Eksklusif: Ketua Umum PWI Pusat Akhmad Munir Tegaskan Tak Ada Penyensoran terhadap Wartawan

Wait 5 sec.

Ketua Umum PWI Pusat Akhmad Munir berharap agar penarikan identitas wartawan tak terulang lagi. (Foto: Bambang Eros VOI, DI: Raga Granada VOI)Hebohnya penarikan kartu identitas salah seorang wartawan yang bertugas di istana presiden membuat banyak pihak bersuara. Pasalnya, lewat penarikan itu muncul indikasi adanya penyensoran dan pengekangan terhadap kemerdekaan pers. Menurut Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, Drs. H. Akhmad Munir, tidak ada penyensoran terhadap wartawan. Kebebasan pers dijamin oleh undang-undang.***Persoalan ini sebenarnya sudah selesai setelah pihak Biro Pers, Media, dan Informasi (BPMI) Istana meminta maaf serta memulihkan kembali kartu identitas yang sempat ditarik tak lama setelah wartawan melakukan doorstop dengan Presiden Prabowo Subianto. Saat itu, wartawan menanyakan soal kasus keracunan dalam program MBG di sejumlah daerah.Padahal ketika itu Presiden merespons pertanyaan yang diajukan wartawan dengan baik. “Kalau presiden saja merespons dengan baik, mestinya Biro Pers dan Media juga begitu. Namun yang kita saksikan malah mencabut kartu identitas wartawan yang bertanya soal MBG. Mungkin ada yang misleading di internal Biro Pers dan Media sehingga aksinya seperti itu. Menurut saya, itu sebuah kekhilafan,” kata Munir.Dari peristiwa ini, kata Munir, banyak hal yang bisa dijadikan pelajaran. “Humas, BPMI Istana, atau public relations harus mengerti betul aturan hukum yang mengatur persoalan pers. Ada UUD 1945 Pasal 28 huruf F, UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, dan Kode Etik Wartawan. Selain itu, harus paham juga aturan turunan dari undang-undang yang mengatur persoalan pers,” ujarnya.Akhmad Munir berharap penarikan kartu identitas seperti ini tidak terulang di masa mendatang. “Kami berharap peristiwa seperti ini tak terjadi lagi di masa yang akan datang. Biro Pers, Media, dan Informasi (BPMI) Istana harus paham betul apa tugas wartawan, dan harus saling menghormati dalam menjalankan tugas masing-masing. Kewajiban wartawan adalah bertanya, hak narasumber untuk merespons, karena masyarakat punya hak untuk tahu,” ujar Akhmad Munir kepada Edy Suherli, Bambang Eros, dan Dandi Juniar dari VOI yang menemuinya di Kantor PWI Pusat, bilangan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, 30 September 2025.Petugas Humas, BPMI Istana dan public relation, kata Ketua Umum PWI Pusat Akhmad Munir harus belajar dari penarikan identitas wartawan yang bertugas Istana. (Foto: Bambang Eros VOI, DI: Raga Granada VOI)Apakah PWI menilai penarikan kartu liputan wartawan yang bertugas di Istana, meskipun sudah terjadi perdamaian, mengandung indikasi pembungkaman atau sensor berbasis isi pertanyaan?Kejadian kemarin soal pencabutan kartu identitas rekan kita yang bertugas di Istana memang tidak bisa dibenarkan. Itu melanggar undang-undang dan regulasi yang berlaku di negeri ini. Mulai dari UUD 1945 Pasal 28 huruf F, yang menyatakan bahwa masyarakat berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi. Peristiwa ini juga melanggar UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang menegaskan bahwa kemerdekaan pers dijamin dan tidak boleh ada pemberedelan maupun penyensoran terhadap Pers Nasional. Wartawan dalam menjalankan tugas jurnalistiknya mendapat perlindungan hukum.Saat doorstop dengan wartawan, Presiden Prabowo masih menanggapi pertanyaan soal MBG. Namun setelah itu ada pencabutan kartu identitas wartawan. Apakah ini bentuk overacting dari petugas yang membidangi urusan pers?Ya, saat itu respons Presiden sangat baik dan menanggapi dengan bijak pertanyaan wartawan terkait dinamika MBG. Artinya, Presiden tidak anti terhadap pertanyaan wartawan, bahkan beliau