 Maret 1949 tersebut kembali menyalakan semangat juang demi tegaknya kemerdekaan Indonesia. Hasil lanjutan dari serangan itu yang kemudian menginisiasi terjadinya Konferensi Inter-Indonesia yang di kemudian hari melanjutkan perjuangan diplomasi Indonesia. Alhamdulillah— pengorbanan keringat, jiwa, raga, darah, dan nyawa rakyat Indonesia terbayar dengan penyerahan kedaulatan secara resmi oleh Belanda ke Indonesia pada 27 Desember 1949 lewat Konferensi Meja Bundar (KMB). Indonesia resmi merdeka dan diakui oleh dunia internasional bahkan masuk menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan dapat berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia.Dari Revolusi Fisik hingga Menjaga Kesatuan IndonesiaSejumlah prajurit Komando Pasukan Khusus (Kopassus) mengikuti defile pasukan saat gladi bersih Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Monas, Jakarta, Jumat (3/10/2025). Foto: Fauzan/ANTARA FOTOSejarah panjang Indonesia tidak bisa dilepaskan dari peran TNI. Di masa Revolusi Fisik 1945–1949 melawan penjajah Belanda, pasukan TNI bahu membahu dengan rakyat menghadapi kekuatan kolonial Belanda yang ingin kembali menguasai Nusantara. Berbagai pertempuran mulai dari Pertempuran Surabaya 10 November 1945, Pertempuran Ambarawa, hingga perang gerilya di bawah komando Jenderal Soedirman adalah bukti nyata bahwa TNI dan rakyat adalah satu tubuh, satu napas, satu perjuangan.Bahkan ketika Indonesia sedang berjuang melawan penjajahan Belanda dalam mengahadapi agresi militer Belanda, sudah mulai ada rongrongan terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia muncul Pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun pada 18 September 1948 yang dipimpin Musso. Bukannya menyatukan kekuatan bersama melawan Belanda, malahan PKI punya agenda sendiri untuk mendirikan Republik Soviet Indonesia di Madiun. Menghadapi situasi itu Presiden Sukarno berpidato di depan rakyat di Yogyakarta ia bertanya: “rakyat ikut Sukarno-Hatta atau Musso?” dengan kompak rakyat pun berkata bahwa mereka ikut Sukarno-Hatta. Kita tahu pada akhirnya Pemberontakan PKI di Madiun dapat ditumpas, Musso sendiri mati di tangan TNI pada saat itu.Penumpasan pemberontakan PKI ini turut menguntungkan perjuangan kemerdekaan Indonesia, karena memberikan bukti kepada Amerika Serikat dan Blok Barat bahwa Sukarno-Hatta bukanlah komunis sebagaimana tudingan Belanda, walhasil Amerika Serikat mulai menekan Belanda agar mau berunding secara serius dengan Indonesia. Bahkan Amerika mengancam akan memotong dana Marshall Plan yang sangat dibutuhkan Belanda untuk membangun kembali negerinya pasca Perang Dunia II, tentunya Belanda dengan terpaksa mau mulai berunding dan akhirnya memberikan kemerdekaan Indonesia.Pemberontakan PKI Madiun 1948 bukanlah upaya pertama untuk merongrong persatuan Indonesia. Muncul juga berbagai gerakan separatis lainnya yang hendak memisahkan dan memecahkan persatuan rakyat Indonesia seperti Pemberontakan DI/TII di bawah S.M. Kartosuwiryo, pemberontakan DI/TII muncul di Jawa Barat, Jawa Tengah, Aceh, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan. Kemudian juga muncul Pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA), Pemberontakan Andi Azis, Pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS), Pemberontakan Pemerintahan Republik