tampak serius dalam menangani persoalan MBG. Kalau Presiden saja merespons dengan baik, mestinya Biro Pers dan Media juga bersikap demikian. Namun yang kita saksikan justru pencabutan kartu identitas wartawan yang bertanya soal MBG. Mungkin ada yang misleading di internal Biro Pers dan Media sehingga terjadi tindakan seperti itu. Menurut saya, itu sebuah kekhilafan.Dan setelah berbagai instansi, lembaga, dan organisasi profesi bersuara akhirnya kartu identitas wartawan itu dipulihkan. Bagaimana tanggapan Anda?Dewan Pers, PWI, dan asosiasi pers lainnya memang kompak bersuara soal ini. Kami berharap peristiwa seperti ini tidak terjadi lagi di masa mendatang. Biro Pers, Media, dan Informasi (BPMI) Istana harus benar-benar memahami apa tugas wartawan. Harus ada saling menghormati dalam menjalankan tugas masing-masing. Kewajiban wartawan adalah bertanya, dan hak narasumber adalah merespons, karena masyarakat memiliki hak untuk tahu.Setelah persoalan ini dianggap selesai, adakah langkah nyata dari PWI bersama organisasi profesi lainnya agar kasus serupa tidak terulang?Kami mengapresiasi BPMI Istana yang sudah merespons dengan cepat suara Dewan Pers dan organisasi profesi, termasuk PWI. Mereka mengakui kesalahannya dan meminta maaf. Itu merupakan sikap kesatria dan bentuk penyesalan yang patut diapresiasi. Sekali lagi, semoga hal seperti ini tidak terulang di masa yang akan datang.Dan ini bukan hanya untuk di Istana, tapi juga di semua instansi dan lembaga, baik pemerintah maupun swasta. Kemerdekaan pers dijamin oleh undang-undang. Semua pihak harus menghormati kerja-kerja jurnalistik dan menjamin kebebasan pers. Kita semua bisa belajar dari kasus ini.Ketua Umum PWI Pusat Akhmad Munir menegaskan bahwa kebebasan pers di negeri ini dijamin oleh konstitusi dan UU. (Foto: Bambang Eros VOI, DI: Raga Granada VOI)Apakah PWI memiliki posko pengaduan bagi wartawan yang mengalami tindakan seperti ini?Kami memiliki posko pengaduan bagi siapa pun yang mengalami gangguan dalam proses kerja jurnalistik. Termasuk juga bagi masyarakat yang merasa dirugikan oleh praktik jurnalistik yang tidak benar yang dilakukan oleh oknum wartawan. Kami akan bertindak jika ada anggota kami yang melanggar aturan dan kode etik.Apakah banyak kasus yang masuk dan mengadu ke posko PWI?Ya, terutama di daerah, banyak laporan yang berkaitan dengan kasus-kasus tertentu hasil investigasi wartawan.Apakah PWI mendorong adanya MoU atau Pedoman Bersama antara Istana dan komunitas pers untuk melarang sanksi berbasis konten pertanyaan?PWI dan organisasi profesi kewartawanan lainnya adalah konstituen Dewan Pers. Saat Dewan Pers membuat MoU dengan Polri, Kejaksaan, dan pihak lainnya, kami menjalankan apa yang disepakati dalam MoU tersebut. Misalnya dalam kasus kriminalisasi wartawan, kekerasan terhadap wartawan, dan sebagainya. Dalam hal ini, kerja wartawan ditindaklanjuti dengan perlindungan hukum yang maksimal.Apakah PWI akan mendorong adanya MoU serupa dengan Istana?Saya kira ini ide yang baik dan bisa direalisasikan, apalagi jika dianggap perlu untuk menjaga kebebasan pers dan memperjelas batasan peran masing-masing.Apakah seorang pejabat publik perlu dibatasi dalam menerima pertanyaan dari wartawan, apalagi jika berkaitan dengan persoalan penting?Saya kira tidak perlu ada pembatasan. Wajar jika wartawan menanyakan hal-hal penting seperti dalam kasus MBG. Yang penting, pertanyaan disampaikan dengan santun. Bagus jika wartawan meminta tanggapan dari pejabat, apalagi dari Presiden. Kalaupun belum bisa menjawab secara tuntas, tidak masalah, bisa dilanjutkan di kesempatan lain. Wartawan juga tidak boleh memaksa jika narasumber belum siap.Dan saat doorstop di Bandara Halim Perdanakusuma itu, Presiden menjawab dengan bijaksana. Beliau bahkan berjanji akan memanggil Kepala BGN untuk menindaklanjuti kasus keracunan yang banyak terjadi.Apakah ada aturan untuk wartawan saat melakukan konferensi pers atau doorstop kepada narasumber?Ada. Saat jumpa pers atau doorstop, wartawan jangan sampai menggunakan alat yang mengganggu narasumber. Bertanyalah dengan sopan dan bergiliran. Itu sudah menjadi aturan yang berlaku. Jika wartawan menjalankan tugas dengan baik, narasumber pun akan merespons dengan baik juga.Apa pelajaran yang bisa dipetik dari peristiwa pencabutan kartu identitas wartawan Istana yang kemudian dipulihkan kembali?Pertama, peristiwa ini menjadi pengingat bagi pejabat yang mengurusi wartawan — baik humas, BPMI Istana, maupun public relations — agar benar-benar memahami aturan hukum yang mengatur persoalan pers. Ada UUD 1945 Pasal 28 huruf F, UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, dan Kode Etik Wartawan. Selain itu, mereka juga harus memahami aturan turunan dari undang-undang yang mengatur persoalan pers.Kalau sudah menguasai aturan dan regulasi yang berkaitan dengan dunia pers, saya kira peristiwa pencabutan sepihak kartu identitas liputan wartawan Istana kemarin itu tidak akan terjadi.Ini juga menjadi pembelajaran bagi wartawan untuk senantiasa menjunjung tinggi kode etik. Ketika kita menjalankan tugas dengan menaati kode etik, insyaallah kita akan menghasilkan karya jurnalistik yang baik, dan dalam berkomunikasi dengan narasumber siapa pun, kita akan dihormati.Dan wartawan tidak perlu takut menanyakan hal-hal penting dan krusial karena tugas wartawan dijamin undang-undang?Ya, betul sekali. Apalagi jika hal itu merupakan kebutuhan masyarakat untuk mengetahuinya. Itu yang harus diutamakan oleh wartawan, media, dan juga narasumber.Hakikatnya, antara pemerintah dan wartawan memiliki tujuan yang sama — sama-sama bekerja untuk kepentingan publik. Wartawan menyediakan kebutuhan publik dalam hal informasi, sedangkan pemerintah dan pejabat ingin menyampaikan informasi agar publik tahu. Jadi, keduanya semestinya bermitra untuk kepentingan masyarakat. Terpilih Sebagai Ketua Umum PWI Pusat, Ini Prioritas Akhmad MunirSetelah terpilih menjadi Ketua Umum PWI Pusat, Akhmad Munir bersama jajaran akan melaksanakan sejumlah program prioritas dan program pendukung. (Foto: Bambang Eros VOI, DI: Raga Granada VOI)Akhirnya dualisme yang terjadi di tubuh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) berakhir melalui Kongres Persatuan PWI 2025 yang berlangsung di Cikarang, Kabupaten Bekasi, pada 29–30 Agustus 2025. Dalam forum tersebut, Drs. H. Akhmad Munir terpilih sebagai Ketua Umum PWI Pusat periode 2025–2030. Apa saja program prioritas yang akan dilakukan pria yang akrab disapa Cak Munir ini?“Alhamdulillah, Kongres Persatuan PWI berjalan lancar. Dan saya terpilih sebagai Ketua Umum PWI Pusat yang baru,” kata pria yang juga menjabat sebagai Direktur Utama LKBN Antara ini.Hasil kongres tersebut menyudahi dualisme PWI yang telah berlangsung dua tahun. Sebelumnya, terdapat dua kepengurusan: PWI hasil Kongres Bandung 2023 yang dipimpin Hendry Ch Bangun, dan PWI versi Kongres Luar Biasa Jakarta 2024 yang diketuai Zulmansyah Sakedang.“Akhirnya kedua pihak memiliki kesadaran untuk kembali menyatukan PWI. Saya pun menyusun kabinet yang juga merupakan kabinet persatuan,” kata pria kelahiran Sumenep, 15 Desember 1966 ini.Tugas pertama Munir adalah mempersatukan kedua kubu yang sempat terpecah. “Saya sedang melakukan konsolidasi organisasi dengan mengakselerasi penyatuan kepengurusan ganda di provinsi dan kabupaten di seluruh Indonesia. Targetnya, akhir Oktober 2025 semua sudah selesai,” tegasnya.Langkah berikutnya adalah verifikasi ulang anggota. “Soalnya saat konflik kemarin, masing-masing kubu mengeluarkan kartu anggota sendiri. Ini harus diverifikasi agar anggota PWI benar-benar wartawan,” ujarnya.Hal