Revolusioner Indonesia/Perjuangan Semesta (PRRI/Permesta), Pemberontakan Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI), Pemberontakan Pasukan Gerilya Rakyat Sarawak/Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (GPRS/Paraku), Pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Pemberontakan Organisasi Papua Merdeka (OPM), serta Pemberontakan Front Revolusioner untuk Kemerdekaan Timor Timur (Fretilin).Para pemberontak itu beragam motifnya, ada yang ingin memisahkan diri dari Republik Indonesia (separatisme) dan ada yang ingin mengganti ideologi Pancasila, ideologi negara yang sah dengan ideologi lainnya. Yang jelas apa pun niatnya, para pemberontak tersebut hendak memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa serta mengakibatkan banyaknya rakyat sipil tak berdosa yang akhirnya mati mengenaskan di tangan mereka.Munculnya berbagai pemberontakan tersebut tentunya bukanlah hal yang mudah untuk dihadapi, Terlebih lagi Indonesia baru saja merdeka dan belum stabil negaranya. Yang menyedihkan banyak pemberontak tersebut adalah orang-orang yang dulu ikut berjuang untuk memerdekakan Indonesia. Namun karena kekecewaan dan ego sektoral para pelaku pemberontakan yang melebihi jiwa dan semangat kebangsaan mereka, akhirnya membuat mereka memilih untuk berontak ketimbang dialog dan mencegah perpecahan bangsa. Mungkin ada benarnya perkataan Sukarno: "Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, namun perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri."Meskipun bermunculan berbagai gerakan pemberontakan dan separatisme, namun TNI tidak perah gentar dalam melawan pemberontakan dan tetap semangat menjaga persatuan serta kesatuan bangsa. Ketika TNI harus berangkat dalam peperangan melawan bangsa sendiri dalam berbagai pemberontakan tersebut, alhamdulillah TNI berhasil melewatinya dan selalu siap maju ke medan tugas demi memenuhi panggilan Ibu Pertiwi. Jika saja TNI tidak mengorbankan keringat, jiwa, darah, tenaga, dan nyawa untuk menumpas pemberontakan dan gerakan separatisme teresbut, mungkin saja bendera “Sang Saka Merah Putih” tidak akan berkibar dari Sabang hingga Merauke.Operasi-Operasi Heroik TNI di Darat, Laut, dan UdaraIlustrasi Pasukan TNI. Foto: YouTube/ Puspen TNI Perjalanan bangsa Indonesia tidak bisa dipisahkan dari kisah pengorbanan dan keberanian TNI. Di balik setiap jengkal tanah yang kini kita pijak dengan damai, ada keringat dan darah para prajurit yang berjuang tanpa pamrih demi kehormatan Merah Putih. Dari udara yang bergetar oleh raungan jet tempur, dari laut yang bergelora diterjang kapal perang, hingga tanah yang diguncang langkah pasukan infanteri—TNI selalu hadir, tegak di garis depan sejarah.Salah satu bab paling gemilang dari kisah itu adalah Operasi Trikora (Tri Komando Rakyat). Pada 19 Desember 1961, Presiden Sukarno menggelorakan pidato bersejarah di Yogyakarta, menyerukan agar seluruh rakyat Indonesia bersiap merebut kembali Irian Barat dari tangan kolonial Belanda. “Kobarkan semangat Trikora! Ganyang Nekolim!” seru Bung Karno, dan gema pekik itu mengguncang seluruh Nusantara.TNI menjawab panggilan sejarah itu dengan totalitas. Di darat, laut, dan udara, mereka bahu-membahu dalam misi suci mempertahankan martabat bangsa. Di balik strategi besar Trikora, tampil sosok muda yang kelak