lain yang juga menjadi perhatian, menurut Munir, adalah penyempurnaan PD/PRT (Peraturan Dasar dan Peraturan Rumah Tangga). “Konflik kemarin juga terjadi karena kelemahan PD/PRT. Kami akan menyempurnakannya, dan hasil revisi akan disahkan dalam Konferensi Nasional pada Februari 2026. Saya sudah membentuk tim penyempurnaan PD/PRT, tim penyelesaian dualisme, dan tim verifikasi keanggotaan,” terangnya. Diklat dan PelatihanKetua Umum PWI Pusat Akhmad Munir menegaskan kepada seluruh anggota PWI untuk patuh pada kode etik wartawan. (Foto: Bambang Eros VOI, DI: Raga Granada VOI)Selain tiga agenda utama tersebut, PWI juga akan fokus pada program pendidikan dan pelatihan. “Selama ini kami memiliki program Uji Kompetensi Wartawan (UKW), namun sempat dua tahun dihentikan oleh Dewan Pers. Sekarang program itu akan kami jalankan kembali karena sudah banyak permintaan dari daerah,” ujarnya.Akhmad Munir juga menambahkan, Sekolah Jurnalisme Indonesia (SJI) yang selama ini ada akan dijalankan kembali. Bersama Dewan Pers dan komunitas pers Indonesia, PWI akan memperkuat ekosistem pers nasional, terutama menghadapi ancaman disrupsi dari media global. “Ide ini mendapat respons positif dari Menteri Hukum, dan beliau berkomitmen memperkuatnya melalui jalur regulasi,” kata alumnus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Negeri Jember (UNEJ) ini.Munir juga menyoroti pentingnya Kepres tentang Publisher Rights yang akan diperkuat menjadi undang-undang agar pers Indonesia lebih berdaya saing dan sejajar dengan platform global. “Sekarang ini mereka menguasai kue iklan dan distribusi konten lokal. Ini perjuangan berat dan perlu persatuan seluruh insan pers,” tegasnya.Sebagai organisasi wartawan tertua dan terbesar di Indonesia, Munir menilai PWI harus dioptimalkan agar potensinya maksimal. “Pertama, kami tekankan bahwa wartawan PWI harus patuh pada kode etik. Kedua, insan pers harus bersama-sama dengan stakeholder bangsa untuk membangun komunikasi yang konstruktif. Pers berfungsi mencari kebenaran dan keadilan,” ujarnya. Menguatkan PWIDi era sekarang wartawan, kata Ketua Umum PWI Pusat Akhmad Munir harus beradaptasi dengan teknologi. Penggunaan AI misalnya, ini bisa jadi alat bantu dalam melaksanakan kerja-kerja kewartawanan. (Foto: Bambang Eros VOI, DI: Raga Granada VOI)Menurut Munir, konflik di tubuh PWI bukan hal baru. “Dulu PWI pernah pecah pada masa BM Diah dan Rosihan Anwar. Sekarang terjadi lagi. Karena itu, aturan main organisasi harus disempurnakan. PD/PRT PWI kami targetkan dibuat clear, tanpa kepentingan parsial,” jelasnya.Karena besarnya organisasi, Gerakan PWI sering kali menjadi lamban. Untuk itu, kepengurusan PWI akan melakukan pembenahan. “Kami akan melakukan regenerasi guna menciptakan energi baru. Kami mendorong PWI daerah untuk merekrut wartawan muda yang lincah. Akan ada ajang seperti Anugerah Adinegoro dan sejenisnya untuk mendorong wartawan PWI berprestasi. Wartawan sejatinya adalah mereka yang aktif hunting berita dan menuliskannya dengan bahasa yang indah,” paparnya.Di era digital saat ini, Munir mengingatkan agar jurnalis tidak takut terhadap kemajuan teknologi seperti Artificial Intelligence (AI). “AI memang membantu, tapi jangan terjebak pada kemampuannya. Wartawan memiliki naluri skeptis, empati, simpati, dan rasa emosional — hal-hal yang tidak dimiliki AI. Itu yang harus dioptimalkan agar wartawan tetap unggul,” terang pria yang pernah menjabat sebagai Ketua PWI Jawa Timur ini.Akhmad Munir menegaskan, AI hanyalah alat bantu, bukan pengganti. “AI hanya pelengkap untuk membantu pekerjaan wartawan. Yang utama tetap manusia — wartawan yang punya pikiran, intelektualitas, rasa, dan hati. Jurnalisme sejati adalah yang hidup dan bisa memadukan semua itu. Dari situ akan terlihat mana karya wartawan yang tulen,” tandasnya.