menjadi tokoh sentral dalam sejarah Indonesia: Mayor Jenderal Suharto, Panglima Komando Mandala Operasi Trikora yang ditunjuk langsung oleh Presiden Sukarno untuk merebut balik Papua ke pangkuan Indonesia. Belanda ingkar janji dan wanprestasi terhadap kesepakatan Konferensi Meja Bundar yang menyatakan akan membahas soal Papua satu tahun kemudian pasca perjanjian. Walhasil tidak ada opsi lagi untuk merebut kembali Papua selain opsi militer.Soeharto, yang kala itu menjabat sebagai Panglima Mandala, memimpin ribuan prajurit dari berbagai matra dalam sebuah operasi yang memadukan taktik gerilya dan strategi diplomasi militer modern. Dari markasnya di Makassar, ia menyusun strategi penyusupan pasukan ke pedalaman Irian Barat, menyiapkan rencana pendaratan amfibi, serta mengkordinasikan kekuatan darat, laut, dan udara. Di bawah kepemimpinannya, pasukan TNI melancarkan berbagai operasi rahasia—dari infiltrasi ke wilayah musuh hingga penyusupan udara oleh pasukan RPKAD (kini Kopassus).Kesiapan Indonesia yang ditunjukkan oleh pasukan TNI di bawah Komando Mandala ini membuat Belanda dan dunia terguncang. Armada kapal perang, jet tempur MiG-17, dan pasukan marinir Indonesia siap bertempur habis-habisan. Dunia pun menunduk dan mengakui keteguhan bangsa muda ini. Walhasil, lewat perundingan diplomatik yang ditopang oleh kekuatan militer TNI, Belanda akhirnya menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia pada 1 Mei 1963. Sebuah kemenangan yang bukan hanya diplomatik, melainkan simbol supremasi kedaulatan bangsa.Tidak lama berselang, Indonesia kembali menunjukkan giginya dalam Operasi Dwikora (Dwi Komando Rakyat) pada 1964–1966. Ketika Federasi Malaysia didirikan dengan dukungan Inggris dan Amerika Serikat, Bung Karno menyebutnya sebagai bentuk “neo-kolonialisme” di Asia Tenggara. TNI menjadi ujung tombak dari kebijakan luar negeri yang berani dan independen. Ribuan pasukan diterjunkan ke Kalimantan dan Semenanjung Malaya, menyeberangi hutan belantara, sungai, dan rawa demi menjaga martabat bangsa.Dwikora bukan sekadar operasi militer, tetapi manifesto politik bangsa merdeka: bahwa Indonesia tak akan tunduk kepada hegemoni siapa pun. Semangat berdikari—berdiri di atas kaki sendiri—menjadi napas seluruh prajurit yang berangkat tanpa pamrih, hanya membawa satu keyakinan: kemerdekaan harus dijaga dengan keberanian.Kemudian, tahun 1975 menorehkan bab baru dalam sejarah TNI melalui Operasi Seroja di Timor Timur. Operasi militer terbesar dalam sejarah Indonesia ini digelar untuk mempertahankan kedaulatan Indonesia di era Perang Dingin dan mencegah berpotensi menjadi pangkalan kekuatan komunis di selatan Nusantara. Di bawah terik matahari Timor, prajurit TNI menghadapi medan perang yang berat: bukit terjal, lembah panas, dan perlawanan yang sengit. Ribuan TNI banyak yang gugur, tetapi tekad mereka tidak pernah luntur. Operasi ini menjadi bukti bahwa TNI selalu siap menjawab panggilan bangsa, bahkan ketika taruhannya adalah nyawa.Namun perjuangan TNI tidak hanya di medan perang antarnegara. Ketika Indonesia dilanda konflik horizontal di Ambon, Poso, dan Sampit pada awal Reformasi, TNI kembali hadir dengan wajah kemanusiaan. Mereka bukan hanya membawa senjata, tetapi juga membawa harapan dan ketenangan. Di tengah api kebencian dan air mata, para prajurit menjadi perisai yang melindungi rakyat dan menegakkan perdamaian. Mereka bukan hanya pasukan tempur, tetapi penjaga harmoni, pemelihara tenun kebangsaan yang sempat terkoyak.Dari Trikora yang menggetarkan dunia, Dwikora yang menegaskan kedaulatan, Seroja yang penuh pengorbanan, hingga misi-misi kemanusiaan di Poso, Ambon, dan Sampit, TNI membuktikan bahwa kekuatannya bukan semata-mata pada senjata, melainkan pada jiwa dan kesetiaan tanpa batas.Mereka yang bertempur di darat, berlayar di laut, dan terbang di udara adalah simbol dari satu tekad suci: “Sekali Merdeka, Tetap Merdeka.”TNI Melawan Terorisme dan Menegakkan HAMIlustrasi Pasukan TNI. Foto: YouTube/ Puspen TNI Selain terlibat berperang untuk mempertahankan kedaulatan Indonesia dan juga menumpas gerakan separatisme. TNI pun dalam lintasan sejarahnya terlibat berbagai misi penegakkan Hak Asasi Manusia (HAM) dengan membebaskan sandera yang ditawan oleh kelompok teroris dan separatis, serta menyelematkan nyawa warga sipil yang tak berdosa.Banyak kelompok-kelompok teroris ini tanpa malu menyelewengkan makna jihad, menistai agama Islam, menyerukan untuk membunuh warga sipil tidak berdosa dan seenaknya mengkafirkan orang-orang Muslim, seolah-olah mereka sendiri yang paling benar. Bermunculan kelompok teroris yang mengatasnamakan jihad dan mengatasnamakan diri seolah-olah mereka pembela agama, tentunya meresahkan dan menodai nama besar Islam. Padahal Islam sendiri mengajarkan perdamaian, bahkan tidak sedikit para teroris ini menginfiltrasi Indonesia. Padahal negara Indonesia yang dilawan oleh teroris itu, penduduknya mayoritas beragama Islam bahkan pemerintahan serta tentaranya saja mayoritas beragama Islam. Tindakan para teroris radikal ini bukan saja merongrong dan meresahkan rakyat Indonesia, namun juga mengancam perdamaian global.TNI sendiri memiliki kisah kegemilangan dalam melawan terorisme terlihat dengan keberhasilan operasi pembebasan sandera warga sipil tak berdosa yang tersandera di pesawat garuda yang dibajak oleh Komando Jihad (Komji) di Bandara Don Mueang, Bangkok, Thailand. Operasi pembebasan sandera ini dikenal dengan Operasi Woyla (1981). Walhasil Bangkok pun menjadi panggung dunia: pasukan elite Kopassus menyerbu pesawat dan menyelamatkan penumpang warga sipil tak berdosa. Dunia terperangah—Indonesia memiliki pasukan elite kelas dunia.Beberapa tahun kemudian, Operasi Mapenduma (1996) di pedalaman hutan Papua menjadi ujian lain, di mana para peneliti dari Indonesia dan luar negeri disandera oleh kelompok separatis OPM pimpinan Kelly Kwalik. Para sandera warga sipil tidak berdosa tersebut kemudian dibebaskan lewat Operasi Mapenduma yang dipimpin oleh seorang perwira Kopasus yang gagah berani yakni Prabowo Subianto; yang kini menjadi Presiden Indonesia.Para sandera tersebut adalah para ilmuwan yang terdiri dari 20 warga negara Indonesia, empat warga negara Inggris, dan dua warga negara Belanda – yang terakhir termasuk seorang wanita hamil dan semuanya merupakan bagian dari misi World Wide Fund (WWF) yang melakukan penelitian keanekaragaman hayati. Berkat keberanian dan ketangguhan serta Kopasus yang dipimpin oleh Komandan Prabowo Subianto, dapat membebaskan sandera tidak berdosa itu lewat strategi dan taktik militer yang tepat. Dibebaskannya para sandera di hutan belantara Papua, menjadi saksi keberanian TNI untuk tidak mundur menghadapi resiko apa pun.Di era modern, TNI menunjukkan tajinya di panggung global. Operasi pembebasan kapal MV Sinar Kudus (2011) dari bajak laut Somalia menggetarkan samudra internasional. Dengan kecepatan dan presisi, pasukan TNI menumpas para perompak dan menyelamatkan awak kapal. Begitu pula ketika TNI mengevakuasi WNI dari cengkeraman Abu Sayyaf di Filipina pada tahun 2016 dengan sebuah pesan jelas: di manapun nyawa rakyat Indonesia terancam, TNI hadir.Memasuki abad ke-21, musuh bangsa tidak hanya berupa kolonialisme atau pemberontakan bersenjata, melainkan juga terorisme global. TNI pun berdiri tegak. Operasi Madago Raya (dulu bernama Operasi Tinombala) di Poso, Sulawesi Tengah melawan Mujahidin Indonesia Timur menunjukkan pengorbanan yang sepi dari sorotan publik. Prajurit bertaruh nyawa agar anak-anak bisa belajar, petani bisa menanam, dan jamaah bisa beribadah tanpa ketakutan.Dalam konflik horizontal di Ambon, Poso, hingga Sampit, TNI hadir bukan hanya dengan senjata, tetapi juga dengan hati: meredakan ketegangan, merajut damai, dan mengingatkan rakyat bahwa darah yang tumpah adalah darah sesama anak bangsa.Bahkan TNI terlibat dalam berbagai misi kemanusiaan untuk menegakkan perdamaian dunia dan menyelamatkan nyawa manusia di berbagai belahan dunia lewat keterlibatan Kontingen Garuda (Konga), unit pasukan Indonesia yang ditugaskan untuk menjadi bagian dari Pasukan Perdamaian PBB. Indonesia terlibat cukup aktif dalam mengirimkan pasukan perdamaian dan menjadi bagian dari solidaritas kemanusiaan global, sesuai dengan Sila 2 Pancasila: “Kemanusiaan yang adil dan beradab.”Penutup: Dari Laras Senapan ke DroneTNI kini terus memperbarui dirinya dengan memodernisasi alat utama sistem persenjataan (alutsista) dengan tidak hanya menyiapkan tank, jet, dan kapal selam. Mereka menyiapkan teknologi paling mutakhir di abad 21 di era kecerdasan buatan (AI) dengan menyiapkan pasukan siber, satelit, membeli drone canggih, hingga kesiapan diplomasi militer.Modernisasi alutsista dijalankan bukan sekadar untuk pamer kekuatan, tetapi sebagai bentuk kesadaran strategis menghadapi era baru: abad ke-21, abad kecerdasan buatan (AI) dan perang siber tanpa batas.Namun di balik teknologi modern itu, jati diri TNI tetap sama: tentara rakyat, tentara pejuang, tentara nasional.Hari ini, ketika kita merayakan HUT TNI ke-80, mari kita sejenak menundukkan kepala dengan penuh syukur dan bangga. Bayangkan jika bangsa ini tidak memiliki TNI: mungkin bendera Merah Putih hanya tinggal sejarah, mungkin Pancasila dan UUD 1945 hanya menjadi catatan usang, mungkin NKRI telah tercerai-berai. Tetapi syukurlah, Indonesia memiliki para prajurit gagah berani dan setia mempertahankan Indonesia agar tetap tegak dalam panggung sejarah.Berkat TNI, jutaan rakyat bisa tidur nyenyak di malam hari. Berkat TNI, anak-anak bisa belajar di sekolah tanpa rasa takut. Berkat TNI, petani bisa menanam padi, nelayan bisa melaut, dan para buruh serta karyawan bisa bekerja. Semua itu terjadi karena ada prajurit yang rela berjaga di garis perbatasan, di gunung, di hutan, di lautan, dan di udara. Mereka mungkin tidak dikenal, wajahnya tidak muncul di layar televisi, tetapi tanpa mereka, tidak ada yang namanya Indonesia yang merdeka dan berdaulat.